15. The Diary

347 42 13
                                    

Baca sampai akhir ya!!

***

20 April 2004

Dia lolos. Tak ada yang percaya padaku, Hwang Dooshik terlalu kuat untuk dilawan seorang diri, aku lelah meyakinkan semua orang. Aku ingin menyerah.

Apa yang harus dilakukan olehnya saat ini? Donghae tidak tahu, sedari tadi ia hanya membaca diary milik Seyoon. Ia tak percaya gadis yang paling dicintainya pernah mengalami hal paling mengerikan di dunia ini. Sebagai seorang lelaki yang seharusnya bisa menjaga perempuannya dengan baik, Donghae merasa gagal. Bagaimana mungkin selama ini ia tak tahu apa yang sedang di hadapi oleh Seyoon?

Dia berusaha melawan iblis seorang diri. Dalam diary-nya sangat jelas disebutkan bahwa Seyoon sangat mengenal Hwang Dooshik, lelaki brengsek itu adalah salah seorang guru di panti asuhan yang sering dikunjungi oleh Seyoon. Suatu hari ia tak sengaja melihat dooshik melakukan tindak asusila pada anak perempuan.

Seyoon berusaha mengungkapkan kejadian itu pada publik, tapi tak ada yang mempercayainya. Topeng yang dipakai dooshik terlalu tebal, hingga orang-orang luput mengenali siapa sosok yang bersembunyi di balik topeng itu. Bahkan si korban bungkam, polisi tak bisa berbuat banyak karena kurangnya bukti, bayangkan betapa frustasinya Seyoon kala itu, lalu bagaimana dia bisa menanggung hal ini seorang diri?

Tanpa terasa Donghae terisak, ia lemah, sungguh hatinya hancur bagai dicabik, apalagi ketika ia sampai pada halaman paling usang di dalam buku. Sebelum membaca kalimat-kalimat yang tertulis di sana, Donghae bisa merasakan emosi sang pemilik diary hanya dengan melihat kondisi kertasnya saja. Seyoon mungkin meremat kertas itu hingga lecek luar biasa, hingga robek ujung-ujungnya, dan kemudian ia menuliskan kata per kata sembari menahan tangis.

Jejak air matanya masih terlihat meski samar.

26 Juli 2004

Aku benar-benar menyerah. Orang-orang ternyata lebih kejam dari yang aku kira. Mereka tetap tak percaya padaku bahkan ketika aku mengalaminya sendiri. Si brengsek itu memaksaku, dia menikmati tubuhku dengan kasar, sakitnya masih membekas hingga detik ini. Suara tawanya selalu terngiang di otakku, dia berhasil menghancurkan hidupku.

Bangsat! Tak ada umpatan yang bisa menggambarkan kebejatan iblis itu, jika Dooshik ada di hadapan Donghae saat ini maka ia pasti akan membunuhnya detik ini juga. Ia membenci iblis itu, tapi ia lebih membenci dirinya sendiri karena tak pernah peka pada perubahan sikap Seyoon.

Donghae baru ingat, Seyoon memang sempat menjadi pendiam selama beberapa hari, puncaknya ketika bulan agustus, tepat di hari ulang tahunnya, dia buru-buru meninggalkan pesta yang khusus dirancang untuk dirinya.

17 Agustus 2004

Aku ingin mati.
Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada Donghae Oppa? Kenapa aku bisa sampai muntah di hari ulang tahunku? Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku muntah karena janin yang tengah tumbuh di rahimku, aku hamil. Siapa yang melakukannya denganku? Donghae Oppa bahkan tak pernah menyentuhku. Dia selalu menghormatiku sebagai seorang perempuan ...

"Appa!" Donghae cepat-cepat memalingkan wajah sembari menutup buku diary-nya, dihapusnya air yang masih bertengger di kedua matanya. Lantas menoleh seraya memasang senyum palsu pada Jeno yang menyembul di balik pintu.

"Apa kau menangis?" Jeno melangkah mendekati ayahnya.

"I-iya, kadang aku menangis ketika menulis adegan sedih."

"Benarkah? Kau menulisnya di sana? Apa aku boleh membacanya?" Kedua tangan Jeno tergerak untuk merebut diary Seyoon, tapi Donghae cepat-cepat menjauhkannya.

"Tidak, kau tak boleh membacanya."

"Kenapa?"

"Karena Appa belum selesai menuliskan adegannya, nanti kalau sudah beres kau boleh membacanya."

Baiklah, alasan yang bagus Lee Donghae, kau memang seorang penulis yang hebat.

"Hmm ... Ternyata kau cengeng juga, Appa." Si polos Jeno tentu percaya, dengan cepat ia melupakan topik pembicaraan dan berusaha menggoda ayahnya. Tapi agaknya ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda, hati Donghae terlalu hancur untuk dipaksa tertawa.

"Kenapa kau tiba-tiba ke kamarku?" Sempurna, langkah terakhir dari pengalihan topik, yaitu lemparkan topik baru maka Jeno pasti akan benar-benar lupa pada diary itu.

"Kau belum makan malam, aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja."

Tidak, memang Donghae tak baik-baik saja. Tapi Donghae tak mungkin mengatakannya, ia harus kembali mencari alasan. "Astaga, aku selalu lupa makan kalau sudah fokus menulis." Aktingnya sangat meyakinkan, hei, ia bahkan menggenggam pulpen lantas pura-pura meletakkannya di atas kasur.

"Sudah kuduga kau pasti asik dengan duniamu, ayo ikut aku, kau harus makan dulu, Appa." Dengan sentuhan lembut Jeno menggenggam tangan ayahnya, ia berusaha membuat Donghae berdiri, tapi si pemilik tubuh enggan melakukannya, ia malah menarik lengan Jeno, hingga lelaki itu kembali duduk di sampingnya.

"Kenapa lagi, Appa?" tanyanya heran.

"Bolehkah aku memelukmu, Jeno-ya?"

Jeno tersenyum manis, "untuk apa bertanya? Kau bisa memelukku kapan saja, seperti ini." Lelaki itu lansung merengkuh tubuh kekar ayahnya, memberikan sebuah pelukan hangat yang sangat dibutuhkan oleh Donghae.

Namun, entah kenapa hatinya malah terasa semakin sakit saat pikirannya mengingat bahwa Jeno bukanlah anak kandungnya, tetapi keturunan si bajingan itu. Tidak, Jeno tak pantas menjadi anak Hwang Dooshik, anak ini terlalu baik untuk bajingan seperti dirinya.

Donghae membalas pelukan Jeno, lantas berbisik di telinganya, "gumawo, Jeno-ya."

"Untuk apa kau berterima kasih? Apa yang kau syukuri?"

"Terima kasih karena telah menjadi anakku." Sebutir cairan bening lolos tanpa permisi, sesak di hatinya terlalu kuat untuk ditahan, Donghae tak bisa menyembunyikan perasaannya, kalau boleh jujur saat ini ia hanya ingin menumpahkan segala kegelisahannya dalam Isak tangis di pelukan Jeno, semakin ia menahannya, semakin sesak hatinya, pun semakin banyak pemikiran negatif di otaknya.

***

Sudah? Iya ... Ini chapter paling singkat yang pernah aku tulis. Au ah, aku baper gara-gara nulis chapter ini. Semoga feel-nya juga nyampe ke kalian ya ...

VOTE dan komen yang banyak biar aku cepet update, kalian penasaran, kan gimana nasib hubungan ayah dan anak ini? Juga dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab? Kalau iya Komen yang banyak, Wkwk.

See you, guys!!!

Salam hangat,
Author amatiran yang sedang menikmati weekend

Nai

Surat Terbuka Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang