04. Masa Lalu Itu

573 69 8
                                    

Angin berembus perlahan, sepoi-sepoi menyapa pepohonan di tepi jalan, awalnya Jeno tak begitu memperhatikan, tetapi tingkah laku sebuah keluarga di dalam mobil yang berhenti tepat di tempatnya berdiri berhasil menarik perhatiannya.

Seorang anak berusia tujuh tahun keluar dengan ibunya, ia melambai pada lelaki yang menyetir di dalam mobil, "hati-hati, Appa," katanya dengan nada bicara khas anak kecil yang menggemaskan.

"Kazza!" Si ibu langsung menggenggam lengan mungil anaknya setelah suaminya melajukan mobil. Anak lelaki itu melangkah antusias dengan senyum manisnya. Ah, mungkin itulah konsep keluarga yang selama ini diajarkan dalam mata pelajaran kewarganegaraan.

Di mana sebuah keluarga idealnya terdiri dari seorang ayah dan ibu juga anak-anaknya. Jeno sebenarnya tak terlalu menyukainya, karena konsep keluarga seperti itu tak selamanya dimiliki oleh setiap anak. Tak semua anak-anak dilahirkan dalam keluarga bahagia, beberapa yang tidak beruntung lahir tanpa orang tua.

Bukan berarti Jeno merasa tak beruntung, hanya saja terkadang ia menjadi sangat penasaran bagaimana rupa wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, ia bahkan tak sempat melihat wajahnya, selama hampir tujuh belas tahun keberadaannya di bumi, ia tak pernah merasakan belaian kasih dari seorang ibu.

Entahlah bagaimana rasanya.

Jeno tak mau membayangkannya lebih jauh lagi. Ia seret kaki jenjangnya melangkah menuju taksi di pinggir jalan. "Pak, ke Sasana Gudoek ya," perintahnya setelah masuk ke dalam mobil.

Sang pengemudi melajukan mobilnya dengan kecepatan normal, membelah jalanan kota yang masih ramai, Jeno tak mau bermalas-malasan di hari liburnya, sebenarnya bukan libur, Jeno diliburkan seorang diri karena kejadian itu, perkelahian bersama Taeyong.

Daripada merenung di rumah seorang diri, lebih baik Jeno berolahraga ke tempat latihan, berhubung ayahnya juga sedang sibuk di kantornya. Hahah, baru kali ini Jeno tak menuruti perintah ayahnya.

Dia tak tahu ada alasan tersendiri kenapa Donghae melarangnya untuk berlatih boxing. Jeno hanya ingin mencobanya, dan menurutnya tidak ada yang salah dengan itu, jadi Jeno diam-diam kabur untuk berlatih.

Beberapa menit berlalu dengan keheningan di dalam mobil, Jeno melangkahkan kakinya keluar setelah membayar ongkos sesuai argonya. "Terima kasih, pak," tuturnya sebelum berbalik meninggalkan mobil.

Sang pengemudi langsung tancap gas meninggalkan Jeno yang sudah masuk ke dalam gedung. Di dalam sana Jeno tak dapat melihat siapa pun kecuali Siwon. Dia sedang berlatih memukul-mukul samsak sendirian.

Jeno tak ingin mengusik kegiatannya jadi dia mengamati dari jauh, meski tidak terlalu jauh karena Jeno masih bisa melihat buliran keringat di tubuh kekarnya yang bertelanjang dada tanpa sehelai kain pun. Sepertinya dia memang benar-benar mantan petinju andal, lihatlah postur tubuhnya yang sempurna dan berotot.

Ia bahkan bisa merasakan aura seorang petarung dari sini. Jeno benar-benar terkesima, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa Siwon sudah menghentikan kegiatannya, ia menoleh. "Kau tak sekolah?" tanyanya sembari mendekati Jeno dengan napas yang masih memburu.

"Aku sedang dihukum, jadi tak bisa pergi ke sekolah," jawabnya jujur.

"Wow, kau anak nakal rupanya." Siwon menarik kesimpulan sembari meraih botol minum di dekat sana.

"Sebenarnya tidak seperti itu, hanya ada sedikit kesalahpahaman, aku ..."

"Kau tak usah menjelaskan, aku tak peduli bagaimana kepribadianmu di luar sana, tapi jika kau ingin menjadi muridku, maka kau harus mengikuti aturan mainnya."

Surat Terbuka Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang