Panggilan yang sedang Anda tuju berada di luar service area...
Jika tahu seperti ini, dia tak kan membuang-buang waktu untuk datang ke neraka jadi-jadian. Apalagi jika harus bertemu dengan lelaki beralis tebal yang selalu menganggapnya remeh. Ingin pulang tapi sayang bensin yang terbuang sia-sia, ingin menetap tapi entah harus menunggu siapa.
Lavina mendesah di pojokan outdoor bar, menopang kedua dagu seraya merasakan hilir mudik sekitar jalanan Laksda Adi Sucipto dari lantai dua hotel lalu menatap langit malam yang tak berbintang. Cuaca hari ini cerah, udara kota Yogyakarta terasa sejuk menerpa kulitnya. Kemudian dia melirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kepalanya berputar sejenak, mengedarkan pandangan ke area bar. Di sana orang-orang masih saja enggan meninggalkan tempat yang menyajikan berbagai minuman pelepas dahaga maupun pelepas lara.
Iris matanya menangkap Gyan. Untuk beberapa saat, Lavina berpikir mengapa lelaki itu tidak pulang sedari sore tadi. Apakah dia lembur atau justru terlalu berat meninggalkan bar. Merasa diperhatikan, Gyan menoleh, Lavina salah tingkah lalu membuang muka. Mendadak dirinya terkejut setengah mati saat sosok hantu itu kembali muncul. Wajah sepucat mayat, mata sayu seperti memendam kesedihan berlarut-larut, rambut pendek sebahu awut-awutan seperti tidak pernah disisir rapi. Tapi yang menarik perhatian si tak kasat mata adalah dia memakai pakaian seperti bartender layaknya karyawan lain.
"Kamu suka jahil ya," tuduh Lavina yang dibalas gelengan dan tawa kecil yang pasti membuat bulu roma berdiri. "Bacain ayat kursi nih! Panas mampus kowe," ancamnya lagi walau Lavina tidak tahu bagaimana isi doa yang selalu diucapkan teman sekolahnya waktu pelajaran agama. Selain itu, saat pramuka dulu, temannya selalu menyuruh anggota lain membaca ayat kursi agar tidak diganggu hantu.
"Jangan!" seru si hantu. "Tega banget sih sama sesama makhluk."
"Kita beda ya, kunti," ketus Lavina.
"Namaku Vega, bukan kuntilanak. Kalau itu, dia ada di--"
"Haisshh ... jangan sebut deh!" sela Lavina mengibaskan tangan. "Kamu kenapa sering muncul? Enggak ada kerjaan?"
"Cari temen, masa enggak boleh," jawab Vega. "Aku suka kalau kamu bisa lihat aku. Hihihihi... "
"Idih, ra wedi aku karo guyumu."
(Enggak takut aku sama tawamu.)
"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Gyan yang tiba-tiba muncul.
Lavina mendongak, mulutnya terkatup rapat namun jari telunjuknya menunjuk Vega yang duduk di depannya tanpa bisa dilihat oleh mata Gyan.
"Bar udah mau tutup. Kenapa enggak pulang? Enggak punya cowok apa sampai datang ke sini."
Bibir Lavina seketika mengerucut memandang sinis lelaki raja tega itu. "Kayak dia punya pacar aja," desisnya yang dibalas tawa Vega. "Enggak usah ketawa."
"Lavina?"
"Anu Pak, saya ... mau belajar bartending."
Gyan pun menarik kursi di tempat Vega duduk, lantas menduduki kursi kayu dengan kaki tinggi berbarengan sosok si hantu yang berpindah ke belakang punggung lebar lelaki itu.
"Sama Reiki?" tanya Gyan melipat kedua tangan di dada seakan sedang menginterogasi gadis yang rambutnya hanya diikat asal. "Kamu percaya sama dia?"
"Emang kenapa? Daripada sama Pak Gyan, saya kena omel. Mending sama Reiki aja," tutur Lavina polos.
"Saya mengomeli kamu karena memang kamu yang salah. Gila kali saya mengomel tanpa alasan." Gyan mendapati kotak makan yang belum dibuka sama sekali semenjak Lavina datang. Ditunjuk kotak berwarna ungu itu. "Kamu bawa apa?"
"Bapak mau? Makan aja, saya kenyang." Lavina menyodorkan kotak makannya. "Kenyang sama janji manis. Kenyang sama omelan. Kenyang--"
"Kamu menyalahkan saya?" sindir Gyan menyela si gadis bar-bar.
Lavina hanya mengangkat bahunya. "Bukan saya yang ngomong. Ah, iya, Bapak kan takut sama masakan beracun saya. Jadi enggak usah, saya kasihkan ke anak-anak lain."
Gyan mendelik kesal, padahal dia bukan tipe lelaki yang akan cerewet terhadap masakan siapa pun itu. Sayang, kejadian memalukan beberapa hari lalu di lift sepertinya sudah terpatri di dalam kepala Lavina. Detik berikutnya, suara perut berotot yang tertutup kemeja abu-abu itu berbunyi cukup nyaring, membuat si empunya salah tingkah. Gyan tak berani menatap Lavina yang justru tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya, Lavina membuka kotak makanan. Meskipun sudah tidak sehangat tadi, aroma bumbu ungkep dan sambal kecapnya masih menggugah selera. Gyan melirik sejenak sambil menelan air liur, menu masakan yang dibawakan oleh gadis ceroboh itu adalah masakan kesukaan. Mengingatkan kehidupannya dulu saat masih tinggal di Surabaya bersama keluarga.
"Bapak kalau cuma lihat ayamnya enggak bakal kenyang," sahut Lavina membuyarkan lamunan Gyan. "Udah enggak usah jaim sama saya."
Astaga, kenapa ada gadis seperti dia sih! Batin Gyan.
Gyan berdeham pelan, membangun kharisma yang sepertinya sudah tidak berarti di mata Lavina. Sejurus kemudian dia memiliki ide dan berkata, "bagaimana jika bar tutup, saya mengajarkanmu bartending? Anggap saja saya tidak punya hutang atas masakanmu."
Seketika mata Lavina membulat dengan senyum lebar menampilkan lesung tipis di kedua pipi. "Serius, Pak?"
Gyan menganggukkan kepala dengan senyum simpul, agar tetap kelihatan cool.
"Makasih Angry bird!" seru Lavina.
"Apa kamu bilang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hottest Bartender (END)
Romance(Hotelier's Romance Project) Maksud hati ingin mencari pengalaman, justru yang didapat hanya rentetan omelan. Lavina Roselani seorang bartender baru di hotel D'amore harus menghadapi si Angry bird, julukan yang ditujukan kepada Gyan Felix, Captai...