[5] The Twins

11.5K 1.5K 24
                                    

~ One of the causes of failure to move on is denial (Gatra Sembrani) ~

Masih hari Selasa..

The Twins adalah kedai kopi yang terletak di pinggir jalan raya Jagakarsa. Bangunannya berbentuk kotak dan tampak minimalis, hanya terdiri dari satu lantai saja. Kecil dan halamannya pun tidak terlalu luas. Aku mengira-ngira mungkin tidak muat lebih dari lima mobil. Namun, atap kedai yang sengaja dipasang miring dengan teras penuh tanaman layaknya rumah tinggal, membuat kedai ini terlihat cute dan terasa homey.

Kami duduk di sudut kedai, sedangkan kedua mataku berkeliling mengamati. Beberapa pengunjung—semuanya anak muda—tengah duduk-duduk di kursi yang tersedia di teras belakang. Ada dua orang barista laki-laki yang sedang sibuk di meja bar yang terletak tak jauh di belakangku, serta dua orang perempuan yang mengenakan apron hijau tua yang terlihat wira-wiri membawa nampan.

"Vikram sering nongkrong di sini." Gatra memberikan informasi tanpa diminta. Mungkin Gatra melihat mataku begitu rakus, seperti menelan apa saja yang ada di sekitar kami. Aku memang kelaparan, tepatnya lapar akan keberadaan Vikram di mataku saat ini.

Aku tidak mengomentari ucapan Gatra. Mataku lebih fokus pada salah seorang perempuan yang memakai apron hijau tua itu. Wajahnya manis, rambutnya ombre warna-warni, dan dia sekarang sedang berjalan ke arah kami karena Gatra melambaikan tangan ke arahnya.

"Hai, Wari. Rambut lo diapain lagi sih? Jadi kayak traffic light gitu." Gatra terkekeh setelah mengatakan demikian. Si ombre yang dipanggil Wari hanya membalas dengan dengusan. Ternyata bukan hanya aku saja yang jadi objek bully-an Gatra. "Oh ya, kenalkan ini Inggita, pacarnya Vikram, yang gue bilang kemarin. Ing, ini Prameswari..hm.. temannya Vikram."

Dari info Gatra kemarin, perempuan bernama Wari ini adalah salah satu dari si kembar pemilik kedai. Mendengar komentar Gatra barusan, aku menduga laki-laki ini pasti sudah akrab dengan mereka berdua. Selesai dikenalkan Gatra, aku dan Wari saling berjabatan tangan secara formal.

"Lo mau pesan dulu apa mau langsung ketemu Deva?" Wari mengeluarkan kertas dari kantong apron yang wanita itu kenakan. Wajah Wari jutek banget. Aku heran, kalau waitress-nya judes begini bagaimana kedai ini mendapatkan pelanggan mereka?

"Pesan espresso dulu deh. Kamu apa, Ing?" Gatra membalas dengan santai, tak sedikit pun merasa terganggu dengan sikap Wari padanya. Aku memesan macchiato dingin.

"Ditunggu 10 menit." Wari mencatat pesanan kami dengan cepat sebelum membawa wajah juteknya berlalu dari meja kami.

"Kamu mau makan sesuatu? Sponge cake, donat, waffle__."

"No. Thanks," potongku cepat. Perutku tidak terasa lapar.

"___singkong goreng?" Gatra tersenyum lebar. Aku melengos menanggapi candaan Gatra. Tatapan mataku lebih suka memperhatikan sepasang kekasih yang sedang suap-suapan di ujung sana. Tak sadar aku menghela napas.

"Kenapa ya perempuan kalau putus cinta cenderung nggak doyan makan?" Aku mendengar kembali suara Gatra. Buru-buru pandangan mataku berlabuh di kedua mata Gatra yang duduk di depanku.

"Aku bukan nggak doyan makan, tapi memang nggak lapar." Aku melotot ke arah Gatra.

"One of the causes of failure to move on is denial." Gatra berdiri sembari meraih ponsel dari atas meja lalu berlalu meninggalkan meja kami. Aku masih bisa mendengar tawa kecil yang penuh ejekan keluar dari mulut Gatra.

"Sok tahu," balasku. Memastikan kalau suaraku sampai di telinga Gatra.

Sambil menunggu waktu, aku membalas pesan whatsapp yang dikirimkan Maribel barusan. Sahabatku tersebut menanyakan perkembangan misi pencarianku. Tadi pagi aku sudah bercerita singkat kalau aku dan Gatra sedang dalam perjalanan ke kedai kopi milik salah satu sahabat Vikram.

[END] Mengejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang