~Masa lalu hanya indah untuk dikenang, bukan untuk dilanjutkan (Inggita Wimala)~
Hari Sabtu (tiga minggu kemudian)..
Masih pukul setengah dua siang, aku masih bergoler di atas kasur sembari menikmati tayangan drama series dari layar LED yang tertanam pada dinding kamar. Beberapa hari ini loading pekerjaanku sangat banyak, hingga aku harus mengambil overtime setiap harinya. Hingga membuat weekend ini badanku rasanya begitu penat dan aku ingin menghabiskan hari ini dengan rebahan di atas kasur.
Mama sudah pergi sejak tadi pukul satu siang menuju butik miliknya dengan diantar Suroto. Kami makan siang hanya berdua saja karena papa seharian ini pergi ke luar kota karena mengikuti sebuah seminar keuangan di Bogor. Sisanya, hanya ada aku dan Bi Onah.
Aku sendiri memiliki janji dengan Gatra pukul enam sore. Kendati jadwal kerjanya luar biasa padat, tetapi Gatra tetap ngotot untuk selalu datang ke rumah setiap malam Sabtu. Aku khawatir Gatra terlalu memaksakan diri.
"Aku nggak bakal bisa melewati seminggu ke depan dengan tenang kalau nggak ketemu kamu, Ing." Dalih Gatra setiap kali aku memberinya nasihat. Kalau Gatra sudah mengeluarkan gombalannya, aku pasti langsung tak berkutik di depannya.
Omong-omong soal Gatra, dia sudah diterima di keluargaku dengan tangan terbuka. Sejak hari pertama kami resmi jadian, Gatra sudah datang ke rumah dan berkenalan dengan Papa juga Mama. Dengan segala daya tariknya—yang entah dari mana datangnya—Gatra langsung bisa memikat hati Papa, apalagi Mama. Bahkan Mama minta diajari bagaimana caranya menghasilkan gambar dengan angel foto yang bagus untuk koleksi baju-baju di butiknya.
Kalau mereka berdua sudah bicara bisnis, aku cuma duduk dan jadi pendengar saja. Aku kalah ke mana-mana dibanding Mama.
Suara ketukan pada pintu kamar mengoyak perhatianku. Aku menekan pause pada remote televisi dan beringsut turun dari kasur. Saat aku membuka pintunya, mataku mendapati Bi Onah berdiri di sana.
"Non Ing, ada yang mencari tuh. Laki-laki, Non."
"Siapa, Bi? Gatra?" tanyaku mengernyit. Seingatku Gatra ada pekerjaan hingga pukul tiga sore.
"Kalau Mas Gatra mah Bibi sudah kenal, Non," jawab Bi Onah mengingatkan. Aku tertawa kecil.
"Baik, Bi. Tolong tamunya disuruh duduk sebentar. Aku ganti baju dulu. Terima kasih, Bi Onah."
"Ya, Non." Bi Onah mengangguk singkat sebelum memutar tumitnya meninggalkanku bertanya-tanya siapa gerangan yang datang menemuiku siang hari ini.
Aku berganti baju dengan cepat, merapikan diri dan tak lupa memberi sedikit sapuan bedak dan lipstik pada wajahku agar tidak terlalu pucat. Setelah memastikan diri di depan kaca sekali lagi, kakiku bergegas menuruni tangga dan langsung berayun menuju ruang tamu.
Setiba menjejakkan kaki di ruang tamu, kontan tubuhku membeku dengan bola mata terbelalak tak percaya.
"Halo, Inggita. Senang bertemu denganmu lagi." Melihatku masuk, tamuku itu langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut kehadiranku.
"Vi.. Vikram?" Suaraku bergetar serak. Rasanya aku ingin pingsan saat ini juga, karena terlalu shock melihat Vikram berdiri di tengah ruang tamu rumahku—hal yang dulu tak pernah pria itu lakukan meski aku sudah memintanya berkali-kali. Aku menelan ludah sebentar dan buru-buru menggenggam kesadaranku kembali. "Silakan duduk."
Vikram kembali duduk di tempatnya kembali, sedangkan aku duduk di depannya dengan pikiran berkecamuk dan perasaaan teraduk-aduk. Ada apa gerangan tiba-tiba Vikram datang ke rumah?
"Aku juga senang bertemu denganmu, Vikram. Masih tinggal di Jakarta atau sudah pindah ke Yogyakarta?" Aku mencoba melantingkan sebuah senyum hangat meski terasa dipaksakan. Aku tak yakin apa senyumku tampak seperti yang kuharapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Mengejar Jodoh
RomanceBagi Inggita, Tuhan pasti mengambil tulang rusuk Vikram ketika Sang Maha Pencipta itu menciptakan dirinya. Tetapi, siapa bisa menduga bagaimana alam semesta mengatur perjalanan bidak hidup manusia di planet ini. Ketika Vikram tiba-tiba memutuskan h...