Chapter 8

1K 87 0
                                    


Sebulan kemudian Shinichi akhirnya menjalani operasi saraf mata. Operasinya berjalan dengan lancar. Namun hasilnya baru bisa diketahui beberapa hari kemudian bila perbannya sudah boleh dilepas. Sementara menunggu hal itu, Shinichi menjalani rawat inap di rumah sakit agar bisa terus diobservasi.

"Ran," panggil Shinichi suatu pagi ketika Shiho membawa kursi rodanya untuk jalan-jalan ke taman agar Shinichi bisa berjemur.

"Nani?" tanya Shiho dengan suara Ran. Ia duduk di kursi taman, persis sebelah kursi roda Shinichi.

"Bagaimana jika nanti setelah perbanku dilepas dan aku masih tidak bisa melihat?"

"Kau ini bicara apa?" gerutu Shiho.

"Aku hanya bersiap untuk kemungkinan terburuk,"

"Maka jangan menyerah, sekarang teknologi sudah canggih. Kau bisa menjalani pengobatan di Inggris, Jerman ataupun Belanda,"

"Kalau semuanya masih gagal juga bagaimana? Apa kau masih ingin bersamaku?"

"Eh?"

"Atau kau ingin meninggalkanku?"

Shiho meraih tangan Shinichi dan menggenggamnya hangat, "aku akan selalu bersamamu apapun kondisimu," bahkan jika aku harus menggunakan suara Ran-San selamanya...

Shinichi tersenyum, "aneh,"

"Aneh kenapa?"

"Aku merasa kau berubah sejak kecelakaan itu"

"Berubah bagaimana?"

"Biasanya kau muak jika aku membicarakan kasus, tapi belakangan ini kau tidak merasa begitu bahkan ikut berpikir,"

"Tentu saja aku ikut berpikir, aku ingin tahu pihak mana yang berusaha membuat kita celaka dan menyebabkan matamu buta,"

"Kita pasti bisa menangkapnya, aku yakin itu,"

"Eh," sahut Shiho.

"Ran,"

"Uhm?"

"Terima kasih karena kau sudah menemaniku,"

"Takuu... Kenapa kau begitu sungkan?"

"Aku menyukaimu yang seperti ini Ran. Aku bagai memiliki Irene Adler dan Watson sekaligus. Karena itu, jangan pernah tinggalkan aku," Shinichi balas menggenggam tangan Shiho.

"E-eh," Shiho mengiakan dengan canggung dan malu.

"Boleh aku minta satu hal lagi?"

"Kau ingin apa?"

"Tiga hari lagi perbanku dibuka, pada saat itu kaulah orang pertama yang harus kulihat,"

"Eh?" Shiho kebingungan.

"Aku mohon Ran. Berjanjilah kau akan menjadi orang pertama yang kulihat,"

"Eh, aku berjanji," ucap Shiho terpaksa.

Shinichi mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Shiho, "aku benar-benar tak sabar ingin melihat wajahmu,"

"Wajahku begini-begini saja, tidak berubah,"

"Sudah setahun aku buta, pasti bahagia rasanya bila bisa melihat senyummu lagi,"

Shiho menunduk muram, "bagaimana jika nantinya aku tidak sesuai dengan bayanganmu?"

Shinichi tersenyum, "aku yakin akan sangat sesuai," lalu ia meraih belakang kepala Shiho untuk menghilangkan jarak di antara mereka.

Shiho memejamkan matanya ketika Shinichi mengulum bibirnya dengan lembut. Ini adalah ciuman pertama bagi mereka dan langsung begitu intim. Shiho menanggapi setiap sapuan lidah Shinichi yang menjelajahi rongga mulutnya semakin dan semakin dalam. Ia dapat merasakan napas Shinichi yang memburu di wajahnya. Shiho menikmati dan merekam hal tersebut dalam-dalam di ingatannya, bila ini adalah untuk pertama dan terakhir kali baginya.

***

"Ini adalah data yang sudah kupecahkan kodenya dari laporan keuangan Fujiwara Group," kata Shiho seraya menyerahkan sebuah USB kepada sepupunya Masumi.

"Kau yakin tetap mau pergi Shiho?" tanya Masumi.

"Eh," Shiho mengangguk sedih.

"Tapi hari ini perban Shinichi akan dibuka, dia pasti mencarimu,"

"Yang dia cari adalah Ran-San, bukan aku,"

"Dia pasti akan segera mengetahui bahwa Ran yang selama ini bersamanya adalah kau,"

"Karena itulah Masumi, aku harus pergi. Aku tak punya muka lagi untuk berhadapan dengannya setelah semua ini,"

Masumi mendesah, "ya juga, kalau jadi kau, aku pasti akan canggung untuk kembali menjadi partnernya yang seperti biasa,"

"Sampaikan maafku padanya," kata Shiho seraya meraih kopernya.

"Semoga penerbanganmu lancar, sampaikan salamku untuk Mama,"

"Eh," sahut Shiho seraya berjalan ke arah taksi yang sudah menunggunya dan akan membawanya ke bandara Haneda.

***

Yusaku dan Yukiko menanti dengan berdebar-debar ketika melihat dokter sedang membuka perban mata Shinichi. Lalu setelah kapas terakhir dibuka, dokter meminta Shinichi membuka matanya pelan-pelan. Seluruh gorden sudah ditutup agar mata Shinichi tidak kaget oleh cahaya.

"Perlahan saja Shinichi-Kun," pinta dokter.

Shinichi melakukan sesuai instruksi dokter, lambat-lambat ia membuka matanya. Awalnya pandangannya blur dan tidak fokus. Shinichi mengedip-ngedip lagi berusaha untuk mendapatkan titik fokusnya. Kemudian ia melihat jari-jari tangannya sendiri, resolusinya semakin lama semakin jelas, tidak lagi buram.

"Kau bisa lihat?" tanya dokter.

Shinichi memandang lurus kepada dokter, "aku bisa,"

Yusaku dan Yukiko mendesah lega.

"Yukata," gumam Yukiko.

"Otosan, Okasan," Shinichi memanggil orang tuanya.

Yusaku dan Yukiko memandang putranya dengan senyum penuh keharuan.

"Ran mana?" tanya Shinichi seraya mencari-cari.

Yusaku dan Yukiko saling pandang dengan gugup.

"Otosan, Okasan. Ran mana?" tanya Shinichi lagi.

"Anoo... Shin-Chan... Ran tidak ada..." ujar Yukiko terbata, bingung bagaimana harus menjelaskan.

Shinichi memejamkan matanya seraya berkata pada dokter, "Sensei, tolong perban mataku lagi,"

"Nani?" dokter bingung.

Yusaku dan Yukiko juga tertegun.

"Ran sudah berjanji untuk menjadi orang pertama yang akan kulihat setelah perban dibuka. Jika dia tidak ada, maka aku takkan mau membuka perbanku," ujar Shinichi dingin.

"Tapi Shin-Chan..."

"Sensei, tolong diperban lagi," pinta Shinichi dengan nada lebih tegas.

***

Shiho baru saja sampai bandara Haneda ketika ponselnya berbunyi. Ia mengenali nomor Yukiko di tampilan layarnya.

"Ada apa Yukiko-San?" Shiho menjawab panggilannya.

"Shiho-Chan, tolong Shin-Chan..."

"Eh? Dia kenapa?"

"Tolong kau lihat dia dulu," isak Yukiko

"Baik, aku akan segera ke sana," sahut Shiho dan kembali memanggil taksi untuk menuju Beika.

Three Lights of Kudo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang