Pergantian shift sudah dua jam berlalu, namun Lavina masih berdiri dengan Gyan yang justru tengah duduk di ruang head bar. Menaikkan satu kaki jenjangnya di atas kaki lain, melipat kedua tangan di dada begitu angkuh, serta tak lepas menatap gadis yang sehari ini sudah membuat dua kali keributan. Gyan merasa kalau tidak seharusnya bartender seperti Lavina diterima di D'amore. Dalam waktu lima hari, dia sangat yakin Lavina akan menghancurkan separuh aset bar.
Sedangkan Lavina hanya bisa menunduk bak putri malu, tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Justru pikirannya berkecamuk, saling melemparkan hujatan siapa yang perlu disalahkan atas insiden tadi. Yang ada dalam kepalanya sekarang, ke mana lagi harus mencari pekerjaan atau bagaimana caranya agar tidak menjadi manusia paling ceroboh. Selain itu, Lavina ingin mengumpat pada gelas yang telah menjadi puing-puing tak berguna, merutuk mengapa gelas one shoot itu berada di sana dan membuat bencana baru.
"Alasan apa lagi kamu?"
Suara bas Gyan yang mendominasi ruangan bercat cokelat ini, membuyarkan imajinasi Lavina yang sedang mengomeli si gelas one shoot. Dia menelan ludah, memaksa setiap sel otak untuk merangkai kata yang pas atas kesalahan kedua yang dilakukannya. Sayang, sebanyak apa pun kalimat di kepala, nyatanya kecerobohan itu memang berasal dari dirinya sendiri sejak lahir.
"Saya ceroboh, Pak," jujur Lavina, "dari lahir."
Gyan menaikkan alisnya tidak mengerti. "Dari lahir? Lantas kecerobohanmu ini sudah kamu anggap saudara kembar, begitu?"
Lavina menggeleng cepat. "Saya akan berusaha lebih baik lagi, Pak. Jangan jadikan saya sebagai waitress."
"Bahkan menjadi waitress pun tidak cocok untukmu, Lavina. Kamu tuh lebih cocok jadi tukang pel! Membersihkan kotoran seperti membersihkan masalahmu!" sindir Gyan penuh emosi.
Rasanya kepala lelaki itu sudah berasap setiap mengingat kelakuan sang bartender. Bagi Gyan, menjadi peracik minuman bar bukanlah hal yang mudah meski terlihat sepele, butuh ketangkasan untuk bisa menyajikan segelas cocktail , sementara juggling bartender hanyalah sebuah poin plus. Itulah mengapa kepuasan tamu menjadi hal terpenting selama dia meniti karier di D'amore, sementara Lavina tidak sampai delapan jam sudah membuat kericuhan yang bisa menurunkan rating bar.
Mendengar hal itu, kedua telinga Lavina langsung panas, tanpa sadar tangannya mengepal kuat menahan emosi agar tidak mengeluarkan umpatan kepada atasannya. Bagaimana bisa lelaki bermata sipit itu membandingkan dirinya dengan seorang pelayan bahkan cleaning service. Tidak semua orang bisa menjadi bartender, meramu minuman adalah sumber kebahagiaannya, dan melihat mereka memuji apa yang bartender buat. Gyan mungkin tidak pernah tahu apa yang dirasakan Lavina setiap melihat orang memuji racikannya.
"Ya, enggak gitu juga, Pak. Saya menjadi bartender juga ada sekolahnya," bela Lavina.
"Kamu membantah saya?" Gyan menunjuk dirinya sendiri, alis tebalnya semakin menukik dengan mata melotot tak terima. "Kamu anak baru berani dengan atasanmu sendiri?"
Lavina menggeleng. "Tidak. Hanya saja saya tidak ingin disamakan dengan waitress atau cleaning service. Saya juga manusia, Pak."
"Saya tidak perlu mendengar alasanmu lagi, Lavina, besok--"
"Pak!" Lavina menarik kursi di depan meja Gyan seraya menggosokkan kedua tangan. Merengek seperti anak kecil dengan wajah memelas memotong pembicaraan Gyan. "Jangan pecat saya ... saya berjanji besok tidak akan memecahkan gelas lagi, Pak. Bapak boleh potong gaji saya, asal saya masih bisa bekerja di sini. Tolong, Pak ..."
Ayo dong ... masa kejam amat jadi orang nih bapak-bapak, batin Lavina.
Gyan terdiam, menatap kesungguhan yang terpancar dari mata bulat Lavina. Tapi, dia juga menimang hal yang lain, jika terlalu banyak komplain yang masuk, maka dia pasti akan mendapat teguran dari kepala dan manajer bar. Sedari dulu, Gyan paling tidak suka berurusan dengan atasan dan sebisa mungkin meminimalisir masalah yang ada. Tidak satu tahun atau dua tahun dia mengabdi sebagai bartender di D'amore, melainkan hampir delapan tahun Gyan bergelut di bidang bartending, bertemu dengan berbagai macam karakter dan keterampilan bartender baik laki-laki maupun perempuan.
Sayangnya, hari yang menyebalkan ini menjadi hari pembuka kesialan bagi Gyan menghadapi Lavina yang bertindak asal-asalan. Cepat atau lambat, gadis yang sedang memohon di depannya dengan kedua pupil membesar layaknya kucing minta ikan ini pasti akan disingkirkan oleh pihak hotel.
"Pak ..." suara Lavina kembali terdengar. "Saya mohon ..."
"Kamu itu seperti kartu mati, Lavina," ujar Gyan, "di mana pun kamu berada, kamu pasti akan disingkirkan."
"Apa?" bibir yang dipulas lipstik merah muda itu mengaga lebar.
"Kamu tidak mendengar saya? Kamu. Kartu. Mati. Saya tidak bisa mempertahankan pegawai yang asal-asalan. Kamu kira tempat ini area pelatihan?"
"Jadi, saya dipecat?" tanya Lavina dengan mata berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hottest Bartender (END)
Romance(Hotelier's Romance Project) Maksud hati ingin mencari pengalaman, justru yang didapat hanya rentetan omelan. Lavina Roselani seorang bartender baru di hotel D'amore harus menghadapi si Angry bird, julukan yang ditujukan kepada Gyan Felix, Captai...