Sebuah Rasa

14.1K 718 31
                                    

Alhamdulillah...akhirnya bisa cepet apdet...dikarenakan ngetik di hape dan tanpa edit lagi...jd harap maklum kl masih ada yg aneh...wkwkwk...
Seperti biasa...ditunggu kritik dan sarannya selalu...#kecupbasahsemua

=========================

Akhirnya aku sudah berdamai dengan kenyataan. Sekarang aku bisa menerima kehamilanku dan Bunda dengan lebih santai. Lagi pula setelah dipikir-pikir, lucu juga keadaan kami ini. Mungkin memang sedikit aneh juga memalukan nantinya adik dan anak seumuran. Tetapi untuk apa malu kalau kami hamil dengan suami masing-masing, bukan suami orang lain. Iya kan? Lagi pula Allah juga memberi kami jalan seperti ini bukan tanpa tujuan. Walaupun entah apa tujuan-Nya, yang pasti itu yang terbaik untuk kami. Jadi, hilangkan semua pikiran negatif yang akhir-akhir ini selalu mengacaukan pikiranku. Lebih baik aku memikirkan kehamilanku yang kurasa sudah memberikan beberapa perubahan pada tubuhku. Membuatku semakin hari semakin takjub.
Ya, hari ini tepat empat bulan pernikahanku dan Bang Dipta sudah terlewati. Yang berarti kehamilan Bunda juga sudah memasuki bulan ke-empat. Perubahan sudah terlihat jelas pada perut Bunda yang terlihat semakin membesar setiap waktunya. Membuatku sadar, adikku sedang bertumbuh dan berkembang di dalam rahim Bunda. Adik yang walaupun awalnya tidak kuinginkan, namun kini ingin sekali kudapatkan. Ingin dia segera lahir, ingin melihat seperti siapa dia, juga ingin segera menggendong dan menyayanginya. Dulu aku pernah menginginkan seorang adik, walaupun baru bisa kudapatkan saat ini, yang mungkin terasa terlambat. Tapi, bukankah akhirnya aku akan memiliki adik? Terlepas nantinya adikku akan seumuran dengan anakku.
Betapa lucunya takdir.
Saat ini aku dan Bang Dipta sedang berada di rumah Ayah Bunda. Rumah sedang ramai, karena hari ini Ayah Bunda mengadakan syukuran empat bulanan kehamilan Bunda. Di rumah akan diadakan pengajian sore nanti. Jadilah di rumah ramai dengan saudara dan tetangga yang membantu mempersiapkan acara sore nanti.
Seharusnya kalau menurut adat Jawa, untuk syukuran kehamilan, lebih sering diadakan saat kehamilan sudah menginjak tujuh bulan. Tetapi Ayah dan Bunda memilih mengadakan empat bulanan. Karena kehamilan empat bulan adalah waktu di mana Allah SWT mengutus malaikat guna meniupkan ruh ke dalam janin yang terdapat di rahim ibunya. Sehingga empat bulanan ini terasa lebih sakral.
Untung saja, beberapa saudara dan tetangga yang saat ini membantu di rumah sama sekali tidak mencemooh kehamilanku dan Bunda yang berbarengan. Mereka bahkan berpikiran merasa lucu dengan keadaan kami ini. Bahkan salah satu tetangga berkata 'unyu deh Nisya sama Bunda'. Ya meskipun entah juga apa yang mereka katakan itu dari lubuk hati yang paling dalam atau bukan, yang terpenting aku tidak harus merasakan emosi-emosi aneh yang sering kurasakan saat memikirkan keadaan aneh kami ini. Lumayanlah, hari ini kurasakan aman terkendali.
Sedang membantu Budhe membuat lemper untuk salah satu camilan nanti sore, saat kulihat tiba-tiba Bunda dipapah beberapa saudara ke kamar. Dengan panik aku segera menghampiri beliau, mengabaikan Budhe yang akhirnya harus melanjutkan membuat lemper sendiri. Bang Dipta dan Ayah sedang keluar, jadi sementara ini tugas menjaga Bunda tentu saja ada di tanganku. Dan bila Ayah tahu Bunda kenapa-napa, bisa habis aku diomeli beliau. Apalagi semenjak Bunda hamil, Ayah menjadi semakin protektif dan posesif pada Bunda.
"Bulik, Bunda kenapa?" tanyaku pada Bulik Ira yang sedang menyelimuti Bunda. Terlihat Bu Khofifah, tetangga depan rumah Bunda mengangsurkan minyak kayu putih ke tangan Bulik Ira.
"Sstt ... Bunda kecapekan. Adekmu ini kan agak rewel, jadi meskipun sudah lewat trisemester pertama, morning sick Bundamu belum hilang juga.Dari tadi pagi Bunda muntah-muntah dan belum makan apa pun. Jadi biar Bunda istirahat dulu." Jelas Bulik Ira yang membuatku hanya menganggukkan kepalaku.
Selepasnya Bulik Ira keluar dari kamar, menyusul ibu-ibu lain yang tadi membantu memapah Bunda yang sudah mendahului keluar kamar. Tinggallah aku sendiri dengan Bunda yang saat ini sudah tertidur, kecapekan dengan kondisi kehamilannya yang memang sedikit rewel. Sangat berbeda denganku.
Selama beberapa saat, pernah aku terpikir, rasanya kehamilanku kurang sempurna. Mungkin bisa disebut aku korban drama, sinetron, novel atau sejenisnya, yang terlalu terpaku pada kehamilan dengan tanda-tanda yang merepotkan seperti muntah-muntah dan tiba-tiba menyukai buah dengan rasa asam. Dan entah beruntung atau justru sial, aku sama sekali tidak merasakan tanda-tanda itu. Tanda-tanda kehamilanku yang paling jelas adalah nafsu makanku dan nafsu tidurku yang memang berubah drastis, semakin meninggi kadarnya. Tapi sangat jarang kan tokoh di drama, sinetron atau novel yang akan ditebak sedang hamil karena perubahan nafsu makan dan nafsu tidurnya. Jujur, aku iri dengan Bunda karena masalah itu. Aku ingin merasakan morning sick yang membuat Ayah selalu khawatir. Aku juga ingin merasakan keinginan besar memakan buah dengan rasa asam yang membuat Ayah rela naik pohon mangga untuk memenuhi keinginan Bunda tersebut. Kekanakan ya? Tapi entahlah, itu pernah jadi salah satu bagian pikiran dan hatiku.
Duduk di sebelah Bunda yang terbaring tenang, aku hanya bisa menatap wajah beliau yang pucat. Seperti ini jugakah Bunda sewaktu dulu hamil aku? Pucat, lelah, namun sinar bahagia terpancar jelas di wajah.
"Dek, jangan rewel dong, kasian Bunda." ucapku ke arah perut Bunda sembari mengelus lembut perut yang saat ini sudah terlihat membesar.
"Sehat di dalem ya, Dek. Jangan nyusahin Bunda. Kalau nurut Bunda, nanti Mbak Nisya beliin sepeda buat adek."
Terlalu terfokus pada pembicaraanku dengan si calon adik, aku sampai tidak sadar Bunda sudah terbangun, "Adek pasti nurut, Sya. Kan, adeknya siapa coba?"
"Loh, Bunda udah bangun?"
"Udahlah. Kan mau nonton anak-anak Bunda ngobrol."
"Yeeee ... siapa yang ngobrol? Ini mah namanya bukan ngobrol, orang adek nggak jawab."
"Yakin? Siapa tahu si adek di dalem perut Bunda lagi manggut-manggut." Dalam benakku, langsung muncul bayangan adik yang sedang manggut-manggut di dalam perut Bunda membuatku segera tertawa. Menularkan tawaku kepada Bunda. Oh, aku sudah tidak sabar menanti saat-saat nanti aku dan Bunda bisa tertawa berdua bersama anak-anak kami.
~oOo~
Alhamdulillah acara empat bulanan Bunda berlangsung dengan lancar tadi. Surat Luqman yang dibacakan ibu-ibu sekitar rumah semoga didengar oleh adek sehingga dia nanti bisa tumbuh menjadi anak yang sholeh atau sholehah. Sekarang sudah jam 11 malam dan kami berdua baru bisa pulang. Sibuk membantu memasak untuk berkat (nasi kotak) yang akan dibawa pulang ibu-ibu pengajian. Ditambah bolak-balik membantu menyajikan camilan dan minuman pada para tamu pengajian. Belum lagi keliling setelah acara, mengantarkan beberapa berkat (nasi kotak) ke saudara-saudara yang agak jauh dan tetangga yang tidak sempat datang. Hasilnya punggungku sangat pegal. Perutku juga sedikit sakit sedari tadi, tetapi mungkin efek aku telat makan.
"Buk, empat bulanannya dedek berarti kira-kira akhir Desember ya nanti?" Pertanyaan Bang Dipta membuatku segera menengok ke arahnya yang sedang serius menyetir dengan sedikit bingung. Dedek? Oh, anak kami. Refleks kuelus perutku yang masih terlihat datar. Belum terlihat seperti Bunda yang sudah mulai membesar.
Sedikit membingungkan menyebut calon anakku sendiri dan adikku nanti. Mereka sama-sama calon adek-adek masa kini. Tapi memang tanpa sadar, kami membedakan mereka dengan sebutan dedek dan adek. Dedek untuk calon anakku dan Bang Dipta. Adek untuk calon anak Bunda dan Ayah yang juga adikku.
"Iya, Pak. Kenapa?"
"Kan ultah Ibu juga tuh, berarti bisa sekalian ya. Syukuran empat bulanan sekalian syukuran dua puluh satu tahunan." Aku hanya tertawa mendengarnya. Apa-apaan Bang Dipta ini, syukuran dua puluh satu tahunan. Tapi ya ampun, aku bahkan melupakan kalau umurku sudah akan memasuki 21 tahun. Dan di ulang tahunku ini, aku mendapatkan kado terindah yang pernah ada.
"Iya ya. Ibu loh malah lupa. Jadi lumayan ya, Pak, ngirit." jawabku yang disambut tawa oleh Bang Dipta.
Tidak lama kemudian, mobil yang dikendarai Bang Dipta sudah memasuki garasi rumah kecil kami berdua. Kasur, i'm coming ....
Keluar dari mobil, tanpa menunggu Bang Dipta yang masih harus menutup pintu gerbang dan garasi, aku berjalan langsung menuju ke kamar. Rencanaku, mengambil baju ganti, mandi bebek sebentar, lalu setelah itu tidur. Ugh! Rasanya pasti sangat menyenangkan.
Heum, enaknya pakai baju apa ya? Yang nyaman dan membuat cepat tidur? Kupandangi isi lemari bingung, hingga akhirnya pilihanku tertuju pada sebuah daster lebar kesayanganku. Biar pun di bagian keteknya sudah robek sedikit, tapi biarlah, toh hanya Bang Dipta yang akan melihatnya. Meraih daster dan pakaian dalam untuk ganti saat tiba-tiba pertanyaan Bang Dipta mengagetkanku, "Bu, kamu mens?"
Heh? Aku mens? Emang bisa? Dengan bingung aku menoleh ke arah Bang Dipta yang saat ini menatap belakang bajuku.
"Nggaklah. Orang hamil mana bisa mens?" Jawabku bingung. Gimana sih Bang Dipta?
"Lah kalau nggak mens, kenapa berdarah?" Ucapannya tersebut segera membuatku membeku. Darah? Mana mungkin? Dengan tangan yang tiba-tiba saja gemetar, aku menjatuhkan daster dan pakaian dalam yang ada di tanganku, segera meraih bagian belakang rok panjang warna biru muda yang sejak tadi kupakai. Basah.
Dengan semakin panik, aku menengok ke arah belakang tubuhku. Cairan warna merah terlihat jelas tercetak di rok biru mudaku. Bulatan berwarna merah tersebut segera saja membuat dadaku sesak. Aku tidak mungkin mens, jadi apa yang sebenarnya terjadi? Jangan bilang kalau ... oh, kumohon jangan ....

TBC

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang