Sebuah Kemarahan

14.3K 774 24
                                    

Udel saya lagi bodong...jadi udah apdet lagi...tp maaf kalau dikit...hahahaa...ini udah mentok idenya...jadi seadanya dulu yah...
Yuk ditunggu kripik sambelnya...#kecupbasahsemua

========================

Bed rest. Hasil yang kudapatkan setelah tengah malam tadi dengan kepanikan nyata merepotkan Tante Rina untuk datang ke rumah. Kandunganku ternyata lemah. Kenyataan lain yang akhirnya kudapatkan setelah aku memforsir diriku untuk membantu acara empat bulanan Bunda. Seperti kata orang, penyesalan selalu datang terlambat.
Aku yang hamil, aku juga yang seharusnya tahu keadaanku sendiri. Sakit perut yang kuabaikan-karena mengira itu hanya akibat telat makan-ternyata merupakan salah satu pertanda, kandunganku sedikit bermasalah. Hingga dampak paling mengerikan adalah pendarahan yang terjadi tadi.
Keadaan dedek di perut tidak baik. Tante Rina sudah memberiku obat penguat kandungan, tetapi beliau tidak bisa menjamin apakah dedek akan kuat atau tidak. Kemungkinannya kecil, itu yang Tante Rina katakan. Tapi beliau juga melarangku untuk berhenti berharap. Jadi beginilah, aku benar-benar harus bed rest.
Sama sekali tidak boleh beranjak sesenti pun dari kasur. Bahkan untuk banyak bergerak pun aku dilarang. Memang beberapa kali darah masih keluar jika aku terlalu banyak bergerak. Membuatku begitu takut, sehingga kini saat keadaan memaksa, aku bergerak dengan sangat perlahan. Untuk urusan buang air dengan sangat terpaksa kulakukan dengan bantuan pispot dan pastinya Bang Dipta.
Pesan Tante Rina adalah aku harus istirahat total. Dan total di sini dalam artian yang sebenarnya, benar-benar semua. Termasuk, aku tidak boleh banyak berpikir. Padahal bagaimana mungkin aku tidak berpikir dalam keadaan seperti ini. Tapi ... oh, aku sama sekali tidak ingin berpikir.
Apa yang kurasakan sekarang? Terguncang ... sangat. Saat akhirnya aku bisa berdamai dengan kenyataan, justru kenyataan buruk lain menamparku. Dan rasanya aku sudah mulai lelah. Ingin beristirahat sejenak dari semua ini. Atau mungkin itukah yang dedek rasakan saat ini? Lelah dan ingin beristirahat?
Oh, dedek! Ibu mohon janganlah menyerah!
Ingin rasanya aku menangis. Tapi sejak Tante Rina mengabarkan kenyataan ini, hanya hampa yang bisa kurasakan. Otakku rasanya kosong, namun benakku penuh dengan hal-hal yang aku sendiri tidak mengerti. Meskipun bosan mungkin kurasakan karena keterbatasan kegiatan yang kulakukan, namun rasa hampa itu tetap melingkupiku dengan kental.
"Bu, makan dulu ya," Gelengan kepala spontan adalah jawabanku untuk pertanyaan Bang Dipta tersebut. Aku tidak ingin makan. Aku tidak lapar. Aku hanya ingin .... Oh, aku bahkan tidak tahu apa yang kuinginkan.
Menangis mungkin? Meluapkan segala kehampaan yang kurasakan dalam butiran air mata yang hingga saat ini tidak bisa kulakukan.
"Ibu harus makan dong. Kalau Ibu kuat, dedek juga pasti kuat." Hanya butuh satu ucapan tersebut untuk membuatku menganggukkan kepala patuh berubah pikiran. Ya, aku harus makan. Biar pun aku tidak lapar, tapi dedek pasti lapar. Dedek harus makan. Bukankah kini aku adalah seorang Ibu, dan seorang Ibu tidak boleh egois.
Satu sendok nasi dan lauk yang tersodor di hadapan membuatku membuka mulut, siap menerima suapan dari Bang Dipta tersebut. Tidak merasakan apa pun saat aku mulai mengunyah makanan tersebut. Hambar, semuanya terasa hambar, hampa .... Namun aku harus tetap makan. Suapan demi suapan yang Bang Dipta berikan padaku kutelan dan kutelan terus tanpa jeda. Membuatku sesekali tersedak karena terlalu terburu-buru menelan.
"Pelan-pelan makannya ...." Dengan sabar Bang Dipta menyuapiku dan membantuku minum saat aku mulai tersedak.
Aku harus kuat, supaya dedek kuat ....
Oh dedek ....
Satu butir air mata tiba-tiba berhasil lolos, meluncur turun di pipi, membuatku serta merta mengerjapkan mata. Hingga dari satu butir tersebut lalu disusul oleh butiran-butiran lain yang kini seolah-olah saling berkejaran tanpa henti.
"Loh loh, Bu, kok nangis ...." Usapan tangan besar Bang Dipta yang berusaha menghapus aliran air mata itu langsung membuatku terisak. Rasa sesak yang nyata tiba-tiba saja melingkupiku.
"Bang, dedek ...."
Kurasakan sebuah pelukan melingkupiku dengan kehangatan. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Ssstt ... jangan nangis dong. Kalau kamu sedih nanti dedek juga sedih." Kata-kata Bang Dipta bukannya membuatku tenang, justru membuatku semakin terisak.
"Kenapa harus Nisya, Bang? Kenapa?" Satu pertanyaan yang tertanam dalam benakku akhirnya terucapkan juga, yang hanya dijawab Bang Dipta dengan usapan lembut di punggungku. Kenapa ... harus kehamilanku yang bermasalah? Kenapa harus kehamilanku yang lemah? Kenapa harus aku?
"Udah dong yah, jangan nangis." Berusaha mengusap air mataku yang masih terus mengalir, Bang Dipta tidak juga melepaskan pelukannya. Saat tangis akhirnya bisa kulakukan, kini aku tidak dapat menghentikannya. Bayangan-bayangan buruk tidak henti-henti menggangguku. Aku tidak suka!
"Dedek bakalan baik-baik aja kan, Bang?" Pertanyaan yang kuajukan di sela-sela kekalutanku tersebut hanya membuat Bang Dipta mengembuskan napasnya berat.
"Kita berdoa aja ya, semoga dedek baik-baik aja." Bukan jawaban itu yang kuinginkan. Aku ingin aku diyakinkan bahwa dedek akan baik-baik saja. Atau kalau perlu, yakinkan aku kalau ini hanya mimpi dan sebentar lagi aku akan terbangun.
"Lagian nurut sama Tante Rina ya. Istirahat aja, jangan mikir yang macem-macem." Tambah Bang Dipta yang kini menatapku serius. Menyingkirkan anak-anak rambutku yang menghalangi penglihatanku.
Balas kutatap Bang Dipta serius, walaupun butiran air mata sesekali masih meluncur di pipiku, "Tapi kenapa Nisya, Bang? Apa salah Nisya sampai begini?"
"Hei ... jangan ngomong gitu."
"Jawab Nisya, Bang, kenapa harus Nisya yang ngalamin ini? Kenapa bukan orang lain," tanyaku, "kenapa bukan Bunda ...?"
Satu nama yang sempat terlupa tiba-tiba saja terucap. Ya, kenapa harus aku? Kenapa bukan Bunda? Aku kuat, aku muda. Tetapi kenapa justru kandunganku yang lemah? Bukan kandungan Bunda? Ini tidak adil!
"Nisya ... ngomongnya!"
"Kenapa? Memangnya Nisya salah ngomong? Nisya sehat, Bang. Nisya kuat. Bahkan Nisya nggak sakit-sakitan atau muntah-muntah selama hamil, nggak kaya Bunda. Tetapi kenapa ...."
"Sya ...." Nada Bang Dipta menunjukkan kalau dia tidak suka dibantah. Tetapi aku tidak peduli. Ini semua salah Bunda! Sedari awal ini semua salah Bunda, karena kehamilan Bunda, hidupku berantakan!
"Nisya benci Bunda!"
"NISYA! Keterlaluan kamu!" Bentakan Bang Dipta tersebut membuatku membelalakkan mataku terkejut.
"Jangan anggap cuma kamu yang paling sedih! Abang juga sedih, Sya ... sangat! Bahkan Ayah, terlebih Bunda." Kesunyian tiba-tiba melingkupi kami. Hanya helaan napas Bang Dipta yang terdengar.
"Jujur, Abang capek, Sya."
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Bang Dipta keluar dari kamar. Meninggalkanku yang berderai air mata. Apa yang telah kulakukan?

TBC

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang