Sebuah Kepastian

16K 854 13
                                    

Uhuk...yakali saya kurang kerjaan apdet cerita tengah malem begini...tapi yang penting huray! saya bisa apdet lagi...saya terhuraaaaa...lebih terhura lagi karna komen-komen yang minta cerita ini lanjut...duh, makasih ya semuanya...jadi semangat lanjut kan dikomen begitu...mau dong komennya, dipanjangin dikit gtu...biar saya tambah lebay semangatnya buat lanjut...wkwkwk...#ngelunjak

Ah, pokoknya ailopyupul dah buat semua yang udah komen atau vote cerita ini...sayah cintah kalian semuah...#eyaaaaaa

=============================================================================


"Sya ...." Panggilan bernada khawatir itu segera saja menghentikan gerakanku. Sedikit mengagetkanku yang sedang memasukkan motor ke dalam garasi. Pasti suara motor tadi yang menunjukkan kedatanganku. Atau mengingkari janjinya, Retno mengabari Bang Dipta diam-diam. Hanya ada dua kemungkinan tersebut menyebabkan Bang Dipta berdiri dengan ragu-ragu di pintu pembatas garasi dan rumah bagian dalam saat ini. Hah, padahal aku sudah berusaha sepelan mungkin, berharap Bang Dipta sudah tidur sehingga aku terhindar dari sesi 'tatap muka' yang sama sekali belum siap aku hadapi.

Ini semua gara-gara Retno, setelah aku menyelesaikan tangisanku, dengan tega dia mengusirku. Terhitung dua kali aku diusir olehnya dalam waktu satu hari. Dan aku tidak cukup bebal untuk menunggu pengusiran yang ketiga kalinya. Alasan Retno mengusirku kali ini jelas, masalah tersebut harus kudiskusikan dengan Bang Dipta. Karena pada dasarnya masalah tersebut hanya kami berdua yang dapat menyelesaikannya. Bukan orang lain, terlebih lagi Retno. Dan timbulnya masalah baru ini kata Retno adalah jalan keluar yang diberikan Allah untukku. Entah kesambet setan apa sampai-sampai dia bisa berkata begitu. Memang seharian kemarin rasanya pikiran Retno sedang lurus dan sedikit bijak. Ah sudahlah, lupakan tentang Retno. Hingga saat ini aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sejujurnya aku bahkan belum siap menghadapi Bang Dipta apalagi memberi penjelasan padanya.

"Kenapa baru pulang?" Desakan bernada khawatir itu sama sekali tidak kuhiraukan. Aku kembali melanjutkan kegiatan memasukkan motor ke dalam garasi, hingga tiba-tiba sepasang tangan sudah menggantikan kegiatanku tersebut. Bang Dipta memakirkan motor maticku tepat di tempat biasanya, di sebelah mobilnya. Tanpa mengucapkan terima kasih atau mengucapkan apa pun aku berjalan memasuki rumah masih menundukkan kepalaku. Aku masih belum sanggup menatap Bang Dipta saat ini. Karena yakin, sekali aku menatapnya maka air mataku akan kembali tertumpah.

Sekarang sudah hampir jam 12 malam. Sebuah kesengajaan aku berlama-lama dalam perjalanan pulang ini. Bahkan beberapa kali aku mampir di beberapa tempat dengan tujuan mengulur waktu dan mencari jalan keluar lain yang sama sekali belum kudapatkan. Baru kurasakan kalau aku sangat lelah. Rasanya hanya ingin segera tidur setelah segala kebingungan, ketakutan dan kepanikan yang kualami. Sehingga hanya satu harapanku, Bang Dipta mau bersabar untuk mendapatkan penjelasanku, apa pun itu. Aku tidak sanggup menghadapinya tanpa harus bertingkah berlebihan nantinya.

"Sya ..." Bang Dipta mengekoriku di belakang. Namun tetap tidak kuhiraukan. Hingga tangannya yang besar dan hangat kurasakan menggenggam tanganku. Memancarkan kehangatan yang tidak sanggup aku terima saat ini. Hanya terdiam, terpaku, kutatap lantai tempatku berpijak. Mencoba menahan diri untuk tidak bersikap emosional seperti saat aku berada di kos-kosan Retno tadi. Apa yang harus kujelaskan dan kubicarakan dengan Bang Dipta membutuhkan akal sehatku, yang jelas sedikit sekali kumiliki saat ini.

Hanya sekitar satu menit kami sama-sama terdiam dalam posisi yang mirip adegan film India ini, ketika tiba-tiba Bang Dipta membalikkan badanku dan menarikku dalam pelukannya. Melingkupi bukan hanya tubuhku, tetapi juga hatiku dengan kehangatannya. Membuatku lemah hingga akhirnya meluapkan segalanya dalam tangis.

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang