Sudah beberapa hari, kedua tangan yang seharusnya melakukan juggling, terpaksa bergelut bersama sabun dan gelas-gelas yang telah dipakai oleh para tamu. Usai mencuci, Lavina menggantungkan stem glass secara terbalik agar kering dengan sendirinya. Sedangkan gelas-gelas bir, dia perlakukan sama hanya saja menaruhnya di atas baki dengan posisi terbalik.
Seraya mengambil handuk kecil untuk mengeringkan tangan, Lavina mendesah melihat kulit telapak tangannya mengeriput akibat terlalu lama menjadi tukang cuci. Belum lagi dia harus menyapu, membersihkan meja dan lounge bar, hingga mengepel lantai. Entah mengapa dia merasa diperlakukan seperti cleaning service ketimbang barboy.
Dilirik jam di pergelangan tangan kiri yang menunjukkan pukul dua siang. Perutnya begitu keroncongan, para penghuni lambungnya sudah memaki-maki untuk segera diisi seporsi nasi padang atau nasi gudeg lengkap dengan es teh.
Mendadak, hidungnya mencium aroma melati. Aroma yang sama saat dia melihat sosok di samping Gyan beberapa hari lalu. Sosok yang membuat dirinya harus berurusan dengan si Angry bird yang diakhiri penambahan masa evaluasi menjadi dua bulan.
Ekor matanya bergerak ke samping kiri. Benar saja, sosok itu meringkuk di sudut dapur, memandang Lavina tajam. Sedetik kemudian, sosok tak kasat mata tiba-tiba berdiri di hadapan Lavina dan berkata,
"Kamu bisa lihat aku?"
Jika bukan hantu, Lavina ingin menyiraminya dengan air kobokan. Sayang, dia enggan melakukan hal itu untuk menghemat tenaga. Rencananya, malam ini bersama Reiki, dia akan belajar bartending bersama untuk kompetisi.
"Eh, kunti, kamu enggak ada kerjaan lain apa selain ngeliatin orang kerja?" dengkus Lavina kesal. "Kalau enggak ada kerjaan, bantuin--"
"Setan mana ada yang bisa pegang barang? Aku enggak sekuat itu," ucap si hantu berambut Dora, memotong perkataan Lavina. "Kamu beneran bisa lihat aku?"
"Iya bisa. Emang kenapa?" ketus Lavina berkacak pinggang.
Sebelum si hantu menjawab, tiba-tiba Gyan datang melihat Lavina berbicara sendiri menghadap tembok bercat putih itu. Dia berdeham keras, membuat Lavina terkejut lantas memutar kepala ke arah pintu dapur.
"Ada apa, Pak?"
"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Gyan. "Kerjaan kamu sudah beres belum? Jangan santai-santai di sini. Di luar kita lagi sibuk melayani tamu."
Lavina berpaling untuk memaki si hantu, tapi nyatanya sosoknya tak ada, melainkan hanya lemari penyimpanan dan kulkas yang menjadi saksi bisu percakapan makhluk beda alam. Tak mungkin pula Lavina menjelaskan kepada Gyan jika dia tadi berbincang dengan salah satu hantu yang suka melihat aktivitas para karyawan di bar.
"Saya boleh bantu di counter?"
"Enggak!" tandas Gyan. "Sudah kamu bersihin meja sana!"
###
Aroma bumbu ungkep dalam panci menguar memenuhi dapur kecil berdinding hijau muda. Sepulang kerja, Lavina langsung mampir ke pasar Giwangan membeli setengah kilo ayam di langganannya. Sengaja memasak ayam ungkep bumbu kecap untuk dimakan bersama Reiki usai bar tutup nanti. Kebaikan lelaki berwajah imut itu memang harus dibalas dengan sesuatu yang mengenyangkan perut dan memuaskan hati.
Kemarin, setelah dia mengusulkan diri ikut kompetisi karena terlalu emosi dengan ucapan Gyan, Lavina langsung meminta pertolongan dan disetujui oleh Reiki. Dia berkata bahwa Gyan memang terlalu keras kepada bawahannya dan tidak segan berkata kasar. Reiki juga bercerita jika dia juga pernah merasakan di posisi Lavina.
Pukul sembilan malam dengan mengenakan jaket jeans dan mengendarai motor, Lavina menuju ke hotel D'amore. Jalanan masih saja ramai, apalagi malam minggu banyak wisatawan dari luar kota menghabiskan waktu bersama di kota pelajar ini. Ada sedikit rasa iri di benak gadis 25 tahun itu, secuil rasa rindu terhadap kedua orang tuanya membuat mata sedikit sayunya berkaca-kaca. Dulu sewaktu kecil, mereka akan pergi ke Malioboro atau pun Parangtritis kadang pula Lavina akan diajak memancing bersama.
Ah, jadi melow kalo inget ibu-ayah.
Tak butuh waktu lama, motornya terparkir di parkiran khusus karyawan. Dia menyapa beberapa orang lalu segera naik lift ke lantai dua. Aroma ayam yang matang dan sambal terasi sungguh membuat lidahnya bergetar tak sabar melahap hingga habis.
Lift terbuka di lantai dua, bar masih saja terlihat ramai. Lavina mengedarkan pandangan ke segala penjuru bar namun tak mendapatkan sosok Reiki yang selalu tampil dengan rambut ala oppa. Bibirnya mengerucut, tak mungkin pula jika lelaki itu pulang lebih awal.
"Cari siapa kamu!" suara bass yang sangat dihindari Lavina terdengar dari belakang.
Kepo banget sih nih orang!
"Bukan urusan Pak Gyan!" ketus Lavina tanpa memandang wajah atasannya.
"Dia udah pulang jika kamu mencarinya," timpal Gyan membuat hati Lavina langsung kecewa.
Baca TEQUILLOVE lebih cepat sampai extra part hanya di karyakarsa. Bisa beli satuan atau paket lebih murce!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hottest Bartender (END)
Romance(Hotelier's Romance Project) Maksud hati ingin mencari pengalaman, justru yang didapat hanya rentetan omelan. Lavina Roselani seorang bartender baru di hotel D'amore harus menghadapi si Angry bird, julukan yang ditujukan kepada Gyan Felix, Captai...