"Appa!"
Donghae menoleh dengan senyum manis yang terpatri di wajah tampannya, dilihatnya anak lelaki yang baru bangun itu, wajahnya nampak lucu dengan rambut berantakan, kaki jenjangnya terus melangkah menghampiri meja makan, Donghae kemudian menyadari satu hal bahwa Lee Jeno sudah tumbuh besar.
"Kau sudah bangun?"
Jeno meraih salah satu kursi di sana, kemudian menuangkan air ke dalam gelas, lantas meminumnya hingga tandas.
"Aku lapar." Jeno menyipitkan matanya, pipinya tiba-tiba menggelembung. Saat ini ia terlihat seperti bayi, astaga, padahal usianya sudah menginjak enam belas tahun, tapi kenapa di mata Donghae, Jeno masih terlihat menggemaskan, seperti bayi yang baru berumur enam belas bulan.
Senyumnya berkembang menjadi tawa ringan. "Tunggu sebentar, Appa sedang memasak sarapan." Donghae berbalik menghadap ke kompor, diaduknya makanan yang masih ada di atas wajan.
"Wah, kau memang ayah terbaik di dunia." Jeno mengacungkan kedua jempolnya, sedangkan Donghae tersipu malu karena kalimat itu.
Entahlah, apakah ia pantas menerima pujian seperti itu? Ia memang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Jeno, anaknya. Tapi membesarkan seorang anak tidak semudah yang dibayangkan, apalagi Donghae harus membesarkannya seorang diri, tak ada seorang pun yang mendukungnya.
Setelah kejadian itu Donghae tak berani mengatakan kebenaran pada kedua orangtuanya yang berada di luar negeri. Tapi kebenaran tak bisa disembunyikan selamanya. Ada saatnya semua itu menguap ke permukaan, tanpa direncanakan, ibunya tiba-tiba datang mengunjungi Korea.
Waktu itu Donghae sedang tidak ada di rumah, ia pergi sebentar untuk membeli bahan makanan ke minimarket terdekat. Sedangkan Jeno yang masih berusia tujuh tahun ditinggal di apartemennya.
Tak sampai satu jam, ketika Donghae kembali, ibunya sudah berteriak marah pada Jeno.
"Yak! Donghae tidak pernah punya anak, dia masih lajang, kau jangan berani-beraninya untuk menipuku." Teriakannya terdengar sampai ke luar.
"Tidak, halmonie, Donghae Appa memang ayahku, aku tidak berbohong." Jeno menunduk dengan mata yang memerah, ia tidak pernah membayangkan akan dibentak seperti itu.
"Aku bukan nenekmu! Jangan panggil aku seperti itu."
Satu bentakan lagi, Jeno resmi menangis, anak kecil itu memang tidak mengerti apa pun, tapi hatinya bisa merasakan sakit, ia menangis tersedu-sedu.
"Eomma!" Donghae segera berlari ke arah Jeno, meski ia terkejut dengan kehadiran ibunya, tapi ia lebih khawatir pada kondisi Jeno, dipeluknya erat anak lelaki itu.
"Gwenchana, Jeno-ya, Appa ada di sini."
"Mwo? Jadi anak lelaki itu benar-benar anakmu?" Sae-Yi, ibunya Donghae masih melotot, jelas ia marah.
"Eomma, aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba datang ke sini, tapi mari kita bicara nanti, aku akan menenangkan Jeno." Donghae menggendong anaknya ke dalam kamar, meninggalkan ibunya yang masih menggerutu.
"Ah, jadi ini yang kau sembunyikan? Pantas saja kau selalu menolak saat aku menyuruhmu untuk menikah, tega sekali kau menyembunyikan ini dariku, Lee Donghae!"
Saat itu Jeno bisa ditenangkan dengan kata-kata manis, anak itu belum mengerti apa pun. Tapi hari ini dia sudah cukup dewasa untuk memahami kehadirannya yang tidak diharapkan. Dan itu yang membuat Donghae selalu merasa takut.
"Appa, aku ingin ikut klub boxing di sekolah, aku boleh mengikutinya, kan?" Suara lembut Jeno menyadarkan Donghae dari lamunannya, ia menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Terbuka Untuk Ayah
FanfictionDonghae berusaha membesarkan Jeno seorang diri, sebagai ayah tunggal seharusnya ia mengerti bahwa Jeno membutuhkan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini. Sepatutnya ia bisa bersikap dewasa, Semestinya Donghae tak membiarkan Jeno merasa bahwa...