Bab 20

899 127 10
                                    

"Enggak apa-apa, walau pake kolor pun Pak Gyan masih cakep," ceplos Lavina,"meski galak."

"Apa!" seru Gyan yang dibalas gelengan kepala Lavina.

Gadis itu menyelusup jauh ke area Cubic Kitchen & Bar yang ternyata tidak terlalu luas, namun pas untuk ukuran sebuah tempat minum. Interiornya cukup unik, kursi bar dengan empat kaki yang menahan beban tubuh dan meja bercat hitam ditata sedemikian rupa. Dindingnya dominasi cokelat kayu, namun salah satu dindingnya sengaja dicat putih dengan motif geometri. Lampu-lampu bohlam menyala berwarna kuning memberikan kesan hangat, di sisi dinding kaca terdapat kap lampu berbentuk kerangka kubus hitam.

Di sisi kiri, ada sebuah tangga menuju lantai dua yang terdengar suara musik yang cukup kencang di telinga. Gyan melewati Lavina seraya melambaikan tangan ke salah satu lelaki berkaus polo hitam dengan celana jeans senada. Wajah lelaki itu lonjong dengan kumis tipis yang menghiasi bawah hidung, sementara tangan kirinya terdapat sebuah tato ukiran nama.

"Yo opo kabare? Kowe ora tau dolan mrene," ucap lelaki itu.

(Gimana kabarnya? Kamu tidak pernah main ke sini.)

"Sibuk aku," jawab Gyan.

"Alasanmu pancet ae, Ko," timpal temannya. "Sopo cah iku? Pacarmu?"

(Siapa anak itu?)

"Lavina," panggil Gyan tanpa menjawab pertanyaan temannya. "Kenalin, Irvan."

Lavina menjabat tangan lelaki yang sedikit pendek dari Gyan seraya melempar senyum.

"Gyan ngajak cewek itu lang--"

Seketika Gyan merangkul leher Irvan agar tidak melanjutkan perkataan lelaki yang bermulut ember itu. Irvan terbatuk-batuk sedangkan Lavina justru tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Setelah memohon, barulah Gyan mau melepaskan rangkulannya dan menunjuk counter bar yang cukup ramai untuk duduk bersama.

Lavina menurut mengekori Gyan dari belakang seperti anak kucing. Dia mendudukkan diri di atas kursi bar, di sisi kirinya Gyan yang langsung dilayani oleh Irvan. Tanpa mengatakan pesanan, Irvan langsung meracik dua minuman dengan begitu lihai membuat Lavina terpana.

"Irvan itu dulunya kerja di D'amore," kata Gyan membuka pembicaraan seolah tahu apa yang ada dipikiran Lavina. "Terus dia kerja di sini hampir setahun. Dia teman baik saya."

"Oh ... kalau Reiki?" tanya Lavina membuat bibir Gyan tercengang. "Kenapa saya merasa kalian berdua berhubungan dekat tapi saling benci? Bapak enggak belok-belok kayak rumor Pak Daniel itu kan?"

Lelaki itu terkekeh mendengar pernyataan Lavina yang tidak masuk akal. Tentu saja dia masih normal walau gosip head barista D'amore sudah menyebar luas entah ulah siapa. Sebelum menimpali kalimat gadis yang terlihat manis malam ini, Irvan menyodorkan dua minuman cocktail yang dihias dengan kulit jeruk.

"Silakan dicoba dan ditebak," kata Irvan memandang Lavina kemudian mengerlingkan sebelah mata. "Ini permintaan Gyan lho."

"Serius, Mas?" Lavina tertawa sambil mencium aroma cocktail itu untuk mengira-ngira apa saja yang diracik. Lantas disesapnya sedikit sambil mengingat kembali apa yang dulu dia dapatkan di pelatihan.

"Kenapa kamu manggil Irvan dengan sebutan Mas, sedangkan saya tidak?" tanya Gyan tiba-tiba membuyarkan konsentrasi Lavina.

Gadis itu mengernyitkan alisnya beberapa saat ketika Gyan menelengkan kepala dan menopang wajah berahang tegas itu dengan kepalan tangan kiri.

"Lah, Pak Gyan kan--"

"Saya sama Irvan sebaya," potongnya seolah tidak terima.

"Emang saya salah ya, Pak," kata Lavina.

Gyan mengangkat kedua bahunya kemudian menyesap cocktail itu. "Gimana komentar kamu?Coba tebak, basic spiritnya apa?"

Lavina meneguk minuman itu lagi. "Ini manis cranberry, sedikit asam ... perasan jeruk nipis, tapi enggak strong di lidah. Kayaknya non-alkohol ya, Pak?"

"Masa? Memang hampir mirip, tapi rasa manisnya bukan hanya dari cranberry," kata Gyan lalu beralih pada Irvan. "Vodka?"

"Bener, kowe."

"Wuih, kok bisa? Wah, Pak Gyan pinter!" puji Lavina. "Enggak salah kalau sering marah."

Irvan yang mendengar ucapan Lavina langsung tertawa terbahak-bahak. "Dia dari dulu seperti itu. Galak. Makane sampe ora duwe pacar!"

(Makanya sampai enggak punya pacar.)

"Lambemu!" sungut Gyan. "Buat satu lagi," pintanya yang disusul sebuah panggilan ponsel.

Mami.

"Tumben," gumam Gyan memandang layar ponselnya kemudian menjawab panggilan itu. "Ada apa, Mi? Masih di luar nih!"

"Ko, kamu enggak pulang ta natalan ini?"

"Enggak bisa, kalau pun bisa paling ya akhir tahun baru pulang. Emang kenapa?"

"Ini lho, mau tak kenalin sama anaknya temen Mami. Gelem ta?"

"Ya Tuhan, Mami," ucap Gyan melirik sejenak Lavina yang fokus ke atraksi Irvan. "Enggak mau ah, dikiro bujang ra payu."

(Dikira bujang tidak laku.)

"Saya ke kamar mandi dulu, Pak," pamit Lavina seraya memegang lengan Gyan. "Perut saya sakit."

"Suara siapa itu, Ko?"

Ketika Gyan mau dikenalin sama maminya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ketika Gyan mau dikenalin sama maminya. Wkwkwkw

Btw, kalau sama teman dekat, Gyan lebih sering dipanggil Koko. Maklum, doi keturunan orang Tionghoa.

Btw, Lavina sakit perut beneran apa enggak sengaja dengar obrolan Gyan sama maminya? Hehehe

My Hottest Bartender (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang