Bab 17

886 139 23
                                    

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tandas Gyan seraya melepas pegangan tangannya di lengan Lavina. Dia berdeham pelan, melirik tak suka kepada gadis berponi itu dan merutuki diri kenapa harus merangkul tubuhnya. Dia hanyalah perempuan ceroboh pembawa sial, omel Gyan dalam hati.

"Lah, Pak Gyan kenapa tiba-tiba narik dan peluk saya?" balas Lavina enggan menatap iris mata sipit itu, akibat ketidaknormalan detak jantungnya. Lavina hampir tak bernapas setelah terhipnotis berulang kali oleh pesona lelaki di depannya ini.

Kayaknya ada yang salah sama otakku, batin Lavina.

Yang ditanya malah kikuk, meninggalkan Lavina begitu saja. Namun, Gyan berbalik ketika berada di ujung pintu masuk dapur seraya berkata, "Jangan terlalu sering berinteraksi dengan Reiki."

Sebelum Lavina mengeluarkan kalimat, lelaki julid itu pergi lagi meninggalkan jutaan pertanyaan di kepala si gadis bartender. Dia bertanya-tanya dalam hati seraya mencuci alat-alat bartending, apakah si Angry bird dan Reiki memiliki suatu hubungan tertentu di masa lalu. Berbagai pikiran negatif mulai menggerayangi pikiran kotor gadis berlesung pipi itu. Tidak mungkin pula jika Gyan sedikit belok, mengingat isu penyuka sesama jenis juga menerpa kepala barista.

Kenapa di hotel ini cowoknya pada aneh sih? Pak Daniel kata si Anin rada belok, masa Pak Gyan juga?

Bulu kuduk Lavina meremang seketika, berusaha menepis tapi ucapan Gyan selalu membuatnya berpikiran yang aneh-aneh. Aroma bunga melati mendadak muncul saat Lavina menggantung alat bartending ke rak. Dia merasa Vega berdiri di belakangnya seraya terkikik. Diabaikan hantu kurang kerjaan itu, tubuhnya sudah begitu lelah dan butuh tidur, apalagi besok dia harus berangkat kerja lagi. Ada sedikit rasa bosan di hati Lavina jika terus-menerus menjadi tukang cuci piring sampai kuku jarinya tak cantik lagi. Dia menunggu hari jumat sebagai hari libur kerjanya dan berencana untuk mengajak Reiki jalan-jalan di sekitar Malioboro.

Sementara Vega yang menguntit Lavina dari belakang, mendecih melihat kebersamaan si gadis ceroboh dengan Reiki. Bahkan dia tidak setuju jika Lavina jatuh di pelukan lelaki berahang tegas itu. Ada sesuatu yang mengganjal hati Vega namun tak tahu apa. Dia pun merutuki kematiannya sendiri yang membuat dirinya lupa ingatan tentang apa yang terjadi.

"Rei!" teriak Lavina saat berpapasan dengan Reiki di parkiran karyawan. "Kukira udah pulang."

Reiki yang sedang asyik merokok itu menjatuhkan putung tembakau ke tanah. Menginjaknya dengan sekali hentakkan kaki kiri lalu berkata, "Aku nunggu kamu. Lagian jam segini enggak baik perempuan pulang sendiri."

"Halah, modusmu," bisik Vega.

Gadis itu menoleh sambil mendecih. "Kowe lapo melu aku? Panggonmu gudu nang kene."

(Kamu ngapain ikut aku? Tempatmu bukan di sini.)

"Lavina?" panggil Reiki yang melihat Lavina berbicara berbisik-bisik. "Kamu--"

"Bukan apa-apa!" potong Lavina seraya menghidupkan mesin motornya. "Ndang bali kunu!" bisiknya pada Vega kemudian menghilang entah ke mana.

(Cepat kembali sana!)

Lavina memutar setir motor melaju membelah jalanan diiringi Reiki dari belakang. Tanpa disadari, Vega membuntuti Lavina dengan duduk di belakang jok motor Reiki seraya menatap penuh kesal. Hatinya tiba-tiba bergejolak tiap kali Reiki berdekatan dengan seorang perempuan. Sebagai makhluk tak kasat mata yang memiliki komunikasi terbatas pada beberapa manusia tertentu, Vega hanya bisa menyalurkan energi negatif yang membuat sekelilingnya merinding.

"Ini kenapa sih?" gumam Reiki merasa ada seseorang yang menatapnya tajam.

Butuh waktu sampai dua puluh menit untuk sampai ke rumah Lavina dengan pagar bercat hitam dan dinding bercat cokelat muda. Dua dewasa muda itu menghentikan motor. Lavina melepas helmnya dan menghampiri Reiki seraya berkata, "Masuk dulu apa gimana?"

Ingin sekali lelaki itu mampir sejenak untuk melepas dahaga namun rasa lelah dan kantuk mendadak menjalari tubuh. Dia menggeleng pelan seraya tersenyum tipis.

"Kapan-kapan aja, enggak enak juga bertamu malam-malam. Sungkan sama bapak-ibu."

"Mereka udah meninggal kok," timpal Lavina membuat bibir Reiki menganga sejenak.

"Ah, maaf, Lavina."

Lavina mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Enggak apa-apa. Ya udah kalau kamu pulang, hati-hati di jalan."

Reiki mengangguk lalu kembali menyalakan mesin motor trail hijau neon itu.

"Kirim pesan whatsapp kalau udah sampai," pesan Lavina yang dibalas anggukan, kemudian lelaki itu melaju cepat hingga hilang dari pandangan.

###

Bunyi alarm dengan lagu love so fine dari Cha Eunwoo berbunyi nyaring. Jemari lentik itu meraba-raba kasur dengan mata yang tetap terpejam. Lantas, mematikan bunyi itu untuk kembali melanjutkan tidur setidaknya sampai lima belas menit nanti.

Namun, keningnya mengerut merasakan ada seseorang yang sedang mengawasinya dengan galak. Dia berusaha membuka mata yang begitu berat setelah dibuai mimpi indah. Iris matanya samar-samar menangkap sesuatu yang berada di atasnya sedang menatap tajam dengan bayangan rambut berantakan. Perlahan tapi pasti, pandangannya semakin lama semakin jelas hingga detik berikutnya tanpa sadar Lavina melempar bantal.

"Vega kampret!" pekik Lavina saat sosok hantu kurang kerjaan itu membuntutinya sampai ke kamar.

699 kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

699 kata

Kalau kalian jadi Lavina apa yang bakal kalian lakukan? Pingsan? Teriak? Apa memaki kayak Lavina? Wkwkwkwkw

My Hottest Bartender (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang