17. Beban Hidup

388 42 4
                                    

Halooo!!!
Sudah satu bulan lebih aku tak kembali, adakah yang masih menunggu cerita ini?

Baiklah jika ada, maka aku akan menyampaikan kabar gembira ini ke kalian, bahwa mulai saat ini aku akan berusaha untuk update cerita ini seminggu sekali, yaitu pada hari Senin.

Jangan lupa ya, guys!! Tungguin notif dari aku setiap hari Senin 😘

****
Hampir sebulan Jeno hidup dengan beban tambahan seberat 25 kilogram. Ia membawa beban hidup yang sesungguhnya, pada hari pertama ketika Siwon memasangkannya di tubuh kekar Jeno, ia mendadak tumbang, tak bisa berdiri, pada hari kedua ia harus tertatih untuk berjalan. Ada benda hitam yang melingkar di kaki-kaki dan tangan-tangannya, masing-masing mempunyai beban lima kilogram, belum lagi satu rompi hitam yang melilit tubuhnya.

Total 25 kilogram.

Bayangkan betapa susahnya Jeno untuk melakukan aktivitas seperti biasa, bagaimana ia minum, makan, dan belajar. Siwon bahkan meminta Jeno untuk tetap memakainya saat di sekolah, ketika memperhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran, bukankah ini namanya penyiksaan?

Tidak.

Memang begitulah pelatihan intensif dalam mempersiapkan fisik untuk bertanding. Pemberat itu tidak seberapa, Jeno harus memakainya ketika berlatih, melakukan gerakan lari, push-up, sit-up, bahkan saat berduel sekalipun.

Kini ia sudah terbiasa. Jeno tak pernah terdengar mengeluh atau mengaduh, ia memakan sarapannya dengan lahap.

"Appa! Kau akan datang dan melihat pertandinganku, kan?" tanyanya setelah menelan suapan terakhir makanan yang tersaji di hadapannya.

"Aku tidak berjanji, tapi aku akan berusaha untuk datang." Suasana hati Donghae sedang baik, meski ia tak pernah benar-benar bisa melupakan apa yang telah dibacanya di buku biru itu.

"Aku sangat berharap kau bisa datang, Appa, ini pertandingan pertamaku." Jeno sedikit merayu, rupanya ia benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya di depan sang ayah.

"Kapan kau akan bertanding?"

Jeno menghela napas berat mendengar perkataan ayahnya, pasalnya ia sudah memberitahu Donghae beberapa hari yang lalu ketika lelaki itu bergulat dengan laptop di ruang kerjanya, apa waktu itu Donghae tak mendengarkan? Sedang melamun? Aneh sekali, akhir-akhir ini ayahnya sering melupakan hal-hal penting, seperti pikirannya selalu tertinggal di alam lain.

"Esok lusa, Appa," ucapnya seraya memaksakan senyum.

Donghae mengangguk pelan, sebenarnya tulat ia tak ada jadwal yang mendesak selain meneruskan naskah yang belum jadi, tapi jujur ia malas melihat orang berkelahi, hal itu tentu akan membawanya untuk mengingat masa lalu.

"Baiklah, Appa, akan mengosongkan jadwal untukmu." Demi Jeno, Donghae bisa melakukannya.

"Terima kasih, Appa!!" Refleks Jeno merengkuh tubuh Donghae yang berada di sampingnya, ia senang sekali. Donghae sebenarnya tak keberatan dipeluk oleh anaknya, tetapi saat ini tubuh Jeno dipenuhi dengan aksesoris pemberat, benda-benda itu terasa mengganjal saat bersentuhan dengan tubuhnya, Donghae merasa tidak nyaman.

"Ekhem, Jeno-ya, apa kau ingin melukaiku?" Donghae menepuk-nepuk punggung Jeno pelan, sebagai isyarat supaya Jeno segera melepaskan pelukannya.

"Oh, maafkan aku, Appa, aku sangat bersemangat." Ia terkekeh kemudian mengusap tubuh ayahnya, "kau tak apa, kan?" tanyanya setengah khawatir.

"Oho, kau barusan menghina tubuh seorang mantan atlet baku hantam, tentu aku baik-baik saja." Celotehannya tiba-tiba terdengar kembali, akhirnya Donghae menampakkan gigi-gigi putihnya.

Surat Terbuka Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang