Bab 8

1.3K 174 11
                                    

"Akhirnya ketemu juga wajah lain," gumam Lavina ketika bertemu head bar.

Pimpinannya sekaligus atasan Gyan adalah seorang perempuan berpotongan sebahu dengan tindik hidung.  Matanya yang besar karena efek softlens hitam, membuat wajah bulat itu mirip kucing minta kawin. Belum lagi bibirnya yang sensual dipulas lip cream merah menyala persis lampu lalu lintas, serta kemeja putih yang begitu ketat membekap tubuh sintalnya. 

Seketika Lavina membandingkan dadanya dengan dada sang head bar, kala mereka duduk berhadapan di ruang yang jadi satu dengan meja kerja Gyan di sisi kiri. Sebuah perbedaan besar tampak mencolok,  bahkan Lavina ragu apakah dalam tubuhnya masih tersimpan hormon estrogen seperti yang dipelajari saat bangku sekolah.

Namun, hal lain yang membuat gadis berkulit putih itu sedikit lega adalah dia tak melihat batang hidung Angry bird. Setidaknya telinga dengan anting-anting gaya klasik yang menggantung manis itu tidak perlu menampung semua omelan Gyan.  

"Bu eh Mbak eh... " Lavina menggaruk rambutnya bingung harus memanggil sebutan apa kepada si pemilik name tag Felicia itu. Karena dia tahu hampir semua perempuan di dunia sedikit sensitif dengan panggilan yang kadang membuat mereka terlihat tua. 

"Panggil Mbak Feli aja enggak apa-apa, Lavina," kata Felicia. "Saya enggak seseram Gyan."

Refleks sang lawan bicara menjentikkan jemari kanan. Membenarkan penuturan dan detik berikutnya Lavina merutuki ketidaksopanan di hadapan pimpinan bar. 

"Maaf,  saya sering keceplosan, ceroboh, dan bar-bar, Mbak Feli," jujur Lavina meremas kedua lutut yang dibalut dengan celana hitam.  "Saya pasrah dengan keputusan Pak Satria nanti. Hanya saja ... sebagai sesama perempuan, tentunya Mbak Feli tahu perasaan saya ketika ada lelaki asing memegang pantat. Dan saya refleks begitu saja,  Mbak. Maaf."

"Dan masalah lain? Selama saya pelatihan di Bali,  Gyan sering mengeluh kepada Mbak, kalau kamu sudah berbuat masalah di hari pertama kerja. Sebenarnya, kamu tuh pengennya yang kayak gimana Lavina? Kerja di sini tuh enak,  cuma masalahnya di sini... " Felicia menunjuk pelipis kemudian dada kiri. "Kamu harus kuat mental, harus melayani sepenuh hati,  dan harus berpikiran bahwa bar ini milikmu. Jika kamu tidak merasa nyaman dengan semua peralatan di sini,  bagaimana kamu bisa menyuguhkan kepuasan tamu?"

"Saya paham, Mbak. Jadi,  saya dipecat? Atau dijadikan... "

"Gyan meminta saya untuk menggeser posisi kamu. Sementara, kamu bantu waitress atau anak-anak barboy ya. Nanti kita evaluasi lagi selama sebulan."

"Se-sebulan? Nanti kalau saya lupa cara shaking gimana, Mbak?"

Felicia tertawa menampilkan deret gigi dengan behel kawat itu.  "Enggak ada manusia yang mudah lupa,  yang ada mereka yang pemalas membiarkan ingatan mereka terendap sama hal-hal yang enggak penting. Pokoknya ikuti aturan saya.  Masih mending kamu hanya berhadapan dengan saya, Lavina, belum berhadapan dengan staf lain yang lebih kejam dari Gyan."

"Ba-baik."

Lavina menghela napas panjang, dia masih enggan jika harus terpisah dengan alat-alat bartending.  Baginya, ketika berhadapan dengan tamu serta menyajikan minuman, Lavina serasa memiliki panggung dan menjadi dirinya sendiri. Waktu satu bulan adalah waktu yang lama, dia tak akan sanggup jika harus berdiam diri dan menatap bartender lain meracik cocktail sementara dia bermain di belakang sebagai pelayan atau tukang cuci gelas. 

Sialan!

###

Netra cokelat sipit itu membeliak mendapat sebuah banner memanjang di depan pintu masuk bar, bertuliskan 'Kontes Bartender Nasional 2021'. Lavina yang baru selesai mengantarkan pesanan di lantai lima seketika terkesima. Sudah lama dia menantikan ajang tahunan yang selalu diadakan di beberapa kota besar itu. Jika biasanya diadakan di Pulau Dewata dengan mendatangkan bartender kelas nasional bahkan internasional, maka lomba kali ini diadakan di D'amore Hotel yang berpeluang besar untuk bertemu dengan para bartender terkenal. 

Seraya mendorong troli untuk mencuci gelas,  Lavina ingin menghampiri Reiki untuk mengajaknya ikut kompetisi. Dia sudah bertekad untuk membalas semua ocehan Gyan tentang dirinya yang tidak becus dalam bekerja. Benak kecil Lavina tertawa puas membayangkan Gyan bertekuk lutut seraya memohon maaf atas sindiran yang ditujukan gadis berambut hitam itu. 

Mengedarkan pandangan,  sosok Reiki yang biasanya berdiri di counter bar tidak muncul, berganti dengan sosok menyebalkan yang kini melayani salah satu tamu dengan senyum manis, mengocok minuman dalam shakerTatapan tajam lelaki itu beralih ke arah Lavina yang justru terdiam mematung seperti arca. 

"Lavina," panggil Gyan.

Tidak ada jawaban,  pandangan Lavina tertuju pada sosok perempuan berambut seperti kartun Dora tengah berdiri di sisi kiri Gyan.  Tanpa sadar, sebuah lemparan gelas one shoot melayang ke arah Gyan berbarengan dengan senyum mengejek dari sosok itu. 

Pyar!

Baca versi lengkap sampai extra part di Karyakarsa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baca versi lengkap sampai extra part di Karyakarsa

My Hottest Bartender (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang