Sebuah Ketakutan

17.4K 803 16
                                    

Setelah berbulan-bulan akhirnya bisa apdet juga...meskipun ini entah kenapa ceritanya jd najrong begini...bwahahahaaa...maafkan akuuuuu...tp berharap masih ada yg baca yah...tetep ditunggu kritik dan sarannya ya man-teman...#cipoksemua
Ailopyupuuuulll epribadeeeeehhh...

=====================

"Sya, pulang gih." Pernyataan tersebut kudengar bersamaan dengan sebuah tendangan kecil di kaki. Sama sekali tidak kuhiraukan. Aku masih terus melanjutkan membaca novel yang saat ini ada di hadapan. Berleha-leha di atas single bed yang tersedia di kamar kos Retno dengan punggung dan kepalaku terganjal beberapa bantal.
Pura-pura tuli, senjata paling ampuh menghindari Retno yang bawel juga mengganggu. Saat headset terpasang di telinga sama sekali tidak ampuh untuknya. Lagipula, sebenarnya musik yang sedari tadi terdengar sudah kumatikan sejak kudengar sayup-sayup Retno menerima telepon yang berasal dari Bang Dipta. Tetapi toh retno tidak tahu itu.
Yah katakan aku munafik, marah pada Bang Dipta, menghindarinya tetapi tetap penasaran pada semua perhatiannya. Bagaimana pun sebenarnya aku membutuhkannya saat ini, terlepas dari dialah sumber kekacauan yang kualami saat ini.
"Sya ..." Kali ini bukan tendangan kecil lagi yang kudapatkan, cubitan pada pipi membuatku dengan terpaksa menatap Retno.
"Apa?" tanyaku cuek, masih belum melepaskan headset yang terpasang di telinga.
"Pulang gih."
"Ogah!"
"Nisya!" Tanpa terduga Retno tiba-tiba saja melepas headset dari telingaku, dan merampas novel dari tanganku. Aku yang terkejut refleks memundurkan tubuh hingga kepalaku terbentur tembok di belakang.
"Aduh! Apa-apaan sih, No?" Ucapku kesal mengelus kepalaku yang terbentur tembok. Namun kekesalan tersebut hanya bertahan beberapa detik, berganti dengan kekhawatiran. Kemarahan di mata Retno yang saat ini melotot ke arahku terlalu jelas, membuatku hanya bisa mengerut di sudut kasur dan berdoa dalam hati.
Waduh, ada apa ini? Tidak biasanya Retno seperti ini. Biasanya dia hanya akan mengomeliku dan mencekoki telingaku dengan nasehat-nasehat sok bijaknya. Tidak sampai bertindak bar-bar begini dan memelototiku dengan mata lasernya. Kurasa aku telah berbuat sesuatu yang telah membangkitkan amarahnya. Tapi apa?
"Sya ... Om Laundry baru aja telepon. Dan seperti biasa dia nanyain gimana kabarmu." Aku hanya menghela nafas menjawab pernyataan Retno tersebut. Baguslah! Memang sudah seharusnya Bang Dipta khawatir padaku. Dia yang bersalah, jadi dia juga yang harus menanggung kesalahan ini.
"Udah dua hari, Sya. Mau berapa lama lagi kalian terus begini?" tanyanya yang sekarang mondar mandir di hadapanku dengan kedua tangannya di pinggang. Tentu saja, tidak lupa pelototan mautnya diarahkan padaku.
"Belum tiga hari." Omelku pelan. Kan batas mendiamkan sesama muslim 3 hari. Jadi bukan masalah kan kalau baru 2 hari aku mendiamkan Bang Dipta.
"Belum tiga hari?" tanya Retno dengan nada tidak percaya. "Belum tiga hari katamu?"
Aku semakin mengkerut di pojokan. Bukannya aku tadi hanya berbisik lirih? Kenapa telinga Retno peka sekali, sampai-sampai dia bisa mendengar omelanku.
"Eh ... bukan gitu maksudnya."
"Terus?" Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan Retno tersebut. Ya nggak ada terusannya sih. Memang sejak kemarin kabur dan menginap di kosan Retno, aku sudah memutuskan paling tidak 3 hari niatku menenangkan diri di sini sebelum pulang dan menghadapi apa pun yang harus kuhadapi. Katakan aku pengecut, tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan emosiku saat harus berhadapan dengan Bang Dipta.
"Jujur, aku beneran nggak ngerti jalan pikiran kalian. Terutama kamu ya, Sya!" tudingnya padaku. Membuatku hanya bisa memasang wajah memelas saat ini.
"Emang kamu nggak kasihan sama Om Laundry? Nggak mikir, dua hari ini gimana dia makan? Gimana dia tidur? Gimana dia ..."
"Kenapa aku harus kasihan? Bang Dipta aja nggak kasihan sama aku!" Potongku kesal. Aku terus yang salah! Padahal kan Bang Dipta sendiri yang membuat keadaan seperti ini. Dia sendiri yang lebih mementingkan harga dirinya dari pada aku. Hanya karena aku yang kabur dari TKP, jadi terlihat aku yang lebih bersalah dalam hal ini. Hah!
"Dasar wanita egois!" Sebuah sandal kamar bulu bergambar Tweety melayang tepat ke wajahku dan mengenai jidat lebarku. Sembarangan! Marah sih marah, tetapi apa iya harus melempar sandal ke wajahku.
Dengan penuh emosi aku balas melempar sandal tersebut ke arah Retno, "Bang Dipta yang egois!"
"Terus? Kamu yang kabur dari rumah 2 hari bukan egois namanya?" Teriakan Retno tersebut segera saja membuatku terdiam. Memang aku sedikit egois, tapi kan aku memiliki alasan tersendiri. Bang Dipta mengkhianati kepercayaanku, sehingga aku berbuat seperti ini. Helaan napas keluar begitu saja tanpa kusadari.
"Kamu itu sekarang seorang istri, Sya. Jadi, bersikaplah seperti seorang istri." Ucap Retno lembut.
Ugh! Entah kenapa rasanya ucapan Retno tersebut benar-benar menohokku. Aku sadar, aku egois. Meninggalkan rumah tanpa memikirkan Bang Dipta. Melalaikan peranku sebagai seorang istri. Tetapi sekali lagi kukatakan, aku melakukan ini bukan tanpa alasan. Aku marah, dan kupikir pergi dari rumah adalah yang terbaik untuk kami. Pengkhianatannya masih belum bisa kuterima hingga saat ini. Sehingga aku takut, berdekatan dengannya justru akan semakin membuatku marah.
"Tapi, No ... Bang Dipta juga nggak bersikap seperti seorang suami." Ucapku pelan.
"Kenapa? Karena dia melubangi kondom yang kalian gunakan?"
"Bukan itu ..."
"Terus apa?"
"Dia mengkhianatiku."
"Khianat? Cuma karena, kuulang lagi, dia melubangi kondom yang kalian gunakan?" tanyanya dengan nada sarkastik. Nah lho, entah kenapa mendengar alasan tersebut terus diulang oleh Retno terasa absurd bagiku. Ya memang kesalahan Bang Dipta disebabkan karena dia melubangi kondom yang kami gunakan selama ini. Tapi kenapa tidak ada yang bisa mengerti dampak dari perbuatan Bang Dipta tersebut. Ini semua menyangkut masa depanku dan anakku.
"Kamu kan tahu keadaanku, No. Bang Dipta juga tahu. Aku nggak mau hamil. Aku nggak mau anakku dan anak Bunda seumuran. Aku nggak mau nantinya anakku diejek karena seumuran dengan om atau tantenya. Aku nggak mau ..."
"Aku ... aku ... aku .... Hah ... Jujur, Sya, aku mulai bosen dengernya." Kucebikkan bibirku kesal karena selaannya.
"Bukannya kamu sama Om Laundry udah suami istri?" Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan retoris Retno tersebut. Nenek-nenek juga tahu kalau kami suami istri kali. Kenapa sih Retno mempertanyakan hal tersebut?
"Kalau gitu, buktikan dong kalau kalian benar-benar suami istri!" Ucapnya lagi yang membuatku terpana. Buktikan kami suami istri? Maksudnya? Oke, entah pikiranku yang sedang tidak pada tempatnya atau memang pikiranku yang tidak pernah pada tempatnya, aku jadi memikirkan hal-hal aneh karena kata-kata Retno tersebut. Membuktikan kami suami istri? Heeeeehh ...
Bersama dengan keterdiaman dan keterpanaanku, sebuah toyoran mendarat mulus di kepalaku. "Benerin pikiranmu!"
"Maksudku, kalian sudah suami istri. Sudah bukan saatnya hanya memikirkan tentang aku, aku dan aku." Ucapnya yang membuahkan cengiran tidak tahu malu yang kusunggingkan ke arah Retno setelah kusadari bahwa yang aku maksud berbeda dengan yang Retno maksud.
"Sadar nggak sih? Sebenarnya kamu dan Om Laundry sama saja. Kalian masih terus sibuk dengan pemikiran 'aku' masing-masing. Kalian hanya berpikir aku ingin begini, aku tidak ingin begini. Padahal bukankah dalam pernikahan seharusnya kata 'aku' harus sudah berganti menjadi kami?"
"Jadi, sudah saatnya kalian berdua memikirkan apa yang 'kami' inginkan, apa yang 'kami' tidak inginkan. Hilangkan kata 'aku'!" Dengan kalimat terakhirnya tersebut, Retno meninggalkanku masuk ke kamar mandi yang memang terdapat di dalam kamar kosnya. Aku hanya tertegun mendengar penekanan dalam setiap kata 'aku' dan 'kami' yang Retno ucapkan. Berusaha meresapi setiap makna dari pernyataan Retno tersebut.
Helaan napas segera saja meluncur mulus dariku. Bersamaan dengan persetujuanku atas semua yang Retno katakan. Kurasa benar kata Retno, aku dan Bang Dipta terlalu mengagungkan kata 'aku' padahal saat semenjak dia mengucapkan kalimat Qabul di hadapan Ayah, posisi kami sudah menjadi 'kami'. Aku yang tidak ingin hamil karena Bunda hamil. Tetapi Bang Dipta justru ingin aku cepat hamil karena Bunda hamil. Jika hal ini tetap diteruskan, tidak akan pernah ada 'kami' dalam pernikahan ini.
Tiba-tiba saja aku rasanya ingin menangis. Aku rindu Bang Dipta. Kurasa kami berdua punya masalah yang lebih penting selain kehamilan yang jelas-jelas belum pasti, yaitu memaknai kata 'kami' dalam pernikahan ini.
~oOo~
"Nisya ... Nisya ..." Ketukan di pintu terdengar keras. Panggilan dengan nada khawatir juga terdengar semakin jelas saling bersahutan di antara suara isak tangisku. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Isak tangisku semakin keras bersamaan dengan semakin kuat ketakutan yang kurasakan. Kenapa rasanya masalah terus menerus datang padaku akhir-akhir ini? Aku baru saja akan mencoba memecahkan masalahku dengan Bang Dipta sesuai dengan nasihat Retno namun kenapa timbul masalah yang membuatku takut ini. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Ya Allah, bagaimana ini?
"Sya ... Buka nggak pintunya!" Ketukan di pintu sudah berganti menjadi gedoran. Terdengar nada khawatir, takut dan juga tidak sabar dari panggilan Retno di baliknya. Tapi aku sama sekali tidak ingin membukakan pintu untuknya. Aku takut. Aku benar-benar takut bahkan untuk membagi masalah ini dengannya. Aku tidak butuh untuk disalahkan lagi karena keegoisanku atau pun ketakutanku.
"Nisya ... Please ... Buka pintunya ..." Suara Retno yang mulai melemah terdengar sayup-sayup di antara tangisanku. Ketukan atau gedoran pintu terdengar semakin melemah, hingga akhirnya benar-benar hilang. Sekarang, hanya suara tangisanku yang terdengar di antara kesunyian di luar. Huwaaaa ... apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar tidak bisa berpikir saat ini, karena ketakutan yang paling mendominasi perasaanku saat ini.
Tangisanku terdengar semakin keras, ketika tiba-tiba gedoran di pintu terdengar lagi, "Sya ... buka pintunya! Aku lagi telpon Bang Dipta. Nyuruh dia cepetan ke sini!"
Karena perkataan Retno tersebut aku segera membuka kunci pintu kamar mandi Retno yang sejak tadi kugunakan sebagai tempat persembunyianku. Tidak tidak tidak! Aku belum siap bertemu dengan Bang Dipta. Aku belum bisa menentukan apa yang harus kulakukan!
"Ng ... ng-gak ma-u Bang ... Dip-ta ..." Ucapku tersengal-sengal di antara tangisanku. Retno segera masuk ke dalam kamar mandi dan memelukku erat.
"Oke ... nggak ... Bang Dipta nggak ke sini." Sebagai bukti Retno melepas pelukanku dan mematikan handphone yang sejak tadi masih dipegangnya. "Liat kan?"
Dengan lembut Retno segera menatapku, menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan jarinya dan memelukku lagi. Hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Seseorang yang menopangku, seseorang yang tidak menghakimiku. Meskipun aku tahu dengan watak Retno, hal tersebut tidak akan bertahan lama, dia akan menuntut penjelasan sesegera mungkin.
Air mata masih terus saja mengalir di pipiku. Dadaku pun masih terasa sesak menahan semua ketakutan yang kurasakan. Masih dalam pelukan Retno, aku dipapahnya ke dalam kamar. Didudukkan di atas kasur dan menyelimuti tubuhku dengan rapat. Tanganku masih terus terkepal dan gemetar di dalam selimut. Mengambil segelas air putih dan memaksaku untuk meminumnya.
Napasku masih tersengal-sengal akibat tangis yang tak kunjung berhenti. Beberapa isakan masih saja lolos terdengar. Tapi Retno dengan sabar hanya menatapku dengan khawatir dan menghapus air mataku dengan sabar. Tanpa berusaha mendesakku untuk segera menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku benar-benar menghargai kesabaran Retno tersebut.
Beberapa menit hanya kesunyian yang melingkupi di antara kami. Hanya bunyi handphone Retno yang berdering tiap beberapa menit sekali, yang bisa kutebak Bang Dipta yang pasti juga khawatir dengan panggilan gagal Retno tadi.
"Di-SMS dulu Bang Diptanya, No." ucapku seraya menghapus sendiri air mataku yang masih saja mengalir walaupun semakin sedikit volumenya. "Tapi jangan bilang apa-apa tentang keadaanku saat ini."
Aku tidak ingin Bang Dipta ikut khawatir dengan hal yang menggangguku saat ini. Akan ada saatnya dia harus ikut mengkhawatirkan hal ini. Tapi nanti, saat aku sudah siap bertatap muka dengannya.
"Sebenernya kenapa sih, Sya?" Tanya Retno setelah dia kulihat selesai mengetikkan pesan singkat di handphonenya.
"Kutinggal sebentar beli keperluan bulanan dan pulang-pulang udah kaya sinetron kamu nangis-nangis di kamar mandi." Tambahnya setelah meletakkan handphone di sampingnya. Tangannya meraih genggaman tanganku, mengeluarkannya dari balik selimut. Melingkupi tanganku yang dingin dengan kehangatan genggaman tangannya. Hingga akhirnya kubuka genggaman tanganku dan Retno melihat benda yang ada di genggaman tanganku.
"Nisya ...." Rasa tidak percaya terdengar dalam suara Retno. Tangisan tidak bisa kubendung lagi. Apalagi melihat tatapan kasihan di mata Retno.
"Jadi?" tanyanya pelan yang segera saja kujawab dengan gelengan kepala.
"A-ku ... ta-kut ..." jawabku yang membuat Retno segera meraih benda kecil tersebut dan menelitinya. Helaan napasnya yang menandakan sebuah kelegaan mengiringi tangisanku yang mendadak menjadi semakin keras. Aku benar-benar takut. Retno segera meraihku dalam pelukannya. Menenangkanku dengan mengelus-elus punggungku dan menepuk-nepuknya pelan.
"Semua pasti baik-baik aja, Sya. Apa pun yang terjadi nanti."
Kenapa semua ini harus terjadi justru saat aku sudah berusaha mendamaikan hatiku dan berniat mengikuti saran Retno? Kegalauan yang berusaha kusisihkan justru yang saat ini meminta perhatian.

TBC

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang