"Apa ketakutan terbesarmu Nai?" Dia bertanya padaku malam itu. Ditemani dersik yang menggelitik, aku bergedik. Terdiam cukup lama karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih punya rasa takut? Setelah banyaknya rasa pahit akibat takdir yang terasa getir.
Sadar karena tak kunjung dapat jawaban, dia kembali membuka suara. Memecah keheningan, mencairkan suasana yang dirayapi canggung tak berkesudahan. "Kalau aku, aku terlalu takut kehilangan." Aku masih terdiam, netraku bertemu dengan miliknya tanpa sadar, seolah kita saling berbicara lewat tatap yang menghantarkan perasaan hangat.
"Kehilangan itu bukan hal yang perlu ditakutkan, kehilangan sudah jadi proses kehidupan. Aku tau, tidak ada kehilangan yang menyenangkan, tidak ada yang baik-baik saja setelah kehilangan," ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah ombak yang bergemuruh ciptakan riuh.
"Laksana dermaga di tepian samudra. Mahika akan selalu menjadi tempat persinggahan sementara umat manusia. Sebelum pada akhirnya kita kembali menjelajah nabastala untuk temui Sang Pencipta." Aku menghela napas, suaraku memberat, bahkan dadaku mulai terasa sesak. Dia kemudian meraih tanganku, mengusapnya pelan lalu ia lemparkan senyuman paling teduh yang belum pernah aku saksikan. "Kalau begitu, ajarkan aku untuk terbiasa oleh rencana sang Pencipta yang begitu tiba-tiba," timpalnya.
Aku mengerjapkan mataku sebentar, sebelum akhirnya merengkuhnya kedalam pelukan sambil berbisik "Pada akhirnya, pelajaran hidup terbaik yang tersisa, hanya rela."
-Nayanika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Catatan Luka.
PoetryBerisi celotehan seorang Puan yang mendeklarasikan emosinya lewat sebuah tatanan Aksara untuk memperindah Luka.