[16] Tawaran Sebuah Hubungan

12K 1.3K 68
                                    

~Let life surprise you. Just enjoy it (Gatra Sembrani)~

Hari Minggu..

Tepat pada pukul tujuh pagi setelah selesai berurusan dengan sarapan, aku dan Gatra bergegas check out dari guest house tempat kami menginap selama dua malam. Aku sengaja meminta Gatra mematikan pendingin mobil agar aku bisa membuka lebar jendela pajero dan menikmati sejuknya angin pagi.

Aku duduk sedikit merosot di kursi dan menyandarkan kepala pada birai jendela mobil. Aku membiarkan embusan angin mempermainkan rambutku dan menampari wajahku sendiri.

Panorama pagi hari yang disuguhkan oleh kota ini sungguh luar biasa. Hijau di mana-mana, aku berharap sinyal warna hijau menjadi cerminan kesembuhan buat hatiku. Dari kejauhan tampak menjulang gunung yang belum tertutup gerombolan awan domba putih di langit. Ia berdiri tenang, mempesona serta menghipnotis diriku.

Kecantikannya membuatku bisa sejenak melupakan fakta kalau rangkaian acara Vikram akan dimulai hari ini. Seserahan dan lamaran, besoknya_____.

Stop it, Inggita! Kamu sudah berjanji akan meninggalkan Vikram di sini!

Aku menggembungkan dada, mengeret sebanyak-banyaknya udara bersih dari oksigen di luar sana. Berharap bisa mengisi kekosongan yang masih saja terasa menggigit jiwaku ini.

Dulu, tidak sesakit dan sesulit ini untuk melupakan mantan-mantanku. Aku selalu berusaha berpisah dengan cara baik-baik, tetapi balasan yang aku dapatkan kali ini sungguh memporakporandakan pertahanan mentalku.

Terlalu lama benakku mengawang tak menentu, ketika aku baru menyadari kalau pajero merah milik Gatra menjauh dari jalan utama. Pemandangan di sepanjang jalan yang kami lewati saat ini didominasi oleh pedesaan dan persawahan. Aku menegakkan punggung dan memandang tak mengerti ke segala arah.

"Kita mau ke mana, Gatra? Bukankah kita seharusnya mencari arah ke jalan tol?"

"Aku ingin kita mampir di suatu tempat, Inggita. Kalau sudah di Yogyakarta, sayang banget kalau kita melewatkan tempat ini." Gatra mengerling ke arahku. Bibirnya menyeringai senang seolah menyimpan sesuatu yang sangat dia sukai.

"Bukankah kamu harus buru-buru sampai Jakarta?" Aku kira kami check out pukul tujuh pagi karena Gatra harus segera tiba di Jakarta.

"Memang. Tapi aku bakal menyesal kalau sampai nggak mampir ke tempat ini," kilah Gatra cepat. Menanggapi ucapan Gatra, aku hanya mengangkat bahu. Ah, sudahlah. Terserah dia saja.

Akhirnya aku menutup mulut dan kembali menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang kami lewati.

Tidak sampai dua jam perjalanan, kami sudah tiba di sebuah lokasi gardu pandang Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sesuai tulisan besar di depan tadi, nama tempat ini adalah Ketep Pass. Dan, tidak menyesal Gatra sudah membelokkan perjalanan kami untuk mampir ke tempat ini.

Satu kata, luar biasa. Mulutku speechless untuk menggambarkan keindahan panoramanya. Aku hanya berdiri terpana. Untuk pertama kali dalam umurku yang sudah 24 tahun, aku bisa menyaksikan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu berdiri berdampingan dengan begitu telanjang tak tertutup apa pun.

Pantas saja tadi Gatra memintaku harus check out pukul tujuh pagi, rupanya untuk mengejar pemandangan eksotis di sini sebelum gerombolan domba awan menyelimutinya.

"Sini. Duduk sini, Ing." Gatra menyeret pergelangan tanganku untuk duduk di sebelahnya. Sebuah kamera DSLR sudah mengalungi leher Gatra. "Melihatnya pakai ini."

"Kamu dapat dari mana?" Aku menerima sebuah teropong dari Gatra. Sembari membidik dengan kamera, aku mendengar Gatra menggumamkan kata 'nyewa'. Aku cuma manggut-manggut sebagai balasan.

[END] Mengejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang