Bab 27

834 142 12
                                    

Lavina segera menghampiri sang captain bar yang sepertinya sudah kembali ke sifat semula.  Mata sipit nan tajam itu memandang lurus wajah Lavina seraya melipat kedua tangan.

"Saya salah apa ya,  Pak?" tanya Lavina to the point . Dia merasa kali ini tidak ada komplain yang datang maupun masalah yang dibuat.  Semuanya sempurna bagi Lavina.  Tapi,  dia tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Gyan sampai-sampai memanggilnya dengan nada ketus.

Gyan berdeham pelan,  mengusap raut wajahnya lalu tengkuk leher seraya berkata, "Kerja Bagus."

Seketika bibir yang dipulas lipstik pink itu menganga lebar. Degup jantung yang tadinya berdetak cepat kini meluap berganti tangan Lavina yang gatal ingin mencubit lengan kekar Gyan. 

"Ya udah, sana kerja!" Gyan mengibaskan tangan kanan seperti mengusir seekor kucing kecil.  Lavina mendengus kesal,  kenapa Tuhan menciptakan lelaki yang tak bisa dia tebak seperti Gyan.

Lavina berbalik untuk melayani tamu lain. Gyan menarik lengan kirinya dan berkata,  "Saya sudah diskusi sama Felicia."

Kerutan di kening Lavina timbul. Seketika itu pula berbagai macam spekulasi bermunculan dalam otak kecilnya. Lavina sudah berusaha sebisa mungkin untuk bersikap baik,  tapi di sudut pandang atasannya yang baik belum tentu benar. 

"Kamu kembali ke counter."

Detik itu juga,  Lavina memeluk tubuh tinggi Gyan dengan begitu bahagia akhirnya bisa kembali ke takhtanya sebagai bartender.  Yang dipeluk terkejut bukan main,  kedua matanya membeliak lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling bahwa mereka menjadi pusat perhatian.  Sikap Lavina yang tidak tahu kondisi itu menimbulkan jutaan pertanyaan di antara bartender termasuk tamu yang dilayani Lavina tadi.

Gyan melepas paksa pelukan Lavina yang begitu erat seperti ingin meremasnya perlahan-lahan.  Detik berikutnya,  seolah tersadar Lavina membungkam mulutnya sendiri. 

"Maaf,  Pak! Refleks!" seru gadis itu.  "Ma-makasih,  Pak."

Suara Lavina yang terbata-bata seperti cicitan seekor tikus yang terkena jebakan.  Dia berbalik  seraya memukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangan.  Dalam hati,  Lavina tidak ingin menjadi pihak ketiga jika mengingat seorang gadis cantik di layar ponsel lelaki itu. 

Inget dia udah punya cewek!

###

Biasanya jika ada Reiki,  Lavina akan menghabiskan waktu berdua di restoran lantai sembilan. Walau waktu istirahat yang diberikan satu jam,  tak membuat mereka menyia-nyiakan kesempatan. Tapi sekarang,  dia dan Reiki harus berbeda shift. Bahkan untuk bertemu pun susah,  seolah jadwal yang dibuat Gyan adalah jadwal untuk memisahkan mereka. 

Akhirnya, Lavina menguyah sekotak nasi dengan ayam bakar yang dipadu dengan sambal tomat, tempe bacem,  serta lalapan daun selada dan ketimun di ruang karyawan.  Selagi makan siang,  tak afdol jika tidak menonton salah satu channel youtube bartender luar negeri yang dikaguminya. 

Kompetisi bartender tinggal bulan depan,  dia tidak tahu apa saja yang bakal dihadapi nanti. Apalagi,  kata Gyan,  biasanya yang dinilai adalah tehnik flair bartender serta cocktail unik yang disajikan. Belum lagi jika para juri memberi pertanyaan terkait minuman yang dibuat sedetail mungkin.

Notifikasi pesan Whatsapp muncul,  nama angry bird tertera di sana.  Lavina segera membuka isi pesan yang dikirim Gyan.  Sebuah senyuman tiba-tiba terukir begitu saja di bibir,  kedua jempol Lavina mengetik pesan balasan si angry bird dengan hati yang meletup-letup. 

Angry bird : Dmn

Lavina : di ruang karyawan,  Pak.  Lagi makan.

Angry bird : Ok

"Hah? Ok doang? Apa maksudnya kam--"

Pintu ruang karyawan terbuka, menampilkan sosok Gyan yang membawa kotak makan siangnya dan sebotol tumbler hitam metalik.  Lavina mengerjapkan mata, mengapa lelaki pemarah itu terlihat aneh beberapa hari ini. 

Gyan berdeham, mengisyaratkan Lavina menggeser pantat di sudut sofa berbahan kulit itu.  Otaknya masih mencerna untuk merangkai kata yang pas atas tindakan Gyan yang tanpa dosa membuka kotak makan dengan menu sama. 

Lelaki berkulit putih itu menoleh, menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Bapak sehat?" hanya pertanyaan itu yang meluncur begitu saja dari bibir Lavina. "Sikap Pak Gyan bikin saya parno."

"Kamu lebih suka melihat saya marah-marah?" tanya Gyan balik.

"Iya dong!" seru Lavina. "Ah,  maksudnya  itu ciri khas Pak Gyan. Kalau tiba-tiba Pak Gyan berubah jadi semanis es cendol,  kayaknya ada yang salah."

Gyan tidak menimpali ucapan Lavina,  melainkan mengaduk makanannya dalam diam.  Dalam pikirannya, Gyan berusaha menjadi baik setelah mengetahui bahwa Lavina hidup sebatang kara. Oleh karena itu,  dia sudah menekankan diri sendiri untuk tidak mudah emosi seperti biasanya. 

"Saya takut dibilang pelakor," kata Lavina menutup kotak makannya hendak pindah.

Gyan menarik tangan kanan Lavina dan memaksanya duduk.  "Kenapa kamu bilang seperti itu?"

"Bapak kan punya pacar."

My Hottest Bartender (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang