Seorang gadis kecil kira-kira berumur 3 tahun menatapku dari seberang jalan. Rambutnya yang dikuncir dua, pipi yang tembam, berpadu dengan mata bulat yang menatap polos menimbulkan rasa yang tidak bisa kujelaskan. Seolah tak asing. Kubalas menatapnya, mencoba mengenalinya.
Hingga tiba-tiba panggilannya membuat seolah darahku berhenti mengalir dan jantungku berhenti bekerja, “Ibu....”
Ibu? Aku?
Memastikan aku tidak salah dengar atau mengira, kutolehkan kepala melihat sekitar. Siapa tahu ada wanita lain di dekatku yang dimaksud. Tetapi ternyata hanya ada aku di situ. Benarkah yang gadis kecil itu maksud adalah aku?
“Ibu ....” Suaranya yang terdengar lucu disertai lambaian tangannya yang mungil, membuatku refleks menunjuk diriku sendiri. Mencoba bertanya entah pada siapa, atau lebih tepatnya untuk lebih memastikan bahwa yang dimaksud benar-benar aku.
Menatapnya lagi, kuamati dengan lekat dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dan satu kesadaran memukulku keras. Gadis kecil itu begitu mirip dengan Bang Dipta. Matanya yang bulat, hidungnya yang mancung, bahkan bibirnya yang tipis benar-benar versi mini dari Bang Dipta. Hanya rambutnya saja yang terlihat sepertiku, mengikal di bagian bawah kuncirannya. Anakku. Dia anakku.
Dedek ....
Senyum lebar segera saja kusunggingkan. Dada yang semula terasa berlubang kini seolah terisi terlalu penuh dengan sebuah rasa yang disebut kebahagiaan. Kurentangkan tangan, bersiap menyambutnya dalam dekapan hangat yang akan selalu menjadi tempatnya berpulang dan berlindung. Pelukanku... pelukan seorang ibu.
Gadis kecil itu berlari ke arahku. Dengan senyum dan gelak tawanya yang menghangatkan hati. Hingga tiba-tiba suara itu tergantikan dengan decit suara ban mobil. Tubuhku rasanya membeku, darah seolah berhenti mengalir. Jantungku juga seolah berhenti berdetak selama beberapa waktu. Tidak mungkin. Ini pasti hanya mimpi. Tubuh kecil yang seharusnya berada dalam pelukan, kini justru terbaring di hadapanku. Bersimbah darah.
“Tidak! Dedek ....”
Tersentak. Aku membuka mata perlahan. Berusaha menenangkan jantung yang bertalu-talu dengan keras tak beraturan. Keringat dingin juga bermunculan di kening. Mimpi? Tadi itu hanya mimpi? Benar-benar mimpi? Dadaku terasa sesak mengingat kilasan mimpi tadi dengan semakin jelas. Rasa sakit itu nyata, bahkan berlipat. Seolah aku mengalami kembali saat darah segar terlihat mengalir di pahaku, menggenangi lantai kamar mandi. Saat di mana akhirnya aku kehilangannya.
Bahkan di dalam mimpi pun aku tetap tidak boleh memilikinya. Tidak boleh memeluknya. Tidak boleh menyayanginya.
Kuusap air mata yang terasa mengalir di pipi. Menangis? Setelah semua yang kulakukan? Mencoba melegakan diri dalam sebuah tangis sama sekali tidak patut kulakukan. Ini hukumanku. Hukuman yang masih terasa terlalu ringan untukku.
“Maafin Ibu, Dek ... maaf ....”
***
Dalam keadaan setengah sadar, kurasakan seseorang membenarkan selimut yang sudah tergulung hingga ke pinggang. Kurasakan juga saat ini dia menatap dalam diam. Seseorang yang aku tahu pasti adalah Bang Dipta.
Entah apa yang dia pikirkan saat menatapku seperti ini. Apakah dia menyesal menikah denganku? Atau mungkin dia juga sedang menyalahkanku karena kehilangan dedek? Aku sama sekali tidak bisa menebaknya. Yang kutahu hanya, dua malam ini tanpa sengaja aku memergokinya selalu melakukan ritual seperti tadi. Membenarkan selimut, terkadang juga menyelipkan rambutku yang dirasa mengganggu ke balik telinga, dan selama beberapa menit dia hanya menatapku dalam diam. Hingga akhirnya kudengar helaan napas yang menandakan dia akan beranjak untuk melakukan ritual malamnya, salat tahajud.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM(ME)
General FictionBagaimana rasanya harus mendengar kabar kehamilan ibumu di saat kamu baru 5 hari menyandang status sebagai istri seseorang? Oh kalian pasti tidak ingin merasakannya. Karena itulah yang saat ini aku rasakan.