Sebuah Maaf

14.3K 809 22
                                    

Apdet lagi...tp maaf kl pendek...
Minta kritik dan sarannya ya kalau ceritanya aneh, ganjil, nggak masuk akal...soalnya jujur ini mulai bingung mau dibawa ke mana cerita ini...wkwkwk...

Oh iya sama mau nanya...yg baca ini ada yang baca juga nggak cerita tentang dodo dan renata (ada di my lonely place dengan judul yang berbau-bau pisang)...kmrn saya adain voting...itu kan awalnya cuma cerpen, tp pd minta dibikin cerbung...nah boleh minta suaranya, siapa tahu di sini ada yg baca juga...kalau saya bikin cerita mereka jd cerbung gimana?

Sama satu lagi dong...pwis jangan panggil saya author atau thor...pan saya g bawa2 palu ke mana2...*duagh hahahahaa...panggil aja saya mita atau mbak mita atau kakak mita atau ibu mita atau dedek mita (#eehngarep)...soalnya sebenernya saya agak gimana gitu dipanggil author...kan kita empren alias temen yah...bukan author atau pun reader...kebetulan aja saya bisa nulis, dan anda2 bisa baca...jadi pwis panggil mita dan segala titelnya aja yah...biar lebih deket gitu...#kedip2cantik

Terima kasih sebelum dan sesudahnya...maaf kalau ganggu...:*

=========================

"Bang, minum ...."

Tidak perlu menunggu lama saat Bang Dipta beserta segelas air putih sudah ada di hadapan. Membantuku memposisikan diri supaya lebih nyaman untuk minum, Bang Dipta dengan sabar menungguku menyelesaikan minum. Dan aku akan dengan sengaja berlama-lama minum, supaya lebih lama juga waktunya diberikan untukku. Walau tanpa kata.

"Bang, minum ...."

"Bang, Nisya mau duduk ...."

"Bang, mau nonton TV ...."

"Bang, ambilin novel ...."

"Bang, pijetin ...."

"Bang, laper ...."

Kalimat-kalimat yang seharian ini terus saja kuulang tiap waktu. Sebut saja aku mencari perhatian. Namun pahit, perhatian yang kuinginkan sama sekali tak kudapatkan.

Bang Dipta memang melakukan semua itu untukku, membantuku seperti biasanya. Tapi dia melakukannya bagaikan robot yang memang sengaja diprogram mematuhi semua perintah, tanpa hati, tanpa perasaan. Menimbulkan sebuah lubang menganga di hatiku bernama kehampaan. Tahukah dia tanpa sikapnya yang seperti itu perasaanku sudah sangat hampa?

Tidakkah dia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat di mana aku sangat membutuhkan dirinya. Membutuhkan pelukannya, kesabarannya, dan dukungannya. Tetapi kenapa justru saat ini dia tidak bisa memberikan itu semua padaku?
Setelah membantuku minum dan menempatkanku pada posisi yang nyaman kebiasaannya selama seharian ini, Bang Dipta hanya akan berlalu dariku, masih tanpa kata. Menjauhiku hingga nanti aku memanggilnya lagi. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja. Bukankah kami sudah sama-sama dewasa? Bahkan kami juga adalah calon bapak dan ibu. Seharusnya kami bisa menyelesaikan semua masalah dengan lebih bijak, kan?

"Bang ...." Kuraih tangannya yang sudah berbalik memunggungiku, berniat keluar dari kamar. Aku sudah membayangkan tepisan tangan besarnya yang akan kudapatkan. Tapi untunglah, hanya helaan napas yang kudapat. Mungkin sebenarnya kami sama-sama lelah dengan keadaan ini. Sama-sama membutuhkan satu sama lain. Hanya saja ego kami memancing untuk melakukan hal-hal bodoh seperti biasanya. Kurasa kini sudah saatnya menurunkan segala harga diri dan ego demi kehidupan rumah tangga kami.

"Nisya tahu Nisya keterlaluan. Kata-kata Nisya bikin Abang marah. Karena itu Nisya minta maaf ...."

"Abang kecewa, Sya. Bukan marah. Apa pun masalah kita, tolong jangan pernah bawa-bawa Bunda." Berbalik, Bang Dipta menatapku dengan lelah. Bahkan baru kusadari wajahnya yang biasanya segar saat ini terlihat begitu kucel.

"Iya, Bang. Nisya sadar, Nisya salah."

Mendekatiku, Bang Dipta duduk di ranjang di sampingku, mengelus rambutku lembut, "Bunda juga sama panik dan khawatir seperti kita, Sya."

"Iya, Bang, Nisya ngerti."

"Kalau ngerti kenapa Nisya sampai berpikiran gitu?" tanya Bang Dipta dengan sabar. Aku hanya menundukkan kepalaku, jujur saja, aku malu. Malu dengan kalimat yang telah kuucapkan karena emosiku yang labil kemarin. Aku tidak membenci Bunda. Bahkan tidak pernah berpikir untuk membenci beliau. Kalimat itu hanya kuucapkan karena kurasa aku hanya ingin menyalahkan seseorang untuk semua yang kualami. Untuk membuat perasaanku menjadi lebih tenang.

Egois? Memang kuakui aku sangat egois. Tetapi mengertilah, aku pun tidak ingin seperti itu. Aku juga tidak ingin mengalami itu. Terlebih lagi aku tidak siap dengan semua ini.

"Nisya nggak tahu, Bang. Nisya emosi waktu itu."

"Ya, jangan diulangi. Seemosi apa pun, jangan pernah bawa-bawa orang lain buat jadi sasaran emosi kita." Menganggukkan kepalaku aku menatap penuh terima kasih pada Bang Dipta. Terima kasih atas kesabarannya selama ini menghadapiku. Pria lain belum tentu sesabar dia menghadapi emosiku yang terkadang terlalu labil.

"Ya udah, Nisya istirahat ya. Nanti malam katanya Bunda dan Ayah ke sini. Mereka juga minta maaf baru bisa menengokmu. Keadaan Bunda juga kurang baik setelah acara empat bulanan kemarin."

"Tapi keadaan adek baik-baik aja kan, Bang?" tanyaku seketika khawatir. Oh maafkan perkataanku kemarin, ya Allah. Bukan maksudku ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Bunda atau adek. Bukan. Tolong, jangan sampai terjadi apa-apa pada Bunda dan adek.

"Iya, adek baik-baik aja. Makanya kamu juga tetep jaga supaya dedek juga baik-baik aja kaya omnya."

"Om?" tanyaku terfokus pada kata om yang Bang Dipta ucapkan. Setahuku Ayah dan Bunda berencana tidak ingin mengetahui jenis kelamin adek. Kejutan katanya. Atau mungkin mereka berubah pikiran? Dan tanpa setahuku sudah memberitahu Bang Dipta?

"Eh ... i-tu ...." lagi-lagi Bang Dipta menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah. Membuatku sengaja menggodanya dengan memicingkan mataku seolah penasaran. Yah, walaupun memang sebenarnya aku penasaran apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Bang Dipta.

"Om?" Kuulang pertanyaanku dengan nada sedikit memaksa, "Ayah dan Bunda kan nggak ...."

"Eh, enggak ... bukan ...." Memotong ucapanku, Bang Dipta terlihat semakin salah tingkah. Mengibas-kibaskan tangannya ke arahku.

"Enggak bukan apa, Bang?"

"I-tu .... Kamu janji nggak ngetawain Abang?" tanya Bang Dipta yang membuat senyumku melebar, "Jangan bilang Ayah atau Bunda juga?"

"Apaan emang?"

"Janji dulu."

"Iya. Nisya janji. Apaan emang?"

"I-tu ... cuma bayangan Abang aja, Sya." Menaikkan alisku penasaran, kutatap Bang Dipta serius. Bayangan Bang Dipta? Memangnya apa yang selama ini Bang Dipta bayangkan? Rasa penasaranku meninggi.

"Abang cuma bayangin, pasti lucu kalau misalnya ..." menatapku sedikit ragu, Bang Dipta lalu melanjutkan, "adek cowok dan dedek cewek. Pasti kan unyu adek yang ngelindungin anak kita dari anak-anak nakal atau bahkan cowok-cowok playboy yang gangguin dia."

Jawaban Bang Dipta membuatku ingin berkata sesuatu, namun kuurungkan, karena jujur aku speechless. Tidak tahu apa yang seharusnya kukatakan saat ini. Berakibat bibirku hanya bisa membuka dan menutup seperti ikan mas koki. Bang Dipta bahkan sudah membayangkan semuanya sejauh itu?

Terlihat Bang Dipta menundukkan pandangannya. Meremas-remas tangannya. "Abang aneh ya, Sya?"

"Abang ..." menggantungkan kalimatku, kutatap Bang Dipta yang membalas tatapanku dengan malu-malu, "ganteng."

Cengiran lebar segera saja menghias wajahnya. "Dedek beruntung banget punya calon bapak seganteng ini. Ganteng wajah juga hatinya."

Perlahan, kutarik wajah Bang Dipta mendekat, menciumnya dengan segala perasaan tulus dan terima kasih yang kurasakan untuknya.

"Lain kali, ajak Nisya juga ya, Bang. Ajak Nisya membangun bayangan tentang kita dan anak- anak kita."

TBC

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang