Emak, Kak Alika, dan Hanyutnya Harapan

7 1 0
                                    

"woy, air sungai naik. Bangun-bangun." Teriak salah satu warga. Aku mendengar teriakan itu, sontak memanggil emak. Rupanya emak sudah duluan bangun mencari kak Alika yang sedari tadi tak terlihat di rumah. Malam belum terlalu larut tapi hujan yang tak hentinya menghujam sedari sore. Air sungai memang sering naik setiap hujan datang, tapi tak pernah sepatah ini selama kami pindah ke rumah ini. Kak Alika, beban yang dianggap enak namun panutan ku di rumah sepeninggal bang Andre. Entah apa yang ada di otak anak itu, bandal tak menentu. Lagi kumat baiknya, dia jadi sangat baik. Kumat bandalnya, bisa bandal luar biasa. "Hey Kinara, cepat sikit kau, gak kau tengok itu air udah naik. Mau kau hanyut?" Teriak bang Tongat. Dia bersama warga terus berlari menyelamatkan diri. Aku dan kak Kia masih menunggu emak. "Heh, ayok lari. Ngapain klen di situ." Teriak kak Alika. Seketika aku dan kak Kia berlari mengikuti kak Alika. Rupanya dia sudah mencari tempat aman untuk berlindung dari banjir. Aku salah sangka, ternyata dia memikirkan keluarga. Sebandel-bandelnya seorang anak, pasti tidak akan pernah melupakan keluarga.

Emak, kak Alika, kak Kia, aku bersama warga lainnya sudah merasa aman dari banjir yang akan menenggelamkan kami. Bantaran sungai Deli terkenal dengan banjir. Bagi warga sekitar, banjir bukan penghalang untuk tetap bertahan melanjutkan hidup. Kami sebenarnya masih di sekitar bantaran sungai Deli, tapi tempat pengungsian lebih tinggi dari tempat tinggal kami. Keindahan lampu temaram kota Medan tak mengisyaratkan keindahan pada kehidupan. Kami adalah sebagian kecil dari kehidupan kota ini. Semakin larut, hujan perlahan menghentikan serangannya. Sebagian warga perlahan kembali ke rumah masing-masing. Penuh rasa was-was takut hujan kembali datang. Emak, kami, dan sebagian warga masih bertahan. Mungkin sampa fajar menyingsing. Bukan tak mau kembali, tapi kemanan yang terpenting. Aku ingat setiap ayah kerja, keamanan yang selalu dia utamakan. Walau kereta butut, tapi dia tetap pakai helm, masker, sepatu, dan sarung tangan. Bahkan ketika bekerja di proyek, dia begitu memperhatikan keamanan. Mungkin Tuhan menguji keamanan ayah. Maka dia kembali pada Tuhan.

***

Pasca naiknya air sungai Deli, kami menata sekitar rumah sedemikian rupa agar terhindar dari genangan air sungai. Tahun depan aku mulai masuk TK. aku gak tau apakah aku bisa sekolah. Ibu yang kerja serabutan gak akan cukup untuk menyekolahkan kak Alika, kak Kia, dan aku walaupun tahun depan kak Alika tamat sekolah.

Pendidikan seperti kupu-kupu, mengawali proses yang capai tapi menghasilkan hal yang indah pada massanya. Itulah yang sedang dijalani bang Andre. Sebentar lagi ia akan terbang dengan permainya. Mentari semakin terik, kota ku semakin sibuk. Sebentar lagi emak akan pergi mencuci dan menggosok di rumah koh Aci. Orang Tionghoa dekat bantaran sungai Deli. Ruko tiga tingkat dengan usaha panglong paling maju daerah sini.

"Kak Kia, kakak punya mimpi?" Tanya ku pada kak Kia. "Kenapa?" Tanya balik kak Kia. "Aku nanya, kok nanya balik?" Aku menggerutu. "Mimpi ku hanya ingin bangun setiap paginya. Aku tidak ingin tidur terlalu lama sebab, kebanyakan tidur bisa menghancurkan mimpi-mimpi  mu." Jawab kak Kia. Anak kelas 5 SD bisa menjawab dengan bahasa kayak gitu. Pasti dia nyontek dari buku atau koran-koran bekas di toko koh Aci. Kak Kia langsung nyelonong ke dapur.

Mimpi kak Kia, dia ingin bangun dan jangan kebanyakan tidur. Aku? Kebanyakan tidur jadi kebanyakan mimpi. Iya mimpi jatuh dari jurang atau dikejar setan. Sial, mimpiku gak berguna. Dari belakang rumah, aku lihat pohon cemara yang begitu tinggi. Tapi kenapa dia hanya sendiri, ke mana cemara-cemara lainnya? Pohon cemara bentuknya mengerucut, lebat dari bawah sampai mengecil ke atas (🌲). Kata orang-orang Cemara identik dengan pohon pada perayaan natal. Hah, ngapain pulak la aku pikir sampai ke sana. Kebanyakan mimpi aku.

Seperti biasa, kak Alika gak akan pulang kalau matahari belum terbenam. Emak yang sedari siang sudah serabutan, kini pulang dengan peluh. "Dari mana Alika?" Tanya emak pada kak Alika. "Main" jawab singkat kak Alika. "Main, main aja kerja kau. Gak kau tengok aku banting tulang biar keluarga ini bisa makan setiap harinya" kak Alika hanya diam tanpa ada jawaban yang terlontarkan dari mulutnya. Dari keenam anak emak, cuma kak Andira yang berani melawan emak. Kak Andira terlanjur dimanja ayah, makanya ia seperti itu jadinya.

Air sungai Deli terlihat tenang makam ini. Gemintang bersahutan dalam sinarnya. Emak sudah terlelap bersama kak Kia. Eh, kak Alika ke mana? Aku gak lihat dia setelah dimarahi emak. Ah, biarkan aja dia. Generasi penerus kak Andira dan bang Andre. Aku rasa dia akan jadi masalah selanjutnya di rumah ini. Ku pikir sudah tenang masalah anak di rumah ini. Ternyata tidak.

***

Sebelum emak terbangun, kak Alika sudah pergi. Aku yang bangun lebih awal dari orang yang katanya jangan kebanyakan tidur tapi dia yang lama bangun. Sebelum kak Alika pergi, dia bilang sama ku "dek, memang kita keluarga miskin. Bukan berarti kita gak boleh bermimpi. Bangun dan kejarlah mimpi kita. Kakak memang dicap bandel oleh emak, tapi kakak juga punya mimpi. Besok kakak akan ke biniai, ikut POPDA cabor taekwondo. Kau baik-baik di sini. Jangan repotkan emak." Mendengar nasehat kak Alika, asa ku semakin menggebu untuk bermimpi dan mewujudkannya. Ternyata punya mimpi gak harus dikatakan pada orang lain, yang penting adalah mewujudkanya.

Emak dan kak Kia udah berangkat dengan tujuan masing-masing, dengan mimpi masing-masing. Aku si anak bungsu hanya menjadi penjaga rumah seperti balcky peliharaan koh Aci. Termenung di deoan rumah, melihat-lihat orang lain lewat. Tapi aku gak menggonggong. Balcky tak pernah menggonggong pada ku. Mungkin dia pikir aku ini temannya. Sial bener.

Senja dihujam rerintik yang tak hentinya sejak ashar tiba, tapi tak menyebabkan air sungai Deli naik. "Kau mau ke mana Alika? Ibu gak ijinkan kau pergi besok. Terserah mau alasan apapun. Apalagi kejuaraan gak penting kayak gitu" ucap emak pada kak Alika. "Jangan larang aku Mak, aku juga punya mimpi. Sama seperti bang Andre." Jawab kak Alika. "Itu bukan mimpi, mimpi itu kau harus bisa kuliah gratis kayak Abang mu. Bukan berantam gak jelas". Jawab emak penuh emosi. "Aku gak mau tau Mak, masing-masing anak punya mimpi, dan mimpi setiap ajak itu gak sama. Jangan samakan aku dengan bang Andre. Aku muak selalu disamakan dengan dia." Kak Alika membela mimpi dia. Emak makin emosi mendengar jawaban kak Alika. Emak langsung ambil dobok, sabuk, dan isi dalam tas kak Alika. Termasuk sepatu dan alat latihan yang dia pinjam dari pelatihnya. "Belajar kau yang betol, jangan kebanyakan mimpi yang gak jelas." Ujar emak sambil keluar rumah. Melihat kelakuan emak pada kak Alika, aku tak bisa apa-apa selain menguatkannya dengan kata sabar. Kak Alika meninggalkan aku dan kak Kia. Pergi diatara rerintikan hujan. Hilang tak berarah. Tinggallah kak Kia, kakak yang belum bisa aku anggap sebagai panutan.

Esoknya, aku dengar kabar kalau kak Alika tetap berangkat ke Binjai. Emak gak tau tentang itu, aku juga dengar dari kawan sekolah kak Alika yang tinggal dekat rumah. Kak Alika, walaupun emak udah menghanyutkan mimpi mu, bukan berarti kau tenggelam bersama mimpi mu. Tapi, mimpi mu terus berenang sampai kau mewujudkannya.

Mimpi-Mimpi Cemara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang