Sebuah Kecerobohan

22.5K 933 35
                                    

Adakah yang pernah mendengar kalau mood saat bangun tidur mempengaruhi mood selama satu hari? Dan bisakah kalian membayangkan bagaimana rusaknya moodku saat harus terbangun dengan sebuah kenyataan kalau aku tidak bisa memecat Mbak Tami tanpa alasan yang jelas. Begini-begini aku wanita yang punya akal. Jelas-jelas Bang Dipta sudah mempekerjakan Mbak Tami, masa iya aku sebagai istrinya tiba-tiba saja memecatnya tanpa alasan. Eh, sebenarnya ada alasan sih ya, aku curiga dan cemburu pada Mbak Tami. Tapi alasan macam apa itu? Masa iya aku harus mengaku kalau aku cemburu? Deuh, apa kata dunia? Maaf-maaf saja, pikiranku tidak sesempit itu. Apalagi kalau sampai ketahuan tetangga aku dan Bang Dipta berbeda pendapat begini. Bisa-bisa kami jadi bahan gosip, padahal kami masih terhitung sebagai pengantin baru dan juga warga baru di sini. Tinggal di lingkungan komplek perumahan seperti ini tidak bisa jauh dari mulut nyinyir para tetangga yang selalu ingin tahu urusan keluarga lain.

Jadi untuk sementara aku harus bisa bertahan dengan semua kenyataan ini. Paling tidak yang sekarang bisa aku lakukan adalah menjaga baik-baik suamiku dari godaan mbak-mbak yang katanya genit itu. Karenanya, selama aku berada di rumah aku akan mengawasi suamiku dengan baik-baik. Awas saja kalau sampai dia menunjukkan gelagat menanggapi kegenitan Mbak Tami, kuliburkan juga jatahnya setahun.

Sejak membuka mata tadi rasanya hasrat ingin berbuat anarkis pada Mbak Tami sangat tinggi. Ingin sekali aku mendatanginya lalu menjambak rambutnya atau mencakar wajahnya. Dan sekarang, saat mataku sudah terbuka lebar dan kesadaranku sudah mulai penuh, pemandangan di hadapanku membuat moodku semakin jatuh terpuruk juga terseok-seok. Sepertinya hari ini korban mood burukku bukan hanya Mbak Tami. Pria yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin di meja rias membuatku ingin menelannya bulat-bulat. Apa maksudnya pagi-pagi sudah membuatku jengkel setengah mati begini?

“Tumben pakai kaos itu?” tanyaku dengan suara cempreng seadanya efek bangun tidur. Kutatap tajam Bang Dipta lewat pantulan di cermin meja rias.

Itu kaos kesayangannya yang merupakan hadiah dari Bunda. Sebenarnya hanya kaos biasa. Kaos yang Bunda beli saat beliau jalan-jalan ke Malioboro. Tetapi kaos itu seolah benda keramat di mata Bang Dipta. Dia hanya mau memakainya kalau ada acara santai yang juga mengikutsertakan Bunda. Katanya sih untuk menunjukkan pada Bunda kalau dia menyukai pemberian Bunda tersebut. Tapi itu juga hanya dipakai sekitar dua kali, setelah itu Bang Dipta selalu menyimpan dengan rapi kaos tersebut. Pernah sekali aku menyuruhnya memakai kaos tersebut yang justru dijawab ‘hadiah dari ibu mertua, sayang kalau keseringan dipakai dan dicuci nanti cepat buluk’. Dan lihat, sekarang dia malah memakainya tanpa alasan. Setahuku hari ini tidak ada acara yang berhubungan dengan Bunda. Mencurigakan!

“Kenapa? Bagus yah?” tanyanya balik yang membuatku mencibir kesal. Bagus dari Hongkong!

“Katanya sayang kalau keseringan dipakai dan dicuci, nanti cepet buluk? Sekarang udah nggak sayang?” sindirku.

“Baru juga tiga kali pakai sama hari ini. Nggak bakal buluklah.” Jawabnya enteng.

Tapi abaikan jawabannya yang menyebalkan itu karena saat ini mataku sudah melotot saat tiba-tiba aku melihat Bang Dipta menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Sumpah demi sambel terong balado favoritku, Bang Dipta tidak pernah memakai parfum kecuali ada acara resmi seperti kondangan atau acara keluarga besar, tapi sekarang?

“Kenapa pakai parfum?” tanyaku dengan suara yang semakin cempreng karena menahan teriakan yang seolah berusaha untuk keluar. Argh! Ini udah nggak wajar! Hatiku semakin tidak karuan saat ini. Kata ‘jangan-jangan’ berputar-putar di otakku dengan embel-embel yang sangat horror.

“Hah?” tanya Bang Dipta bingung. “Lah emang nggak boleh pakai parfum?”

Ya Allah, apalagi ini? Jangan bilang kalau semua yang kupikirkan terjadi. Kaos kesayangan? Dan sekarang parfum? Huweeeee … jangan bilang ini ada hubungannya dengan Mbak Tami? Kenapa oh kenapa? Memang bodyku nggak seseksi Mbak Tami. Tapi bodyku juga nggak tepos-tepos amat. Paling tidak kalau body Mbak Tami seperti gitar Spanyol, bodyku seperti kentrung atau ukulele. Yah, memang versi kecil dari gitar Spanyol, tapi kan bodyku 11:12 dengan Mbak Tami, hanya beda ukuran di segala bidang saja. Kalau ukurannya 38 C, ukuranku 34 B. Tidak terlalu jauh kan bedanya. Sama-sama masih di sekitaran 30. Hohoo.

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang