27. Bad Day

128 8 0
                                    

Aku berjalan gontai kembali ke mobil. Pak Supirku sempat melotot dan terkejut melihatku. Aku segera menghentikan dia yang hendak berlari menyusulku. Aku melambaikan tangan kananku sebagai tanda tidak perlu di susul aku bisa jalan. Aku membuka pintu mobil dengan lemas. Kurasa aku butuh mandi mendinginkan kepalaku lalu tidur.

                Menguntit Bara membuatku pulang telat. Langit sudah petang ketika aku sampai di rumah. Pak supirku membukakan pintu mobil untukku, biasanya tidak pernah seperti ini, mungkin dia masih mengkhawatirkanku. Aku berusaha mengucapkan terimakasih meski dengan lemah.

                Aku melirik mamaku, dia ada di teras dengan tanaman-tanaman miliknya. Seperti biasa dia selalu bicara dengan tanaman jika memiliki waktu luang. Sepertinya mamaku sedang mengusap-usap tanamannya itu.

"kau baik-baik saja ?" mama melirikku ketika aku melewatinya, menyebabkan dia menyadari kondisi burukku.

Awalnya aku ingin mengabaikan mama agar bisa cepat sampai di kamar, tapi ada sesuatu hal yang ingin kukatakan ke mama.

"kupikir mama paling aneh karena bicara dengan tanaman, tapi ada yang lebih aneh. Bermain dengan tanaman"

Mamaku tertawa renyah "mama juga bermain dengan tanaman. Itu tidak aneh sayang"

Aku menggelengkan kepala lemah "tanaman yang kumaksud hidup ma, bisa dimainkan" aku memperagakan dengan tanganku. Tapi sepertinya mamaku tidak mengerti karena tanganku malah membuat bentuk abstrak.

"tanaman memang hidup kan, tanaman juga membuat kita hidup" mama kembali menyentuh tanamannya. Sepertinya mama tidak tertarik dengan percakapan ini. Aku justru semakin geram menjelaskan ke mama apa yang aku lihat.

"tanamannya bergerak" aku berbicara dengan tegas, mencoba meyakinkan.

Mamaku berbalik badan lagi, dia memberiku senyum kesal "tanaman memang bergerak, kau pikir kenapa batang bisa bengkok ke kanan lalu kekiri dan manusia bisa menentukan arah geraknya" benar dugaanku, mamaku kesal bicara denganku. Bukan salahku, karena kita membahas sesuatu yang tampak sama antara pikiran kita berdua padahal aslinya berbeda. Yasudahlah, tenagaku sudah habis untuk berdebat lagi.

Aku berbalik badan dan melanjutkan langkahku ke kamar.

.............................................................................

                Sejak pagi aku keluar dari rumah, aku ketakutan ketika melihat tanaman. Dalam benakku mereka seolah sedang menertawakanku. Aku bahkan menutupi mataku agar tidak melihat tanaman sepanjang perjalanan, aku seperti memakai kacamata kuda karena dua telapak tanganku berada di pelipisku.

                Sekarangpun sebenarnya aku ingin tinggal di kelas saja. Aku ingin menghindar dari tanaman sampai ketakutanku ini mereda. Sepertinya mulai detik ini aku phobia tanaman. Ini gawat, aku pasti kesulitan menjalani kehidupanku jika hal itu sungguh terjadi.

                Tapi sialnya, guru biologiku memintaku untuk membawakan buku miliknya ke ruang guru. Yang mana dengan terpaksa aku harus berajalan tanpa menutupi mata dan melihat tanaman tanaman itu meledekku.

                Kedua tanganku sibuk menyangga buku. Aku tidak bisa jalan jika memejamkan mata untuk menghindari tanaman, alhasil aku benar-benar bersikap aneh. Aku terkena serangan terkejut setiap kali melihat tanaman, ketika tanaman di kanan aku membuang muka ke kiri. Begitupun sebaliknya.

Daun daun itu seperti punya mata dan mulut. Mereka tertawa, batang pohon itu seperti menunjuk ke arahku. Mereka menertawakanku. Meskipun tidak ada suara tapi aku tahu dengan jelas, ekspresi mulut lebar dan terpingkal-pingkal itu sangat menjelaskan semuanya. Ya Tuhan kenapa cobaan berat ini harus terjadi padaku.

                Aku mempercepat langkahku untuk bisa segera sampai di ruang guru. Aku hampir terjatuh karena berjalan saking cepatnya dan keseimbanganku kurang ketika membawa beban berat di kedua tanganku. Untunglah dengan sigap Jafin dan Rea datang menangkapku. Lebih tepatnya mereka ingin menyelamatkan buku yang kubawa, tapi berhasil juga aku tidak jadi jatuh.

"untung kalian disini" aku tersenyum dengan terharu. Aku ingin memeluk mereka tapi tidak bisa.

"ada apa ?" tanya Rea, dia menggandeng lengan Jafin dengan erat. Tidak perlu dijelaskan lagi apa hubungan mereka jika sudah seperti itu kan. Aku tidak akan menanyakan

"tolong antarkan buku ini ke ruang guru" aku menyerahkan tumpukan buku itu.

Kedua tangan Rea menghentikan, dia menolakku. "kenapa harus aku, kan yang disuruh itu anda"

"tapi aku minta tolong, aku tidak sanggup melanjutkan perjalananku ke ruang guru. Kau lihat kan aku hampir jatuh"

"ruang guru tinggal sedikit lagi Faleesha jangan berlebihan " Rea menunjuk arah ruang guru yang memang bisa terlihat jelas dari posisi kita. Hanya saja aku tidak ingin ke sana, aku ingin kembali ke kelas.

Karena Rea tidak bisa diharapkan aku meminta pertolongan Jafin "Jafin tolonglah" aku membuat ekspresi wajah sesedih mungkin agar dia iba padaku, aku seperti mengemis.

Ketika tangan Jafin akan meraih buku, Rea malah menariknya. Rea menariknya pergi menjauh dariku "tidak bisa-kami sibuk" teriak Rea meninggalkanku.

Sialan memang, lihat saja jika nanti meminta bantuanku untuk tugas aku tidak akan membantunya. Teman memang selalu begitu, jika sudah punya pacar lupa dengan sahabatnya. Semua hidupnya tentang pacar seperti tidak butuh orang lain. lihat saja jika putus, pasti larinya juga ke aku.

Aku memandang kepergian Rea dan Jafin, mereka malah tertawa dan seolah ini lucu. Tanpa sadar aku berteriak dengan keras "MENYEBALKAAAN" semua orang yang lewat disekitarku sampai terkejut dan memegangi kuping. Mereka menggerutu padaku.

Astaga aku bodoh sekali. Aku segera kabur ke ruang guru. Aku meletakkan buku itu di meja guru biologiku. Setelah itu aku keluar dengan sesegera mungkin.

Ketika tanganku menutup pintu ruang guru dari luar, seseorang menepuk pundakku.

"bisa kau bantu menata tanaman ini ?"

Aku berbalik dan sosok Pak Rudi guru olahragaku berdiri menjulang di depanku. Pak astaga apa yang barusan kudengar.

"maaf Pak ?" aku bertanya lagi untuk memastikan

"hanya menata saja, letakkan dua tanaman kecil ini di depan ruang UKS. Hanya itu, mudah kan" aku tersenyum tapi kepalaku menggeleng dengan kuat. Pak jangan, kumohon tolong Pak aku bisa mati berdiri. Aku berteriak dalam hati. Aku ingin mengatakan itu dengan lantang tapi pasti Pak Rudi mengira alasanku konyol.

Apalagi tempat yang dituju adalah UKS, aku tidak mau melihat tanaman yang bergerak itu lagi. Aku takut bertemu dengan si tanaman itu. Itu menyeramkan.

Aku menatap nanar Pak Rudi yang bergerak mengambil tanaman lalu menyerahkan padaku. Beliau seolah mengabaikan gelengan kepalaku. Sebagai siswa teladan aku tidak kuasa menolak permintaan guruku. Apalagi ini permintaan sederhana jika dipikirkan dengan normal. Aku bisa dicap siswa nakal jika menolak.

"tolong ya" Pak Rudi mengusap kepalaku setelah berhasil memenuhi kedua tangan kecilku dengan dua tanaman dalam pot.

Pak Rudi meninggalkanku masuk ke ruang guru. Ini seperti kiamat bagi duniaku. Aku menghembuskan napas gusar berulangkali. Untung saja tanaman ini kecil jadi aku bisa menjaga mataku fokus ke depan agar tidak perlu melihat si tanaman ini.

Aku berulangkali menarik napas dalam untuk menstabilkan emosiku serta fokusku, sudah mirip orang melahirkan. Apalagi ditambah peluh di keningku mulai membanjir. Aku seperti melahirkan sambil berjalan.

"Faleesha !" aku mendengar seseorang memanggilku. Aku berhenti dan menengok ke sumber suara. Elo menghampiriku. Tidak kusia-siakan kesempatan emas ini.

Aku menyerahkan dengan tergesa dua tanaman ini kepadanya "tolong kau letakkan ini di depan ruang UKS. Pak Rudi yang meminta" aku segera berlari kabur.

"terimakasih banyak" aku berteriak ketika sudah menjauh.

..................................................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now