[1] Head over heels for you!

37.6K 2.3K 46
                                    

~ Tuhan pasti mengambil tulang rusukmu ketika Ia menciptakan diriku (Inggita Wimala) ~

Hari Kamis..


Bulan mengintip separuh di atas langit Jakarta, menciptakan hawa sejuk berembus pelan di atas pelataran parkiran Grand Camaro Mall. Aku dan Vikram baru saja selesai makan malam di salah satu food court mereka. Kami berdiri di samping mobil jazz kelabu milikku sebelum berpisah.

"Jangan ngebut, Inggita. Hati-hati di jalan, ini sudah malam," bisik Vikram sembari menyingkirkan sulur-sulur rambut yang mengganggu sebelum pria itu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Layaknya Prince Harry menatap Meghan Markle, bola mata Vikram juga bersorot penuh kasih sayang padaku. Ditatap sedemikian rupa, siapa yang tak terbang jiwanya hingga langit lapis ke tujuh?

Mungkin ini yang namanya jatuh cinta, atau tergila-gila tepatnya. Setiap kali Vikram merekatkan telapak tangan kami berdua, jiwaku seketika terbang di atas awan. Kehangatan kulit dalam genggaman Vikram seolah menjalar lambat dari telapak tangan, menggelenyar melewati lengan lalu menyelinap ke dalam hatiku. Membuat hatiku merekah dan menciptakan sebuah nyanyian indah penuh cinta di dalam sana.

Aku bertemu Vikram satu tahun yang lalu, ketika kami sama-sama mengikuti sebuah seminar tentang perpajakan. Wajah Vikram memang tampan, tetapi pada awalnya sosok Vikram tak cukup kuat mengeret perhatianku untuk melihat pria tersebut. Tiba saat istirahat makan siang, tanpa sengaja Vikram duduk di sebelahku. Kupikir Vikram sekadar basa-basi saja saat itu, tetapi rupanya obrolan basa-basi kami terus nyambung. Aku mendapati ternyata Vikram memiliki pribadi yang menyenangkan. Hingga istirahat makan siang berakhir, aku merelakan nomor ponselku tercatat di dalam ponsel Vikram, begitu juga sebaliknya.

Saat sesi tanya jawab dalam seminar itu berlangsung, lagi-lagi Vikram berhasil mempesonaku. Pria itu memberikan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada para narasumber seminar, membuat kelopak mataku yang awalnya mulai diserang kantuk menjadi melebar seketika. Hm, tidak salah aku memberikan nomor ponselku pada Vikram, pendapatku saat itu.

Bermula dari pertukaran nomor ponsel itu, hubunganku dengan Vikram berlanjut. Awalnya kami cuma janjian untuk makan malam biasa. Dari sana, kemudian berlanjut dengan nonton bioskop berdua. Hingga pertemuan kami menjadi makin intens dan dekat.

Lama-lama aku merasakan kalau kami memiliki vibrasi yang sama. Chemistry yang terjadi di antara kami sangat kuat. Ketika kami pada suatu titik di mana Vikram menyatakan rasa cintanya padaku, tanpa ragu-ragu aku pun mengiakan.

Panggilan jiwaku begitu dalam pada Vikram. Aku bisa merasakan kalau Tuhan sudah mengambil tulang rusuk Vikram ketika menciptakan diriku. Meski Maribel—sahabatku, mentertawakan teori absurd tentang penciptaanku, tetapi aku sepenuhnya yakin bahwa melalui campur tangan energi alam semesta, Tuhan sudah membawaku bertemu dengan jodohku, yaitu Vikram. Fixed. Tak terbantahkan lagi!

"Okay. Mobilmu parkir di mana?" Aku mengedarkan kedua mataku untuk mencari keberadaan pajero sport merah marun milik Vikram.

"Aku parkir di basemen bawah. Tadi parkiran di sini penuh pas aku tiba," sahut Vikram seraya meremas telapak tanganku dengan lembut. Kepalaku mengangguk. Tanpa melepaskan tatapan sayangku, aku ingin mengingatkan janji super pentingnya padaku.

"Kamu nggak lupa janjimu hari Minggu, kan?" pancingku untuk mengingatkan Vikram.

"Tentu saja." Vikram mengacak lembut pucuk rambutku. "Aku cuma.. sedikit khawatir orang tuamu nggak menyukai kehadiranku."

"Hei. Papa dan mama itu orang tua paling baik sedunia. Mereka pasti menyukaimu, aku jamin. Tenang saja." Telapak tanganku mengelus lengan liat milik Vikram dengan penuh kasih sayang.

Setelah nyaris satu tahun kami pacaran, belum sekalipun Vikram bertemu dengan kedua orang tuaku. Padahal, mama sudah sering memintaku untuk mengajak Vikram ke rumah. Namun, Vikram selalu menolak ajakanku dengan cara halus. Pria itu beralasan kalau dirinya merasa belum siap bertemu dengan kedua orang tuaku.

Okay. Aku bisa memaklumi sikap Vikram. Pria mana yang tak gentar bertemu dengan calon mertua kekasih tercintanya. Benar, kan?

Janji Vikram untuk datang ke rumahku berawal dari keluhan pria itu yang tak bisa pulang ke rumah orang tuanya pada hari raya yang jatuh pada hari Sabtu nanti karena loading pekerjaan di awal bulan. Sebagai kekasih yang baik, tentu saja aku menghibur Vikram. Sebenarnya, setiap hari raya keluargaku juga selalu mengunjungi rumah nenek di Jember. Tetapi, kali ini aku seperti melihat sebuah kesempatan langka. Mumpung Vikram tak pulang ke kampung halaman, aku bisa sedikit memaksa kekasihku itu untuk bertemu orang tuaku pas hari raya.

Awalnya—selalu saja—Vikram menolak usulanku dengan halus. Namun, karena seorang Inggita Wimala tak mudah menyerah, aku terus mendesak hingga Vikram akhirnya mengalah. Well, aku langsung meminta orang tuaku untuk membatalkan rencana mereka mengunjungi nenek pada hari raya ini.

"Aku percaya kok, orang tuamu pasti baik," sambut Vikram mengeret lamunanku kembali. Telapak tangannya mengusap kepalaku, mengundang cengiran bahagia lolos dari bibirku. Setelah Vikram menyematkan sebuah ciuman hangat khas dirinya di dahiku. Tangan Vikram yang bebas membuka pintu mobil di belakangku dan mendorongku lembut untuk masuk. "Hati-hati, Inggita. Sampai jumpa Hari Minggu."

Aku mengangguk dan membawa tubuhku duduk di belakang kemudi mobil. Setelah memberikan lambaian hangat, aku membawa roda mobilku menggeleser pelan meninggalkan Vikram yang masih berdiri memperhatikanku. Senyum bahagia tak pernah lekang dari bibir. Hatiku sepenuhnya yakin, tahun ini akan menjadi tahun paling membahagiakan dalam hidupku.

-oOo-

Hari Jumat ..

Aku memasukkan berbagai macam bahan makanan, kue kering juga minuman kemasan ke dalam bagasi mobil. Bersama mama yang masih saja cantik di usia setengah baya, kami berbelanja segalam macam kebutuhan untuk hari raya, terutama pada hari kedua di mana mama akan menjamu calon menantu yang sudah sejak lama dinanti-nantikan kehadirannya. Kalau aku mengingat rencana makan malam lusa nanti, selalu saja seringai bahagia seketika lolos dari bibirku.

"Kamu jangan cuma cengar-cengir terus, Inggita. Sambil bantu mama mengingat-ingat juga apa ada belanjaan kita yang masih kurang," tegur mama tanpa mengalihkan wajah dari kantong-kantong belanjaan yang menumpuk di depan kami.

"Ih, Mama. Aku kan lagi bahagia, Ma," balasku tanpa bisa menahan cengiran lebar yang lagi-lagi tampil di atas wajahku.

Dulu, mama pernah cerita kalau papa melamarnya saat mama berumur 25 tahun, setelah mereka melewati masa tiga tahun pacaran. Menilik usiaku sekarang, artinya satu tahun lagi adalah umur idealku untuk mulai berumah tangga—seperti mama.

Sebagai satu-satunya anak dalam keluarga, hanya papa dan mama yang selalu jadi role model dalam urusan hubungan cinta. Kuakui, kadang-kadang aku iri dengan mereka. Bagaimana tidak? Setelah 24 tahun aku eksis di atas bumi, mereka berdua selalu saja tampil akur, hangat dan mesra. Seakan-akan aura mereka saling bersinergi. Layaknya berjodoh, papa memang diciptakan untuk mama, begitu juga sebaliknya.

Ah. Sama halnya dengan diriku dan Vikram, aku juga sepenuhnya yakin kalau aku dan Vikram akan berakhir seperti orang tuaku.

"Kamu tahu apa makanan kesukaan Vikram?" tanya mama tiba-tiba. Kali ini bola mata mama menatapku bulat-bulat. Mendengar pertanyaan random yang tahu-tahu diberikan mama, bibirku kontan mengerucut, berpikir dengan keras.

"Vikram sih ngikut apa mauku, Ma. Makan seafood, oke. Chinese food, ayo. Hm, makanan jepang, nggak masalah. Vikram nggak pernah rewel kalau soal makan."

"Mama ngerti. Tapi, bukan berarti Vikram harus terus mengikuti apa maumu. Kalau kamu memang serius sama Vikram, harusnya kamu mulai belajar mengenalnya lebih dekat, Inggita. Terutama dengan keluarganya," kata mama panjang lebar. Nasihat mama kontan mengundang mulutku tersenyum lebar.

"Iya, Mama Cantik," ujarku sembari bergerak untuk mencium pipi kiri mama.

Sebenarnya, aku sama sekali belum mengenal keluarga Vikram, tapi aku bisa memikirkannya nanti. Saat ini hatiku tengah dipenuhi bunga pancarona. Padahal Vikram belum mengatakan ingin melamarku, tapi rasanya aku sudah seperti calon istrinya saja.

Ya ampun. Aku sudah tak sabar menunggu datangnya hari lusa!


[END] Mengejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang