Bab 29

934 140 22
                                    

Masuk shift pagi dan harus bertemu Gyan yang masih saja diam seribu bahasa, menjadi sebuah mimpi buruk bagi Lavina.  Sudah beberapa hari ini, lelaki keras kepala itu tak kunjung membuka pintu maaf atas kesalahan yang dinilai Lavina sangat sepele,  tapi membesar akibat pikiran kekanakan si captain bar yang kini sedang mencatat bahan habis di gudang supply

Lavina tak ambil pusing lagi, selama dia sudah mengucapkan maaf, berarti kewajibannya selesai.  Justru, mereka yang tidak mau membalas permintaan maaf itulah yang berdosa besar dan menerima semua dosa-dosa dari orang lain.  Biarlah Lavina bergelimpangan pahala akibat sikap Gyan yang sungguh tidak dewasa di usia 32 tahun itu.

"Kenapa kamu senyum-senyum?"

Lavina menoleh ke kiri saat sedang mengisi es batu di counter, selagi tamu tidak banyak yang datang.  Gyan berdiri dengan ekspresi galak yang menjadi ciri khas lelaki tinggi semampai itu.  Lavina menggeleng pelan, meninggalkan sang captain bar daripada harus beradu mulut sampai berbusa dan hati lelah.  Dia tidak ingin menguras banyak energi untuk satu orang yang tidak bisa menghargai orang lain. 

Seorang tamu lelaki mengenakan kaus putih dan bertubuh bongsor datang,  Lavina menyambutnya ramah sambil menawarkan welcome drink dengan menu Virgin Cucumber Gimlet--mocktail dengan campuran soda klub dan timun yang diberi jeruk nipis.  Begitu cocok ketika cuaca dan hati panas dilanda emosi sesaat.  Ekor mata sedikit sayu itu melirik sekilas Gyan yang berdiri tak jauh darinya, kemudian berkata,

"Seger kan minumannya, Pak. Lumayan buat mendinginkan kepala biar enggak marah-marah."

Tamu dengan rambut sedikit gondrong itu tertawa menimpali ucapan sang bartender manis.  "Kalau lihat wajah cantik Mbak, mana ada orang yang mau marah? Sinting kali."

Merasa tersindir, Gyan malah menyipitkan kedua matanya ke arah Lavina lantas mendekati gadis itu. Dia merendahkan tubuh,  mensejajarkan pandangan ke netra gadis dengan ikat rambut seraya memiringkan kepala.

"Apa yang kamu katakan kemarin tidak akan membuat saya mengatakan hal yang ingin kamu dengar, Lavina," tegas Gyan membuat si tamu terkejut merasa tak nyaman.  "Dan saya memang sinting. Sementara kamu asal ceplos tanpa tahu masa lalu saya. Mengerti?"

"Kalian ini pacaran?" tanya si tamu menunjuk dua insan itu. 

"Enggak!" seru Gyan dan Lavina bersamaan, menoleh ke arah lelaki itu dengan ganas. 

Akhirnya,  Gyan memutuskan untuk pergi meninggalkan Lavina yang melayani tamu,  sedangkan dia harus menemui Felicia di ruang head bar sekaligus mendinginkan kepalanya yang memanas lagi. 

Pintu ruangan head bar terbuka,  Felicia tengah duduk sambil menulis sesuatu.  Dia melirik sekilas Gyan yang datang dengan wajah ketus. Perempuan nyentrik itu menggeleng heran,  tidak ada satu hari di mana Gyan akan merilekskan otot-otot di wajahnya. Dia yakin sepuluh tahun yang akan datang,  wajah Gyan bisa dua puluh tahun lebih tua jika dia masih merengut seperti itu.  Felicia menilai bahwa Gyan terlalu serius terhadap apapun termasuk masalah sepele.

"Nih barang yang habis, kamu yang order apa gimana?" Gyan menyerahkan buku dengan cover batik hijau bertuliskan 'Catatan Barang Habis' kepada atasannya. 

Felicia menaruh bolpoin lantas menopang dagunya memandang wajah berahang tegas itu.

"Senyum dikit dong,  Gyan," pinta Felicia.  "Kenapa kamu enggak bisa santai dikit jadi orang."

"Kenapa? Kamu juga enggak nyaman sama muka saya?" ketus Gyan lalu menghela napas.  "Hari ini sudah dua orang yang menyindir terang-terangan."

"Lavina?" tebak Felicia sambil terkekeh. 

My Hottest Bartender (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang