Sedari pagi ayah mengurai keringat untuk menyelsaikan bangunan perumahan di kawasan elit kota Medan. Terik matahari tak menyurutkannya untuk membawa harapan hidup pada anak dan istri.
"Lae, cepat sikit kau. Jangan macam siput kau lelet kali!" Teriak mandor pada ayah.
Setiap hari, ayah diijinkan untuk membawa aku ke tempat kerjanya karena kami adalah keluarga dengan tujuh anak dan aku adalah anak terakhir. Matahari tak segan menyinari tukang yang terus mengejar target untuk menyelesaikan perumahan itu yang harus selesai Desember ini.
"Ayah, ayo pulang. Teman-teman ayah udah pada pulang. Nanti kita kemalaman sampai rumah." Seru aku pada ayah.
Ayah bergegas merapikan peralatan tempurnya ke dalam tas merah kusam. Ayah menghidupkan kereta astrea butut peninggalan kakek yang tak lagi tampak bodynya secara utuh. Perjalanan dari proyek ke rumah aku sekitar 15 km. Adzan magrib berkumandang, kami tiba di depan rumah. Dari depan rumah kami mendengar teriakan ibu. Aku berpikir pasti Andira sedang dimarahi ibu. Kakak tertua kami memang selalu berkonflik dengan ibu. Perihal kenakalan pergaulan menjadi penyebabnya.
"Dasar kau lonte, selama ini kau kasih makan keluarga ini dengan dengan uang haram!" Teriak ibu pada kakak tertua kami.
Tak lama kemudian Andira pergi membawa tas meninggalkan ayah, ibu, dan kami adik-adiknya.
***
"Tut ... Tut ... Tut ... Tut ... Tut" suara kereta api selalu membangunkanku dikala mentari tak menampakkan sinarnya pagi ini.
"Ayah ... Ayah" teriakku dari dalam kamar. Rumah kami hanya ada 2 kamar dan 1 ruang tengah yang bersatu dengan dapur. Lantai hanya beralaskan kardus-kardus dan dinding rumah berlapis koran bekas.
"Mak, mana ayah?" Tanyaku pada mamak.
"Ayah kau udah pigi dari subuh tadi, katanya, ayah disuruh datang pagi buta sama mandor. Entah kenapa tiba-tiba ayah kau disuruh datang pagi." Jawab ibu
untuk melegakan hatiku. Aku keluar kamar, tak kulihat satupun penghuni rumah. Selepas Andira pergi malam tadi, tampak kesunyian di rumah ini. Malam ini, aku dengar kabar kalau Fika, Kakak kedua ku akan pergi merantau ke Siantar. Dia diterima kerja di salah satu supermarket di kota tersebut. Sebenarnya dia melamar kerja di Medan tapi ia ditempatkan di Siantar.
Dana tengah diburu polisi karna dia terlibat kasus pembegalan di jl. Gatot Subroto tempo hari. Gegara dia, ayah dan mamak harus menanggung malu keluarga akibat ulah kakak tertua dan Abangku. Syukur saja Fika tak bengkok seperti mereka. Hari ini aku suntuk, ayah tak mengajakku ke proyeknya. Ibu sudah berangkat menyapu jalan di sepanjang jalan Ayahanda. Sedangkan Andre, Kia, dan Alika sedang menuntut ilmu agar tak seperti dana dan Andira. Aku hanya berjalan di tepian rel untuk menghilangkan kesuntukanku. Rumah-rumah pinggir rel sedang dalam ancaman PT. KAI. Kami berada diujung tanduk. Siap siap digusur tanpa diberi ganti rugi. Aku mendengar cerita ibu-ibu di depan rumahnya kalau aku dan deretan rumah di pinggir rel akan digusur.
"Tut .. Tut ... Tut ... Tut. Hei Kinara, ada kereta api dibelakang kau. Lari kau hei Kinara" teriak ibu-ibu. "Kinaraaaaa!!!"
Seketika aku terjatuh di pinggir rel. Bang Ombing telah menyelamatkanku dari hantaman kereta api. Kalau saja tak ada bang Ombing aku sudah menyusul kakek dan nenek.
"Terima kasih bang, untung aja ada bang Ombing" ucapku pada bang Ombing.
"Lain kali kau jangan melamun di rel. Macem udah sakti kali kau melamun di rel.
" Bang Ombingpun memarahiku dengan kesalnya.
Setiba aku di rumah, dua orang petugas dari Polsek Medan Baru datang menghampiri.
"Benar ini rumah saudara dana." Tanya polisi padaku.
"Benar pak, kenapa pak?" Tanyaku penuh penasaran. Salah satu dari polisi memberikan ku amplop.
"Kasih ini sama orang tua mu ya dek." Tak lama kemudia polisi meninggalkan bayangan dari rumahku. Aku tak tau dan tak mau tau apa isi surat itu.
Pukul 16.00 wib kak Fika tiba di rumah. Ia menyiapkan barang-barang untuk ke Siantar malam nanti. Tanpa sengaja kak Fika melihat amplop di meja.
"Apa ini dek?" Tanya kak Fika padaku.
"Gak tau aku kak, tadi ada dua orang polisi ngasih surat itu sama ku." Jawab ku.
Dengan penuh penasaran, kak Fika membuka amplop itu. Raut wajah kak Fika berubah ketika membaca surat itu dan dia langsung menyimpan surat itu. Dek, bilang sama mamak, kakak pergi sore ini ya. Kakak barengan dengan kawan. Sambil mengangkat tas, ia pergi meninggalkan ku yang sedari tadi sendiri di rumah. Ketua saudara ku sudah terbiasa tak pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Rumah ini semakin sepi setelah kakak dan Abang ku tak lagi di rumah. Kak Andira pergi entah ke mana. Bang Dana bermalam di hotel prodeo untuk 5 tahun akan datang. Sedangkan kak Fika merantau ke Siantar. Tingallah Andre, Kia, Alika, dan aku. Bang Andre adalah anak kebanggan mamak. Ia selalu menjadi juara kelas hingga kelas 2 SMA. Berbeda jauh dengan Andre, Alika yang masih kelas sembilan sudah banyak berbuat ulah. Mulai dari tauran, cabut sekolah, sampai melawan guru. Dialah titisan kebandalan dari kak Andira dan bang Dana. Kak Kia, masih kelas 5 SD. Belum terilihat apakah ikut jejak bang Andre atau kak Andira dan bang Dana.
Ayah dan mamak pulang menjenguk bang Dana di Rutan Tanjung Gusta disambut dengan padamnya listrik kota Medan. Ah, namanya saja metropolitan tapi listrik pun mati hidup. Macam mana kota ku ini. Mamak terlihat lusuh, kelihatan beban mamak pada anak pertama, ketiga, dan keempat yang menyusahkan keluarga.
***
Hari hari berganti dengan situasi yang tak jauh berbeda. Rumah-rumah pinggir rel masih dengan tentram mendengar musik dari kereta api yang lewat 3 kali sehari. Ayahanda adalah salah satu jalan yang terdapat jalur kereta api. Anehnya, jalan Ayahanda ini terbagi lagi dengan jalan-jalan yang dinamai orang dengan peralatan tulis dan dapur. Kayak jalan mistar, panci, jangka, kertas, sampai dekat rel namanya jalan tinta dan kuali. Penghuni rumah sudah pergi dengan kesibukannya masing-masing. Tinggallah aku sendiri yang melihat kesibukan ibu-ibu bergubah setiap harinya. Ujung jalan terlihat petugas dengan berpakaian rapi. Kayaknya orang dari PT. KAI.
"Apakah sudah waktunya kami pindah?" Gumamku dalam hati.
"Mak ... Mak, ini ada surat dari PT. KAI." Aku berlari menyambut kepulangan mamak. Mamakpun terduduk di depan pintu meratap seluruh anak-anaknya. Tstapan itu mengisyaratkan bahwa akan terjadi sesuatu hal pada keluarga ini. Pastinya tentang nasib anak-anak bernaung dikala matahari menyengatkan kulit atau hujan yang membasahi kami.
Malam kian larut tapi ayah tak jua pulang. Ayah yang sedari pagi tadi sudah berangkat tanpa berpamitan pada ku, tanpa senyum yang biasa menyemangati kehidupanku.
"Kring ... Kring ... Kring" bunyi dering hp makku. Tanpa satu kata yang keluar dari mulut Mak. Tanpa aba-aba, kak Alika langsung mengajak kak Kia dan aku ke kamar seolah-olah sudah paham maksud dari tatapan bang Andre. Dari balik kamar aku terdengar isak tangis mamak dan bang Andre. Malam ini, langit mulai tak bersahabat pada rumah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi-Mimpi Cemara
FantasyPohon Cemara di seberang sungai terlihat menawan ketika rinai hujan membasahi, ketika desiran sungai Deli melintas di telinga, ketika bayu menyelimuti tubuh kecil Kinara. Keluarga harmonis yang perlahan runtuh diterpa diskontinuitas hidup. Ada yang...