Epilog

23.2K 862 30
                                    

“Ndaaa ....” panggilan tersebut serentak membuat kepalaku menengok ke sumber suara. Err, tepatnya bukan hanya kepalaku, tetapi tiga orang yang duduk di dekatku juga ikut menengokkan kepala mereka ke arah anak lelaki kecil dengan rambut keriting yang berjalan ke arah kami dengan menghentak-hentakkan kakinya. Melihat dari gelagatnya, pasti ada sesuatu atau seseorang yang membuatnya kesal.

“Nda mana yang dipanggil?” pertanyaan Bunda itu otomatis membuat kami berempat—aku, Bang Dipta, Ayah dan Bunda—tersenyum.

“Jelas mbandalah ... siapa lagi? Bunda, Yanda sama Manda jangan ikut campur. Ini urusanku sama Mbanda.” Memelototkan matanya, anak kecil yang juga adalah adik kecilku itu terlihat sangat menggemaskan. Kayandra Azwa atau yang biasa dipanggil Andra adalah adik laki-lakiku yang dengan penuh syukur telah dilahirkan Bunda dengan selamat 7 tahun yang lalu. Adik yang pernah tidak kuinginkan keberadaannya dan pastinya sangat kusesali hingga kini. Kakak mana yang dengan mudah menolak adik seperti dia? Hanya seorang kakak yang sangat bodoh. Dan kakak bodoh itu adalah aku.

“Sekarang apalagi salah Mbanda coba?” Mungkin terdengar lucu mendengar sebutan Mbanda dan Manda yang sebenarnya berasal dari kata Mbaknda dan Masnda—tetapi karena menurut Andra itu sedikit sulit, dia mengubahnya dengan Mbanda dan Manda. Namun itulah cara unik Andra memanggilku dan Bang Dipta. Katakan saja dia latah. Terbiasa memanggil Bunda dan Yanda, hingga akhirnya mbak dan mas pun dia berikan akhiran –nda. Terasa seperti di tahun 70 atau 80 saat panggilan dengan akhiran –nda sedang booming. Dan aku jelas menyukainya, terasa istimewa dan lain daripada yang lain.

“Iya, memangnya Mbanda ngapain? Sini bilang Yanda. Kalau Mbanda nakal biar Yanda hukum nanti.” Terlihat Ayah berkata dengan senyum tertahan. Namun Andra seolah tidak memedulikan perkataan Ayah. Adik kecilku sekarang mengerutkan dahinya menatapku tajam, membuatku ingin mencubit pipinya gemas.

Andra mewarisi semua gen yang bagus dari Ayah dan Bunda. Dengan hidung mancung dan mata yang selalu terlihat seperti mengantuk khas Ayah. Dilengkapi dengan bibir warisan Bunda yang terlihat seakan selalu tersenyum, lengkap sudah ketampanannya. Membuatku membayangkan kalau dia sudah mulai beranjak dewasa, dia pasti akan mematahkan hati banyak gadis.

Bagian menjengkelkan dari ketampanannya adalah beberapa orang bahkan sempat tidak percaya kalau dia adikku. Maklumlah, kebalikan dari Andra, aku justru mewarisi semua gen minimalis dari Ayah dan Bunda. Salah satunya saja, bukannya mendapatkan hidung mancung milik Ayah, aku justru mendapatkan hidung minimalis kepunyaan Bunda.

Perhatianku kembali terarah pada Andra yang saat ini sudah melipat lengannya di depan dada, “Mbanda tahu, kan?”

“Nggak tahu.” Jawabku cepat dengan wajah kubuat sepolos mungkin, menatap wajahnya yang semakin tertekuk kesal. Aku suka membuat Andra kesal. Karena dengan begitu, dia pasti akan mulai mengomel dan menceramahiku macam-macam. Menurutku itu sangat lucu.

“Ck, makanya dengerin dulu biar ngerti. Jangan langsung dijawab.” Menghentakkan kakinya kesal, mata Andra melotot semakin lebar. Membuat tiga orang lain di dekat kami terdengar bersusah payah menahan tawa.

“Okeee maaf ....” Memutar bola mata, aku melirik dan mencibir Bang Dipta yang saat ini terbatuk-batuk dalam usahanya menahan tawa. Sebenarnya aku juga ingin tertawa, tapi apa daya, sekarang posisiku adalah terdakwa. Dan jika tidak ingin masalah semakin panjang, lebih baik aku diam.

Sedikit membuat bingung memang. Melihat situasi kami, sepertinya Andra lebih cocok menjadi kakakku bukannya adik. Karena yang kutahu, sejak Andra sudah mulai bisa berpikir dan berbicara, aku sering kena omelannya.

Bahkan saat Bang Dipta sedang iseng, dia menyebut Andra sebagai penasihatku. Karena kerjaannya setiap bertemu denganku adalah menasehati tentang apa pun atau lebih tepatnya mem-pro-tes.

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang