Bab 10

191 41 12
                                    

~MILLY~

Aku setengah berlari saat keluar dari kamar Chase. Dan begitu sampai di kamarku, aku langsung menutup pintu lalu bersandar. Seketika, tubuhku merosot hingga aku terduduk di lantai. Air mata yang sejak tadi kutahan, kini juga menyeruak keluar.

Ucapan Chase tentang betapa dirinya yang sangat jijik padaku hingga kini masih terngiang-ngiang dengan jelas di kepala dan telingaku.

Apakah aku memang serendah dan semenjijikkan itu di matanya?

Padahal, aku sama sekali tidak menggodanya. Aku sudah berusaha menolak dan melawannya semalam. Tapi, sepertinya Chase tidak ingat tentang bagaimana perbuatannya yang semalam memaksaku. Dia tetap saja menganggapku sebagai pihak yang bersalah. Dan dia selalu saja menilaiku sebagai wanita jalang.

Padahal, gaunku yang kini dalam keadaan terkoyak adalah bukti yang jelas-jelas menunjukkan bahwa dia yang memaksakan dirinya padaku. Bukan aku yang menggodanya. Tapi, Chase mengabaikan hal itu.

Aku merasa sangat sedih dan terhina dengan segala ucapan kasar yang dilontarkan oleh Chase padaku tadi. Aku sangat ingin membela diri. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Karena sekeras apapun aku membela diri, dia tidak akan pernah percaya. Di matanya, aku tetaplah pihak yang bersalah.

Ya. Memang sebesar itu kebencian Chase terhadap diriku.

Aku terus menangis saat memikirkan betapa buruk perlakuan Chase padaku. Tapi, aku juga tidak bisa melakukan apapun untuk melawan atau membela diri.

Setelah terduduk di balik pintu selama beberapa saat, kini tangisku mulai mereda. Kemudian, aku berdiri lalu berjalan ke arah kamar mandi. Aku ingin membersihkan diri karena saat ini tubuhku terasa lengket. Dan salah satu yang menyebabkan tubuhku terasa lengket adalah perbuatan Chase semalam yang mengeluarkan dirinya di luar hingga mengenai bagian perut hingga dadaku, serta beberapa bagian tubuhku yang lain.

Aku kembali merasa sedih saat mengingat hal itu. Chase bersungguh-sungguh atas ucapannya padaku malam itu. Dia benar-benar membuktikan padaku bahwa dia hanya menganggapku sebagai objek pelepasan. Tidak lebih.

Akan sampai kapan Chase memperlakukanku dengan buruk seperti ini?

***

Aku tengah menyapu lantai tengah ketika mendengar suara deru mobil masuk ke halaman rumah. Dalam hati, aku bertanya-tanya tentang siapa yang datang. Karena biasanya, Chase akan pulang malam. Dan sekarang masih siang.

Karena penasaran, aku memutuskan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. Tepat ketika aku memasuki ruang tamu, pintu depan rumah terbuka lalu terlihat Chase berjalan masuk dengan langkah kakinya yang lebar dan tampak tergesa-gesa.

"Cepat pindahkan barang-barangmu ke kamarku!", ucap Chase tiba-tiba.

"Maaf?", tanyaku tidak mengerti.

"Orang tuaku akan datang ke sini. Kemungkinan, mereka juga akan menginap. Dan sekarang, mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Jadi, sekarang cepat kau pindahkan barang-barangmu dan jangan banyak bertanya."

Begitu paham dengan maksud ucapan Chase, kini aku jadi ikut panik.

"Apa? Ayah dan ibu mertua akan datang ke sini?", balasku terkejut. "Baiklah. Aku akan memindahkan barang-barangku ke kamarmu sekarang juga.", imbuhku dengan cepat.

Kemudian, aku berlari ke arah kamarku untuk mengemas barang-barangku yang sekiranya kuperlukan untuk tidur di kamar Chase selama orang tuanya menginap di rumah ini.

Dalam waktu lima belas menit kemudian, aku sudah selesai berkemas. Dan tepat setelah aku selesai memindahkan barang-barangku tersebut ke dalam kamar Chase, orang tuanya datang.

"Bersikaplah seolah-olah kita adalah pasangan suami istri yang bahagia. Jangan sampai orang tuaku tahu atau curiga tentang keadaan rumah tangga kita yang sebenarnya. Apalagi, sampai kau mengadu pada orang tuaku mengenai sikapku padamu selama ini. Jika kau sampai berani melakukannya, aku tidak akan segan-segan memperlakukanmu lebih buruk lagi dari apa yang sudah pernah kulakukan padamu selama ini. Apa kau mengerti?", Chase berucap pelan saat kami sedang berjalan menuju ke pintu depan.

Seketika, aku mendongak dan menatapnya. Chase terlihat bersungguh-sungguh akan ucapannya. Ekspresinya saat mengancam juga sangat menakutkan.

Aku menelan ludah hingga tidak mampu berkata-kata karena begitu takut dan terintimidasi oleh tatapannya. Jadi, aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya.

Tepat sebelum Chase membuka pintu, kami sama-sama menormalkan ekspresi kami. Seperti yang dikatakan oleh Chase tadi, kami harus tampak seperti pasangan yang bahagia di depan orang tuanya.

Begitu pintu terbuka, terlihat kedua orang tua Chase baru saja keluar dari mobil. Mereka tersenyum ke arah kami.

"Mommy, Daddy...", Chase menyapa kedua orang tuanya.

Sedangkan, aku juga tersenyum menyambut mereka.

Aku dan Chase berjalan ke depan lalu memeluk mereka secara bergantian satu per satu.

"Chase, Milly... bagaimana kabar kalian?", tanya ayah mertuaku.

"Kami baik, Mom, Dad. Bagaimana kabar Mommy dan Daddy?", balasku dan balik bertanya.

"Kami juga baik.", balas ibu mertuaku seraya tersenyum. Kemudian, ibu mertuaku membelai sisi wajahku. "Astaga! Kau cantik sekali, Sayang. Berulang kali Mommy melihatmu, berulang kali juga Mommy mengagumi kecantikanmu.", imbuh ibu mertua seraya tersenyum hangat padaku.

Aku tersenyum malu mendengar pujian yang diberikan oleh ibu mertuaku. Dalam hati, aku merasa bersyukur karena mendapatkan mertua yang sangat baik seperti kedua orang tua Chase ini. Walaupun Chase sangat membenciku serta sering memperlakukanku dengan buruk, tapi kedua orang tuanya sangat baik dan menyayangiku.

"Terimakasih, Mom.", balasku malu-malu seraya menyelipkan rambutku ke belakang daun telinga kananku.

Ayah dan ibu mertuaku terkekeh melihat tingkahku yang malu-malu.

"Oh ya, Mom, Dad, ayo kita masuk. Kita bisa mengobrol dengan lebih nyaman di dalam.", Chase berkata pada kami.

Kedua orang tua Chase mengangguk setuju.

Lalu, kami semua berjalan masuk ke dalam rumah menuju ke ruang tamu.

***

FragileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang