Daniela tidak percaya kalau Bastian mengetahui keberadaannya di panti, dan bahwa Bastian juga memanggil namanya. Namun, ini adalah kesempatan baginya, dan dia tidak akan melewatkan kesempatan berbincang dengan Bastian. Dengan hati yang berdebar, Daniela melangkah dengan cepat ke arah Bastian.
Berhenti tepat di depan Bastian, Daniela tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan setiap detail wajah pria yang berdiri di depannya. Dia menyelisik satu per satu fitur wajah Bastian dengan penuh perhatian.
Matanya yang kosong namun begitu indah, bulu mata yang lentik memberikan kesan lembut pada tatapan yang sebenarnya tidak melihat apa-apa. Hidungnya yang mancung dengan tahi lalat kecil di sisi kanannya menambahkan karakter pada wajahnya. Bibirnya, tidak terlalu tebal tapi begitu seksi, seakan menyimpan banyak cerita yang belum terungkap. Rahangnya yang tajam memberikan kesan maskulin yang kuat.
Wajah itu hampir sempurna dalam pandangannya. 'Bagaimana bisa aku menyukai pria dengan tatapan kosong ini?' pikirnya dalam hati, merasakan kekaguman dan kehangatan yang aneh memenuhi dirinya. Seolah setiap detail pada wajah Bastian berbicara kepadanya, menunjukkan kekuatan dan kelembutan yang tersembunyi di balik ketidakmampuannya untuk melihat.
Dia merasakan dorongan kuat untuk merawat dan melindungi pria ini, untuk menjadi bagian dari dunianya yang gelap namun penuh harapan. Perasaan itu tumbuh semakin kuat, membuatnya yakin bahwa keputusannya untuk mendekati Bastian adalah hal yang benar.
Daniela menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Kak, Bastian," ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar.
Bastian tetap terdiam sejenak, mendengarkan suara yang telah dia kenali dari rekaman di MP3 playernya. Dia mengangguk perlahan. "Bisa kita berbicara sebentar?"
"Ah, bisa, Kak," jawab Daniela dengan cepat, senyum kecil terbentuk di wajahnya.
Bastian menginstruksikan Pak Agus untuk membawanya ke kafe terdekat. Daniela segera masuk ke mobilnya dan mengikuti mobil Bastian. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang tenang. Daniela membantu Bastian keluar dari mobil dan menuntunnya masuk ke dalam kafe, memilih meja yang agak tersembunyi di sudut.
Setelah mereka duduk, seorang pelayan datang dan mereka memesan minuman. Bastian mendengarkan dengan seksama setiap gerakan dan suara di sekitar mereka, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini.
Setelah pelayan pergi, Bastian membuka percakapan dengan suara lembut namun tegas. "Halo Daniela, salam kenal. Kamu kenal aku, kan? Tapi aku tidak bisa mengenalimu dengan cara yang sama. Aku tidak bisa melihat wajahmu, tidak tahu warna matamu, dan bahkan tidak bisa melihat pakaian apa yang sedang kamu pakai sekarang. Namun, parfummu tersimpan jelas di indra penciumanku."
Daniela tersenyum sedih mendengar kata-kata Bastian. Dia mencoba membalas, tetapi kata-katanya terjebak di tenggorokan.
Bastian melanjutkan, "Daniela, aku menghargai semua yang kamu lakukan. Bunga, makanan sehat, MP3 player, dan hadiah-hadiah yang kamu berikan. Tapi, kamu tidak perlu melakukan semua itu."
Daniela terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "Kak Bastian, aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa tentangmu, sesuatu yang membuatku ingin berada di dekatmu."
Bastian tersenyum tipis, namun ada kesedihan di matanya. "Aku menghargai niat baikmu, tapi aku tidak ingin kamu merasa terbebani atau harus melakukan hal-hal seperti ini untukku. Aku tidak ingin kamu terlalu jauh dalam hal ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eyes of the Soul
Romance"Dia buta, Daniela. Dia buta." Daniela, seorang mahasiswi yang ceria, menemukan dirinya tertarik pada Bastian, seorang pria buta yang ditemuinya di taman rumah sakit saat menjenguk temannya. Meski awalnya Bastian bersikap dingin dan acuh, mengangga...