Bab 16

889 139 8
                                    

Dua insan yang masih bergelut dengan alat-alat bartending di ruang karyawan seperti terlena hingga lupa waktu bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.  Dibandingkan dengan si Angry bird,  Reiki jauh lebih sabar dalam mengajari Lavina tanpa memberikan komentar menusuk hati. Tak segan pula, lelaki manis itu memberitahu cara juggling yang baru dipelajari melalui kanal Youtube. Mereka juga berdiskusi beberapa resep koktail, mengomentari beberapa merek minuman baru yang patut dicoba sampai deretan impian untuk menjadi seorang mixologyst atau membuka sebuah bar sendiri. 

Hati yang lama berdebu dan tidak pernah berdebar-debar itu kini mengamati garis wajah Reiki yang sedang menunjukkan sebuah buku bartending berjudul The art of mixology. Sesekali bibir yang kemerahan nan tipis milik Reiki menyunggingkan seulas senyum tipis membuat Lavina ingin sekali meraba dengan jemari lentiknya. 

Merasa diperhatikan, Reiki menoleh kemudian menjentikkan jemarinya tepat di depan wajah Lavina. Seketika gadis itu terperanjat kaget seraya berkata,  "Hah! A-apa? Ada apa?"

"Kamu capek?"

Lavina menggeleng keras. "Maklum jiwa kesepianku meronta kalau lihat orang ganteng," tuturnya. "Kita lanjut besok yuk, Rei,  enggak kerasa udah jadi beban D'amore sejak tadi sore."

Reiki melihat jam di dinding sisi kiri. "Ah,  iya.  Rumah kamu di mana? Jauh enggak dari sini?"

"Deket,  daerah pasar Giwangan."

Reiki menganggukkan kepala seraya membawa buku untuk dikembalikan ke ruang head bar.  Melihat lelaki bak malaikat itu kesulitan, Lavina beranjak dan membereskan alat bartending sekdar membantu. Dia tersenyum lebar dengan melempar kerlingan mata ke arah Reiki membuat lelaki itu tertegun seketika. Kalau di depan Reiki, rasanya Lavina ingin menjadi seekor kucing agresif yang menggoda lawan jenis.

Dibuka pintu ruang karyawan,  bar masih saja ramai walau sekarang bukan hari weekend. Netra cokelat dengan bulu mata lentik itu mengedarkan pandangan lalu berhenti ke arah bartender yang sibuk meracik minuman sesekali bercengkerama dengan tamu.  Ada rasa iri dalam hati Lavina melihat ekspresi para tamu yang begitu puas saat menyesap koktail buatan mereka.

Sedangkan dirinya, baru satu kali mendapat pujian selebihnya deretan omelan yang menerpa baik dari tamu maupun dari atasan.  Hatinya mencelos jika mengingat kesialan yang menimpa tiada henti. Orang mana yang tidak haus akan pujian seperti itu, bukan? Lavina menggeleng berusaha menguatkan diri bahwa dia bisa melewati fase masa percobaan seperti yang dikatakan Felicia.  Jikalau dia harus dikeluarkan oleh pihak manajer hotel,  dia tidak boleh resign dengan kepala tertunduk akibat menanggung malu. 

Lavina segera menuju dapur dan mencuci alat bartending sebelum mendapat cecaran. Mendadak langkahnya terhenti melihat sosok Gyan sibuk mencuci gelas.

"Kenapa dia sering lembur sih?" gumam Lavina terlalu malas jika harus bertemu dengan sosok menyebalkan itu.

"Saya lembur karena tahu diri bahwa bar ini sedang ramai, bukannya berdiam diri di ruang karyawan dengan motif belajar bartending," cemooh Gyan tanpa menoleh.

Lavina menyeret paksa kaki yang terbungkus sepatu Vans hitam. Bibirnya masih menggerutu pelan menuduh kalau Gyan terang-terangan menyindirnya. Dia berpikir manusia mana yang tidak memiliki kesalahan di mata si Angry bird itu. Dia menaruh alat-alat bartending di atas wastafel seraya mencibir,  "Saya kerja salah,  saya latihan salah. Ya udah saya pulang aja deh daripada bikin Pak Gyan darah tinggi."

Sebelum Lavina pergi, Gyan menarik lengan kiri gadis ceriwis itu hingga tak sengaja membawanya ke dalam dekapan.  Untuk beberapa saat,  mereka saling mengunci pandangan mata berbarengan dengan irama yang bertalu-talu menggema di ruang pembersihan gelas.  Otak Lavina yang biasanya suka memaki atasannya dalam hati, kini terhipnotis sampai-sampai tidak ada rangkaian kata yang pas untuk menjelaskan keadaan canggung itu. 

Sosok si Angry bird begitu menjulang tinggi seperti tiang listrik,  Lavina hanya sebatas pundaknya saja. Dari dekat,  dada bidang Gyan begitu luas  dan nyaman seolah tempat itu cocok menjadi sandaran dan berkeluh kesah.  Belum lagi aroma tubuh woody bercampur citrus tercium di hidung lancipnya. Ah, apakah ada perempuan yang pernah singgah di dada bidang ini? batin Lavina.

"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Gyan membuyarkan fantasi si gadis bar-bar.

Baca sampai tamat di Karyakarsa ya.  Ada paket bartender yg lebih murah daripada satuan. 

My Hottest Bartender (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang