Tinggallah dua orang yang tersisa di bar dan kini berdiri di belakang counter tanpa ada seorang pun kecuali sosok Vega yang masih setia mengikuti Gyan. Lavina sampai berpikir, mengapa sosok tak kasat mata itu suka dekat dengan lelaki yang kerjanya hanya mengomeli bawahan. Padahal di bar banyak pria yang lebih menarik, murah senyum seperti barang diskonan, dan lebih ramah lingkungan. Vega malah terkikik dan mengejek Lavina untuk jangan menilai orang dari tampangnya saja, dia sudah tahu bagaimana Gyan yang tidak dapat dilihat orang lain.
Apa mungkin Vega suka ngintip Gyan mandi? pikir Lavina.
Sekarang di depannya, Gyan tengah menggulung kemeja abu-abu sampai batas siku, menampilkan guratan otot dan nadi yang terlihat begitu jantan. Entah mengapa gerakan yang sangat klise dan terkesan slow motion di mata, justru menimbulkan sesuatu yang aneh di dalam diri Lavina. Mulutnya sampai menganga lebar hingga menyentuh lantai marmer bar yang tak gentar akan dinginnya mesin pendingin hingga tanpa sadar, Gyan melihatnya dan menjentikkan jari tepat di depan wajah si gadis bar-bar.
"I-iya, ada apa, Pak?" tanya Lavina berintonasi cepat. Sedetik kemudian, biji matanya langsung waspada begitu sadar kalau posisinya terlalu dekat yang bisa menimbulkan efek negatif bagi jiwa dan raga. Sontak Lavina membelakangi Gyan, menampar kedua pipinya bersamaan sambil mengumpat dalam hati.
Bisa-bisanya mata ini terhipnotis!
"Ambil shaker sana!" perintah Gyan. "Boston shaker, jangan ambil selain itu!"
Tanpa menjawab, Lavina segera mengambil alat pengocok yang dimaksud. Jika mengingat insiden pertama kali di sini, akibat shaker inilah yang membuat dirinya dikenal dengan bartender pembawa sial yang disematkan oleh Gyan.
"Kenapa saya--"
"Coba buatkan saya satu minuman saja. Saya ingin melihat kinerja kamu," pinta Gyan menyandarkan sisi tubuh ke meja counter, melipat tangan di dada dengan angkuh.
"Tapi, saya jangan diomeli ya, Pak," pinta Lavina yang dibalas anggukan si Angry bird.
Tangan kanan Lavina mengambil balok es dengan sekop, memasukkannya ke dalam shaker. Kemudian meraih botol white rum dan jigger untuk mengukur seberapa banyak rum yang dibutuhkan, dilanjut meraih botol Galliano--herbal liqueur perisa vanila dan adas manis serta yang terakhir menambahkan triple sec liqueur beraroma jeruk. Sebagai pelengkap rasa segar nan manis dari cocktail yang gadis itu buat, dia memeras jeruk nipis dengan fruit presser.
Gyan memerhatikan gerakan tangan Lavina. Entah mengapa gerakan tangan gadis itu masih terlalu hati-hati dan tidak luwes seperti peracik minuman yang menikmati dunianya sendiri. Dia menilai jika Lavina mengikuti kompetisi, dipastikan gadis itu tak kan lolos dalam babak penyisihan. Padahal yang dibutuhkan saat ajang bartender maupun dalam melayani tamu adalah ketangkasan dan kecakapan tangan, kalau tangan tidak bisa memegang dengan benar bagaimana bisa seorang peracik minuman menghasilkan jamuan yang baik?
Lavina menutup shaker sekuat tenaga agar tidak terjadi kesalahan lagi. Dia bergerak mundur, melirik sekilas raut Gyan yang mengamatinya seperti kamera pengawas. Lavina begitu semangat mengocok shaker mengalihkan pandangan ke arah meja tamu yang kosong agar tidak gugup. Untungnya, detak jantung yang bertalu-talu menggema di seluruh tubuh Lavina tertutupi oleh suara gesekan es batu dengan dinding stainless steel alat pengocok.
Dua puluh detik adalah waktu yang cukup untuk membuat semua minuman tercampur rata. Lavina pun segera meraup gelas koktail berkaki dari chiller. Namun, ketika hendak membuka shaker, penutupnya tidak mau terlepas membuat bola matanya melotot takut mendapat cecaran kembali.
"Pak?" panggil Lavina memelas. "Enggak bisa dibuka."
"Kamu yang menutup, kamu juga yang membuka. Masa kalau di kompetisi nanti, kamu memanggil saya hanya untuk membuka shaker?" ejek Gyan menciutkan diri Lavina. "Buka sana!"
Bibir sensual Lavina mengerut bersama lirikan tajam, kedua tangannya masih berusaha membuka pengocok secara hati-hati. Dia juga merutuki diri sendiri, mengapa pula harus menutup rapat shaker jika berakhir menyusahkan.
"Waktu kamu habis!" seru Gyan merebut shaker itu dan membukanya sangat mudah. Lantas, dia menuang hasil racikan Lavina ke dalam gelas baru dari mesin pendingin dengan penyaring.
"Lah, salah saya apa, Pak?" tanya Lavina membela diri. "Kan emang salah shakernya yang enggak bisa dibuka. Bukan salah saya dong. Ya dong?"
"Kamu salah masih ngeyel!" Gyan menyeruput minuman itu seraya memejamkan kedua mata untuk menilai cita rasa racikan si gadis bar-bar.
Untuk ukuran cocktail, rasa manis dari Galliano tapi tidak strong, aroma jeruk triple sec dan perasan jeruk nipis pun imbang. Hanya saja, karena terlalu lama dalam shaker minumannya jadi terasa begitu encer.
"Yellow bird, bukan?" Gyan menerka, meneguk minuman itu sekali lagi tuk mencecap rasa.
Lavina mengangguk cepat. "Gimana, Pak?"
"Teknik kamu kurang tepat, Lavina. Kamu terlalu berhati-hati dalam memegang alat-alat di sini, seolah kamu tidak menaruh kepercayaan kepada mereka. Saya sudah bilang, anggap bar ini adalah bar milik kamu sendiri. Apa yang kamu sajikan itulah cerminan dirimu," jelas Gyan kemudian mengangkat kaki gelas koktail sejajar pandangan. "Waktu antara shaking dan penyajian tidak lama. Karena masalahmu di bagian membuka shaker, maka es batu yang di dalam sudah terlalu banyak yang mencair."
Mendengar penjelasan Gyan yang dinilai begitu sempurna di mata Lavina, tanpa sadar dia bertepuk tangan sambil tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Padahal awalnya dia mengira jika Gyan berlagak sombong karena tidak bisa memperlakukan sesuatu dengan baik. Nyatanya itu di luar ekspektasi. Pantas saja dia disegani di bar, pikir Lavina.
"Jadi, Bapak mau ngajarin saya cara memegang yang benar enggak?" tanya Lavina dengan wajah ambigu.
Boston shaker
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hottest Bartender (END)
Romance(Hotelier's Romance Project) Maksud hati ingin mencari pengalaman, justru yang didapat hanya rentetan omelan. Lavina Roselani seorang bartender baru di hotel D'amore harus menghadapi si Angry bird, julukan yang ditujukan kepada Gyan Felix, Captai...