The Living of Saga - Mate

65 15 5
                                    

"Sesuatu yang ditakdirkan tak akan pernah lari, hanya takdir yang sedang menggodamu untuk dapat menemukanya."

ꓸ᭄ꦿ⃔✦𖣘✦▭◦𖣘◦▭ ꓸ᭄ꦿ⃔✦𖣘┄--------┅╮

.
.
.

Hyojoo terbangun begitu cahaya matahari menembus tirai jendela mengenai wajahnya. Mendapati lehernya pegal lantaran tidur tanpa bantal, begitupun pundaknya terasa sakit. Sedangkan pria asing yang ia tolong semalam sudah tidak ada di sofa, apa Hyojoo bermimpi. Irisnya berkeliling mengamati lantai yang masih kotor oleh bercak darah dan alat-alat yang ia gunakan semalam masih tergeletak. Hyojoo memang tidak bermimpi, tapi kemana perginya pria asing itu. Pergi tanpa mengucapkan terimkasih, benar-benar keterlaluan padahal tubuh Hyojoo hampir remuk karena menolongnya.

Hyojoo menghela nafasnya lalu bangkit dan berdiri mulai membersihkan kekacauan ini sebelum Ayahnya melihat. Diliriknya jam di atas nakas menunjukan pukul enam, setidaknya masih ada waktu untuk bersiap pergi ke kampus. Pikiranya kembali terulang mengingat-ingat wajah pria asing itu. Ia seperti pernah melihatnya tapi entah di mana, mendadak ia kesal lantaran tidak ada salam perpisahan atau saling bertukar nama. Dua pria asing yang ditemui semuanya pergi tanpa meninggalkan nama. Apa lagi pria di toko bunga kemarin tampak buru-buru sampai tidak sempat bertanya nama.

"Jooie, kau belum bersiap juga."

Hyojoo terkejut begitu mendengar suara Ayahnya sudah siap dengan pakaian formal keluar dari ruang kerja. Gagang pel yang ia genggam pun langsung ia sembunyikan dibalik tubuh walaupun Ayahnya sudah melihat apa yang ia lakukan. Dengan canggung Hyojoo menebar senyum selamat pagi walaupun jantungnya hampir lompat. Untung bercak darah di lantai ruang tamu sudah dibersihkan oleh Hyojoo lebih dulu.

"Pagi, Ayah."

"Tumben sekali putri Ayah mengepel pagi-pagi biasanya paling malas mengepel lantai." Ucap pria yang sudah berkepala empat itu heran. Pasalnya memang Hyojoo paling malas membersihkan lantai.

Hyojoo menggaruk telingannya yang tak gatal, mengulun bibir sembari mencari alasan yang tepat. "Em, itu karena. Karena sedang ingin saja, lagi pula sudah lama Hyojoo tidak bersih-bersih rumah," Katanya disusul tawa receh.

Han Daehyun pun mengangguk percaya melihat tingkah putrinya, berlalu mengelus kepala Hyojoo seperti biasa mengingat ia harus segera ke kantor. "Kalau begitu Ayah berangkat dulu, kau jangan lupa sarapan sebelum pergi, ya." Diakhiri dengan kecupan manis di dahi dari sang Ayah yang sudah menjadi rutinitas pagi.

Ayahnya memang sangat menyayangi Hyojoo dan menjaga Hyojoo sangat baik. Walaupun sejak kecil selalu dimanjakan ketika dewasa Hyojoo berubah menjadi gadis mandiri. Itulah alasan mengapa ia mengambil kerja paruh waktu agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Padahal gaji bulanan Ayahnnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari termasuk keperluannya, namun Hyojoo tetap besikeras mengambil sip kerja.

Tanganya terus melambai sampai persepsi pria paruh bayah itu menghilang dari halaman rumah bersama taksi online.

"Huff, untung saja Ayah tidak melihat darah yang berceceran di lantai." Gumamnya. Kemudian bergegas memberskan peralatan pelnya sebelum pergi mandi.

❀࿆⃧፝྅⃕ꦿ

"Tumben sekali kau membeli mawar merah sebanyak itu."

Pria berbalum jas formal di atas sofa itu mengalihkan atensinnya dari jendela besar yang mengjadap langsung ke sungai Han. Irisnya menyoroti obsidian pria jangkung bertopi baret Ellioti berwarna hitam, sangat pas dengan wajah lembutnnya yang tampan.

Hyunjin mengambil satu tangkai mawar merah yang mulai tampak layu di vas kaca bening di atas nakas. Mencium kelopak harumnya dalam-dalam sebelum warna merahnya berubah menjadi warna hitam pekat layaknnya arang. Daun dan batangannya pun ikut berubah warna menjadi hitam senanda dengan kelopaknya.

ᴛʜᴇ ʟɪᴠɪɴɢ ᴏꜰ ꜱᴀɢᴀ; ᴛʜᴇ ᴡᴇʀᴇᴡᴏʟꜰ ʙʀɪᴅᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang