Percakapan Singkat Yang Cukup Menyayat.

55 8 1
                                    

"kak gue iri sama lo, kenapa sih lo tuh selalu dikelilingi orang baik? Seolah-olah lo tuh pusat dunia mereka. Gue iri kak, kenapa sih lo masih ngerasa sedih? Ngerasa putus asa? Lo mau dapet perhatian sebanyak apa lagi? Masih kurang? Yg sedih bukan lo doang kali."

Aku cukup terkesiap ketika rangkaian kata itu lolos memekakan rungu. Terputar di otak berkali-kali sebagaimana layaknya kaset rusak.
Membangun sependar rasa bersalah yang juga kecewa di waktu yg sama.

Bisu, lidahku kelu, hanya sepasang netra yang masih menatap lamat perempuan disampingku.
Semakin dalam menjelajahi mata indah itu, semakin aku mengerti bahwa dia sangat ingin menjadi aku.

Dia marah, dia sedih, dia rapuh, dia iri, dia kecewa, dan pada akhirnya dia mengaku runtuh kala dekapku berlabuh pada raga yang jiwanya tak lagi utuh.

"Keluarkan saja semuanya, menangislah sepuasnya, benci aku juga gamasalah, tapi ingat, aku ada kalau kamu mau ngeluh, aku ada kalau kamu butuh sembuh."

Ucapku kala itu, dengan berusaha untuk tetap teduh. Padahal jauh didalam ragaku, aku pun juga rapuh, aku pun juga runtuh, luka ku juga belum sembuh, pedih ku juga belum luruh.

Aku membunuh diriku dengan cara pura-pura utuh.

-Nayanika.

Jurnal Catatan Luka.  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang