Air mata tak berhenti mengalir. Membasahi wajah cantik Alequa. Hatinya begitu sakit. Surat dari dalam peti itu sudah tak ada gunanya lagi. Nenek sudah tiada. Dengan siapa Alequa harus bertanya? Surat-surat itu akan terbuang sia-sia.
Alequa berdiri. Berjalan keluar rumah. Ia hendak menuju pelabuhan. Merasa bahwa dirinya harus pergi ke Borneo mencari Mami dan Alaka.
Ia tak mungkin terus menetap di Batavia. Menunggu di dalam rumah, berharap yang terbaik dari Tuhan tanpa melakukan apapun. Itu akan menjadi sebuah keputusan yang bodoh. Ia bisa saja mati kelaparan karena terus berdiam di dalam rumah.
"ALEQUA!"
Tedengar lantang suara sosok laki-laki. Puluhan meter dari tempat Alequa berjalan.Alequa berhenti melangkah. Menunduk. Buru-buru menghapus air matanya. Laki-laki yang memanggil barusan bergegas menghampiri Alequa. Berlari kecil.
"Kau mau kemana?" Laki-laki itu bertanya.
"Hm, tidak ingin kemana-kemana. Hanya ingin mencari udara segar saja." Alequa berusaha tersenyum. Suaranya sedikit bergetar. Laki-laki itu kemudian mengangguk.
"Kau kenapa ada di sini?" Tanya Alequa.
"Eeee, tadi aku memang ingin menemuimu. Jadi datang ke sini." Pria itu menjawab. Menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Terlihat sedikit menjengkelkan.
Keduanya lalu terdiam. Suasana hening seketika. Tak ada perbincangan. Alequa hanya menunduk. Sementara Pria itu menatap lamat-lamat wajah Alequa.
Nama Pria yang menemui Alequa itu adalah "Rafael". Ia adalah sahabat kecil Alequa. Seorang Pria berdarah Belanda. Mereka sudah berteman dari tahun pertama Alequa tinggal di Batavia. Sudah hampir 10 tahun. Dan Rafael sangat dekat dengan Alequa. Hampir seluruh cerita hidup masing-masing dari mereka telah ditukarkan. Rafael sudah seperti sosok abang bagi Alequa.
Rafael tiba-tiba saja menyentuh pipi Alequa, "Kau habis menangis?" Pria itu merasa sedikit curiga. Pipi Alequa terlihat basah.
Alequa menyingkirkan perlahan tangan Pria itu. "Kau seharusnya tak perlu bertanya Rafael."
Rafael menyingkir. Melangkah mundur beberapa meter dari Alequa. "Maaf, aku lupa kau sedang berduka."
Alequa mengangguk. Kemudian melangkah maju, berjalan tak tahu hendak kemana. Ia memutuskan untuk tidak jadi pergi ke pelabuhan. Sebab kedatangan Rafael.
"Kau mau kemana Alequa?" Rafael berteriak. Bertanya.
"Tak tahu." Alequa menjawab singkat. Suaranya pelan. Kakinya terus berjalan.
"Aku ikut!" Sahut Rafael. Kemudian berlari mengejar Alequa.
2 pemuda itu berjalan menulusur jalanan bebatuan. Suasana Batavia pagi itu sepi. Hanya ada beberapa delman yang berlalu lalang, juga petani-petani yang hendak pergi ke sawah. Rumah tempat Alequa tinggal memang sedikit terpelosok. Berada di kawasan pertanian dan perkebunan.
"Rafael, kau tahu tempat yang bisa membuat hati tenang?" Alequa tiba-tiba bertanya. Menatap kepada Rafael.
Rafael mengerutkan kening. Berusaha mencari jawaban. "Pantai! Melihat laut selalu membuat hatiku tenang."
"Pantai?" Alequa merasa heran.
"Iya!" Jawab Rafael.
"Pantai di mana?" Alequa kembali bertanya.
Mata Rafael membelalak, "Astaga Alequa! Kau sudah tinggal di Batavia selama 10 tahun. Kau tak mungkin tidak tahu di mana letak pantai." Rafael menatap terkejut Alequa. Menepuk pelan bahu sahabatnya itu.
"Sejak kapan ada pantai di Batavia?" Alequa bertanya lagi. Menatap bingung Rafael.
"Lalu jika tak ada pantai. Bagaimana mungkin ada pelabuhan di sini. Kau jangan pura-pura bodoh, Alequa!" Rafael merangkul bahu Gadis itu. Tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEQUA
Adventure𝙆𝙚𝙩𝙞𝙠𝙖 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙝𝙖𝙧𝙖𝙥𝙖𝙣, 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙢𝙖𝙩𝙞𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙧𝙖𝙮𝙪 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙢𝙗𝙖𝙞-𝙡𝙖𝙢𝙗𝙖𝙞... Bagaimana rasanya membiarkan jasad insan tercinta perlahan mengurai di atas tana...