Melukis Senja

229 62 9
                                    

Kedekatan Zweitson serta Misellia semakin erat. Di mana ada Zweitson di sana pasti ada Misellia dan sebaliknya.

Seperti saat ini, keduanya tengah berada di pinggir danau. Menikmati langit senja yang akan menghilang.

"Son, kamu kok tahu tempat ini. Sumpah ini indah banget," ucap Misellia terpukau akan ciptaan Tuhan di depan mata.

Zweitson tengah sibuk melukis pemandangan senja. Dia pun tersenyum sendu menatap muka Misellia.

"Aku tahu saat diri ini sedang dalam keadaan tidak baik. Dan ini menjadi tempat favorit aku." kata Zweitson bernada sendu.

Misellia memberikan sebuah sapu tangan. Dia tersenyum tipis.

"Kalau mau nangis, keluarin saja sepuasnya. Aku akan selalu ada di sisimu."

Ucapan Zweitson membuat nya tak tahan lagi. Bendungan air mata yang ia tahan selama ini akhirnya pecah.

Kedua bahu Zweitson naik turun. Air mata kesedihan menjadi saksi bahwa hidupnya tidak baik-baik saja.

Tiba-tiba wajah Fenly muncul. Dia tak kuasa menahan sedih melihat Abang nya harus terluka karena sifatnya selama ini.

Misellia merapatkan diri. Dia merangkul tubuh Zweitson memberikan ketenangan.

"Hiks... aku sudah nggak kuat. Karena sifatku ini membuat seseorang terluka." Zweitson mencurahkan isi hati.

Misellia tidak terlalu mengerti akan masalah yang dihadapi pemuda berkacamata bulat itu. Dia hanya bisa memberikan dukungan dan perhatian lebih. Suatu saat pasti Zweitson akan bercerita kepadanya perlahan.

_#_#_

Selama satu jam lamanya, Zweitson sudah mulai tenang. Kepala dia sandarkan di bahu Misellia.

"Thanks ya, Sel," ucap Zweitson.

"No problem. Setiap ada masalah sebaiknya kita keluarkan, jangan dipendam sendirian. Rasanya tuh nggak enak banget," balas Misellia memandangi langit senja yang telah berganti malam.

Zweitson merasa tertampar atas ucapan gadis itu. Ingin rasanya dia berkeluh kesah padanya, namun hati ini masih belum siap.

"Yuk, kita pulang," ajak Misellia.

Zweitson menghapus jejak air mata menggunakan sapu tangan pemberian Misellia. Dia menatap benda itu penuh ketenangan.

"Nanti sapu tangan ya aku cuci dulu ya."

"Nggak usah, Son. Itu aku kasih untuk kamu." Misellia tersenyum tipis.

Lelaki berkacama bulat berjanji akan menyimpan sapu tangan dari Misellia sebaik mungkin. Zweitson membantu Misellia berdiri.

"Itu sapu tangan nya, aku yang buat sendiri loh." Misellia tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih.

"Wah, kamu hebat banget sih," puji Zweitson mencubit kedua pipi Misellia gemas.

"Hahaha...," tawa kebahagiaan.

Misellia membersihkan daun dan debu yang menempel di rok seragam. "Lain kali ajak aku ke tempat ini lagi ya," ucapnya memohon.

"Oke. Ini sekarang jadi tempat rahasia kita berdua." Zweitson membalas.

"Janji?" Misellia mengerahkan jari kelingking tangan kanan.

"Janji!" seru Zweitson mengaitkan jari kelingkingnya.

Langit senja dan danau, kini menjadi saksi hubungan sebatas teman. Walau belum ada kepastian jelas dari kedua belah pihak. Biarkan ini berjalan secara perlahan.

_#_#_

Fenly duduk di ruang tamu. Sudah dua jam lamanya dia di sana.

"Soni, kamu kemana sih? Kok belum pulang juga," ucap Fenly khawatir.

Fenly sudah mencoba menghubungi Zweitson, tetapi nomor ya tak aktif. Ingin bertanya kepada teman sekelas adiknya, namun tak memiliki satupun nomor ya.

"Soni... Kakak khawatir sama kamu. Kenapa kamu jadi berubah seperti ini sih?" Fenly mengusap muka kasar.

Setetes air mata jatuh dari kelopak mata indah Fenly. Sudah setahun hubungan Adik Kakak ini menjadi renggang.

Fenly teringat akan kejadian setahun lalu. Ketika mereka pergi bertamasya di daerah puncak Bogor bersama keluarga besar.

Saat itu, Fenly dan Zweitson tidak pernah terlepas. Zweitson selalu menempeli Fenly kemana pun berada seperti permen karet.

Fenly tentu saja menyukai hal itu. Zweitson menirukan apa yang dilakukan atau dikerjakan Fenly.  Kebersamaan sebagai saudara kandung membuat mereka bahagia.

Namun, tidak bagi kedua orang tua mereka. Mama Ani dan Papa Adi menyembunyikan satu rahasia besar.

Rahasia yang jika diungkapkan kebenarannya membuat kebahagiaan antara Adik Kakak itu terpisah. Orang tua mereka menyembunyikan rapat-rapat.

Hingga...

Lamuan Fenly buyar. Pintu ruang utama terbuka. Fenly langsung berlari menghampiri seseorang yang membuat dirinya resah tak karuan.

Hug!

Tanpa aba-aba Fenly mendekat tubuh Zweitson erat. Air mata kembali mengalir perlahan.

Zweitson terdiam kaku. Dia tak membalas atau berucap satu katapun. Sesungguhnya dalam hati dia merindukan pelukan hangat dari sang Kakak.

"Son, kamu kemana saja? Kakak khawatir banget kamu terjadi apa-apa di luar sana." Fenly mencurahkan isi hatinya.

Dan Zweitson hanya diam. Dia pun membiarkan Fenly mendekat erat tubuhnya. Air mata Zweitson juga terjatuh tanpa dia minta.

"Maafin gue... Bang." batin Zweitson lirih.
.
.
.
.
.

____BERSAMBUNG____

Cerita 3 CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang