Tubuh tinggi bak tiang listrik itu tidak dapat menghindar kala gelas yang dilempar si anak baru, melayang dengan kecepatan tinggi. Lantas, sebelum membentur lantai bar, gelas kecil bekas dipakai tamu mendarat sebentar mengenai dahi Gyan, menciptakan jejak merah bagai kecupan perpisahan di sore hari.
Tamu yang duduk di atas kursi bar, seketika menjerit seolah mewakili suara hati Gyan. Sementara si captain bar, memejamkan mata, meremas shaker sekuat tenaga hingga buku-buku jarinya memutih. Entah dosa apa yang dia lakukan sehingga lemparan bak olahraga tolak peluru diterimanya.
Nyeri dan malu. Dua kata itu yang berputar dalam kepala Gyan. Saat membuka mata, semua pandangan tertuju padanya seolah dia adalah tontonan menarik. Sontak, dia menatap nyalang ke arah Lavina yang justru membeku di tempat dan berseru,
"Maaf, Pak!"
Gadis itu segera berlari, menghampiri Gyan untuk melihat seberapa parah efek lemparan tak beralasan itu. Iris mata lentik Lavina membulat, bekas merah di dahi Gyan jika dilihat dari jarak dekat ternyata meninggalkan goresan tipis dengan darah sedikit merembes di sana. Lavina ingin membantu mengobati luka itu, namun Gyan menepis menyuruh Lavina membersihkan kekacauan sebelum disumpahi.
Lavina menurut, mengutuk diri sendiri setiap kali matanya menangkap sosok yang hanya bisa dilihat oleh orang tertentu. Mengumpat dalam hati atas kemampuan tambahan yang dia miliki semenjak kecelakaan mobil yang merenggut nyawa kedua orang tuanya kala itu. Pasti banyak yang mengira, dirinya sedikit sinting, melempar wajah orang tak bersalah dengan gelas.
"Setan kampret, awas ya!" gerutu Lavina memunguti pecahan gelas dari lantai bar. "Belum tahu rasanya ya kalau udah dibacain ayat kursi. Biar kebakar sekalian!"
Gyan yang baru selesai melayani tamu, menyuruh Lavina untuk ke ruang head bar. Sudah cukup bagi dirinya harus berhadapan dengan satu manusia yang suka seenaknya sendiri. Entah mengapa, Felicia hanya memberikan teguran tanpa meneruskan sikap Lavina ke bagian manager bar. Jika Gyan menjadi head bar, sudah dipastikan bahwa Lavina tak kan bisa menjejakkan kakinya di tempat ini.
Felicia yang sedang menulis daftar barang habis, terperanjat kaget mendengar pintu dibuka begitu saja oleh Gyan. Sebelum perempuan pertengahan 30-an itu mengeluarkan kata, Gyan membelakanginya sambil berkacak pinggang dan berteriak,
"Kamu gila ya!"
"Siapa yang gila?" tanya Felicia bermonolog dengan suara lirih dan wajah bingung.
"Maaf, Pak!"
Sedetik kemudian, dia paham bahwa di hadapan lelaki tak sabaran itu adalah Lavina. Felicia segera beranjak dari kursi, ingin tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua. Jika seperti ini terus lama-lama kepalanya juga meledak, mendapati anak buahnya selalu bertikai.
"Ada apa ini?" tanya Felicia, kemudian dia tercengang melihat dahi Gyan terdapat luka gores. "Astaga, dahi kamu kenapa Gyan?"
Yang ditanya tidak menjawab, justru melempar pandangan seakan ingin memakan orang hidup-hidup. "Kamu kenapa sih enggak bawa dia ke Pak Satria aja. Aku pusing lihat dia!"
"Sabar dulu kenapa sih kamu," lerai Felicia lalu mengalihkan pandangan ke arah Lavina. "Kenapa lagi, Lavina? Belum ada dua jam kamu sudah berbuat ricuh lagi."
Lavina menunduk dalam, meremas celemeknya kuat. Tak mungkin pula dia berkata bahwa kedua mata indahnya ini menangkap sosok halus yang berdiri di samping Gyan, memerhatikan gerak lelaki itu saat meracik minuman tadi. Yang ada di pikirannya setiap melihat hantu adalah mereka selalu jahil atau seseorang membuat perjanjian sesat, sehingga hantu-hantu itu meneteskan air liurnya ke dalam makanan atau minuman. Tentu saja Lavina tidak mau, selain tidak higienis, makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan makhluk halus menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat di tubuh.
"Sa-saya ... tidak sengaja melempar Pak Gyan dengan gelas, Mbak," jujur Lavina tergagap.
Felicia menganga lebar, mendadak tengkuk lehernya menjadi tegang. Sekarang, dia tahu kenapa Gyan selalu naik darah tiap berurusan dengan gadis dengan cepol rambut itu. Tidak ada hari tanpa keributan, pun tidak ada hari tanpa kesalahan bagi Lavina di mata Gyan.
"Tidak sengaja, katamu!" seru Gyan emosi. "Kamu mau bikin saya mati berdiri, apa! Saya sudah bilang, Lavina, kamu itu kartu mati! Saya heran kenapa hotel ini mau menerima kamu yang enggak becus melakukan pekerjaan sekecil apa pun!"
"Bapak mengejek saya lagi?" tuduh Lavina. "Silakan Bapak ejek saya sejelek-jeleknya. Tapi, saya buktikan ke Pak Gyan, ke semua orang yang menganggap saya tidak bisa apa-apa bahwa saya bisa menjadi bartender."
"Bukti apa lagi?" tanya Gyan dengan mata melotot. "Saya bosan dengarnya!"
"Saya akan ikut kontes bartender!" seru Lavina seraya menunjuk ke arah luar pintu.
Baca bab sampai Tamat + Extra Part di Karyakarsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hottest Bartender (END)
Romance(Hotelier's Romance Project) Maksud hati ingin mencari pengalaman, justru yang didapat hanya rentetan omelan. Lavina Roselani seorang bartender baru di hotel D'amore harus menghadapi si Angry bird, julukan yang ditujukan kepada Gyan Felix, Captai...