Naganya sangat besar. Setinggi yang pernah Harry hadapi, bangkit dari tanah seperti gunung yang akan meletus; sayapnya membentang seolah menaungi kastil dan membuatnya gelap. Napasnya menyemburkan api dari mulutnya yang terbuka.
Kita semua akan terbakar, Harry berpikir. Aku harus membunuhnya. Tapi bagaimana cara membunuh seekor naga?
Peeves menari-nari di atas kepala Harry. "Oh, Potty, Potty! Kamu harusnya jangan menggelitik naga itu!" katanya sambil tertawa berderai.
Aku tidak menggelitiknya! Harry ingin berteriak, namun tenggorokannya kering dan tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutnya. Malfoy tiba-tiba berada di sebelahnya. "Pintunya, Potter!" katanya buru-buru. "Kita harus berlari ke pintunya!" Harry memandangi wajah Malfoy yang pucat; sepasang mata abunya kini berubah jadi gelap. Keping salju meleleh di helai rambutnya.
Harry menemukan suaranya. "Aku tidak bisa lari! Aku harus membunuh naganya."
"Itu bukan naga!" suara Malfoy tampak begitu dekat namun juga begitu jauh. "Keluarlah dari sini, Potter!"
Saat Harry berbalik, naganya sudah hilang. Sosoknya berganti menjadi Voldemort.
"Tidak mungkin. Kamu sudah mati." Harry berkata, namun tetap bersiap-siap mengambil tongkat sihirnya. Namun setelah meraba-raba sakunya, dia tidak dapat menemukan tongkatnya dimana-mana. Barulah Harry sadar bahwa tangannya sekarang sedang sangat gemetar.
Voldemort merangsek ke arahnya. Jari-jari panjangnya yang putih mencekik Harry. "Kamu sudah mati!" teriak Harry.
Mata Voldemort terlihat merah menyala. "Katakan padaku, Harry Potter," katanya sambil mengeratkan cekikannya. Harry tidak bisa bernapas. "Katakan padaku apa keinginan terakhirmu."
Aku harus menjawabnya, pikir Harry, pandangannya sudah mengabur. Pertanyaan itu sangat penting. Aku harus menjawabnya. Apa keinginanku?
"Harry!"
Harry terengah dan membuka matanya. Selimutnya membalut tubuhnya dan keringat membasahi dahinya; dadanya berdetak begitu kencang saat dia cepat-cepat mencoba melepaskan diri dari jeratan selimut.
Ron berdiri di sampingnya. Bintik-bintik di wajahnya tampak lebih pucat saat terkena sinar bulan. Pasti sekarang masih tengah malam.
"Kamu tidak apa-apa, mate?"
"Tidak apa-apa." suara Harry serak, dia sampai harus berdehem terlebih dahulu dan menegakkan duduknya sedikit. "Cuma... mimpi."
"Oh, oke. Ya sudah, ayo ganti baju."
Harry baru menyadari Ron sudah tidak memakai baju tidurnya. "Loh, ada apa—?"
"Galleon pembawa pesannya, Harry. Lihatlah punya kita!"
Harry melihat nakas di sampingnya; Galleon pembawa pesannya tampak bersinar. Harry buru-buru mengambilnya, membaca pesan berbunyi: Lantai bawah tanah, asrama Slytherin. Sekarang.
Dada Harry seperti ingin keluar. Ada masalah di Lantai Bawah Tanah. Apa ada Pelahap Maut yang datang? Apa mereka mencoba menangkap Malfoy? Mimpinya benar-benar terlihat seperti pertanda buruk. Jadi Harry buru-buru berganti baju dan memakai sandalnya. Mungkin Harry harus pakai sepatu, karena dia ragu bisa melawan Pelahap Maut menggunakan sandal. Tapi dia tidak punya waktu lagi.
"Apa perlu membangunkan yang lain?" Ron melirik ranjang Neville, yang kini sedang tertidur pulas.
"Tidak perlu, kita harus cepat." karena semakin sedikit yang ada di sana, maka semakin sedikit juga yang akan terluka.
Mereka keluar dan segera menuruni tangga. Hampir saja bertabrakan dengan Hermione.
Dia juga sudah berganti dari baju tidurnya, dengan rambut yang diikat asal-asalan. Tangannya sudah siap memegang tongkat sihir. "Aku baru saja mau membangunkan kalian," bisiknya. "Ada pesan mengkhawatirkan di Galleon-ku."
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ At Your Service (INA Trans)
FanfictionSetelah Perang Dunia Sihir Usai, Harry kembali ke Hogwarts di tahun ke delapannya. Namun kejadian demi kejadian aneh silih berganti terjadi. Hogwarts berada dalam bahaya sekali lagi; bahaya yang begitu misterius. Harry bermaksud untuk menyelamatkan...