Bang Andre, Jangan pergi!

13 1 0
                                    

Tahun berlalu selepas ayah pergi meninggalkan kami. Sore itu, menjadi hari yang kelam bagi aku, kak Kia, kak Alika, bang Andre dan Mak. Aku tak memiliki firasat apapun terhadap ayah. "Mak, aku dapat beasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung." Ucap bang Andre melepas lamunan kami. "Pergilah nak pergi. Gapai mimpimu di sana. Paling tidak, ada yang menjadi contoh baik untuk adik-adikmu. Pergilah nak." Jawab ibu dengan nada sendu. Aku terbayang akan ditinggalkan oleh sosok lelaki pelindung dalam keluarga. Bang Andre akan pergi kuliah ke Bandung dalam waktu dekat ini. Ia mendapatkan beasiswa atas buah yang ia tanam selama ini. Buah yang disiram dengan ilmu dan dirawat dengan penuh ketekunan.

"Bang Andre, Bandung itu jauh?" Tanyaku pada bang Andre. "Jauh kali lah dek, kau harus naik pesawat dari bandara Kualanamu sampai ke bandara Husein Sastranegara. Tapi tenanglah dek, tak sampai berhari-hari perjalanan kecuali kau jalan kaki." Jawab bang Andre sambil meledekku. Kampret aku diejek sama bang Andre. Suatu saat nanti aku harus bisa seperti bang Andre, kuliah gratis. Tapi, apa aku bisa sepintar dia? Entahlah! Bahkan aku belum punya mimpi.

Mendengar bang Andre akan meninggalkan kami dalam beberapa tahun ini, Kak Alika sepertinya bertolak belakang dengan bang Andre. Kak Alika malah mirip dengan kak Andira, cuma belum parah. Nakal tapi belum bocor, kalau kak Andira udah bocor keliling. Kak Alika pernah ketahuan merokok sepulang sekolah tapi bukan Mak yang melihat. Melainkan aku, bocah kecil yang tak bisa bertindak dan gampang disogok dengan uang. Astaga, bodohnya aku! Sekolah aja belum udah belajar korupsi. Paok paok!

***

Sepeninggal ayah, cuma kak Kia lah yang berubah sikap. Dari periang menjadi pemurung. Apalagi tahun ini ia masuk SMP. Katanya sih ingin masuk pesantren tapi apalah daya, hepeng mangatur negaraon. Tak ada uang Makku, makanya dia masuk SMP. Syukur masih bisa sekolah daripada aku yang mau sekolah tapi belum cukup umur. Aku jarang bercakap sama kak Kia, entah bawaan dia atau aura dia yang tak cocok sama ku. Kak Kia pernah berpesan sama ku ketika ayah terbujur kaku di depan kami. "Dek, dari ketujuh anak ayah, harus ada yang bisa membanggakan ayah walaupun ayah tak melihat kebahagiaan itu." Ujar kak Kia penuh bijaksana.

Aku pikir-pikir, nasehat kak Kia sudah terbukti pada bang Andre. Apakah dia yang di maksud? Atau dia menyindir aku yang tabiatnya kayak anak bodoh-bodoh? Ah, ngapain pulak aku pikir. Sekolah aja belum udah berat kali otak aku memikirkannya. Bukan makin pintar aku nanti tapi makin setres aku. Masa anak-anak harus aku nikmati.

Mak ku beralih profesi dari tukang sapu jalanan menjadi multiprofesi. Mulai dari tukang koran sampai siang, tukang cuci sampai sore, sampai tukang parkir sampai larut malam. Pukul 12 malam Mak ku baru sampai rumah. Itupun tak ada yang sadar satupun kalau Mak udah pulang. Kecuali bang Andre. Dialah sosok pengganti ayah dengan segudang harapan.

"Mau kemana kau dek, pagi-pagi udah keluar aja kau?" Tanya bang Andre. Gak kemana-mana bang, cuma main aja cari kawan. Suntuk kali ku rasa di rumah baru ini." Jawab ku selengean. Aku berniat untuk membantu ibu memenuhi kebutuhan. Membantu biaya sekolah kak Kia dan kak Alika. Aku mengutip sampah-sampah plastik, kardus-kardus, kertas-kertas atau barang lainnya yang bisa menjadi duit. Ini adalah hari pertama ku. Kalau ketahuan bang Andre, bisa habis aku dihantam sama dia. Kadang aku harus main kucing-kucingan bahkan menjadi parnok dengan orang-orang.

Mentari telah tertutup awan. Suara guntur sayup-sayup mulai terdengar. "Sial kali ah, baru jam 2 udah hujan pulak. Cemanalah aku dapat uang ini." Kesalku dalam hati. Mau tak mau aku harus pulang dan memberikan hasil pencarianku ke tukang botot. "Udah capek-capek cuma dapat ce ban pula." Kesalku sambil berjalan menujur rumah. Kalau dulu rumahku di pinggir rel, sekarang di pinggir sungai. "Dari mana kau dek, pulang kau! Udah gerimis ini." Seru bang Andre ketika aku berjalan menuju rumah. "untung aja goniku gak ku bawa. Kalau ku bawa udah mampus aku." Aku menggerutu sambil berjalan kecil.

***

Bang Andre sedang mengepak-ngepak barang. Ku lihat, harapan itu sudah penuh dipundaknya. Aku, adalah salah satu adik yang menaruh harapan dengannya. Terlalu berat ku rasa beban yang dihadapinya. Tapi, tak terlihat beban itu. Ia selalu tersenyum pada kami. Ibu dan adik-adiknya. "Bang Andre, bang Andre. Kia ... Kia ... Kia dibawa ke puskesmas. Tadi dia pingsan di jalan." Teriak tetangga. "Aku ikut." Ucap ku pada bang Andre. "Kau diam aja di rumah. Tunggu ibu pulang." Tegas bang Andre. Aku terpaku mendengar kata-kata bang Andre, tak berani membantah apalagi melawan karena aku menaruh harap padanya. Bang Andre bergegas ke puskesmas Kampung Baru yang tak jauh dari rumahku.

Sambil menunggu kabar, kulihat genangan air sungai Deli mengisyaratkan akan datang kesedihan pada keluarga ini. Entah apa yang akan terjadi. Aku ingat, ayah pernah berpesan ketika istirahat makan siang, "dek, kalau orang tuamu ini susah, jangan sampai kamu ikut susah. Kalau orang tuamu tidak berpendidikan tinggi, usahakan kamu tidak seperti kami." Tapi, sampai sekarang aku belum punya mimpi. Aku tak mau seperti air sungai Deli ini. Mengalir mengikuti arah, kemanapun ia bermuara. Aku harus menentukan arah hidup. Aku harus membahagiakan Mamak ku.

"Assalamualaikum" ucap salam Mak. "Waalaikumsalam, Mak kak Kia di puskesmas." Celutukku tanpa sengaja. Mendengar perkataan ku, Mak langsung terduduk lemas. Aku merasa bersalah, mengapa lah aku celetukkan pada Mak ku. Bodohnya aku.

Kota Medan panas, sepanas suasana rumah ku. Panas akibat mulut ku yang terlalu lancip. Terdengar ketukan pintu rumah, bang Andre pulang dengan menggendong kak Alika. "Gimana Alika, Andre?" Tanya emak pada bang Andre. "Gak apa-apa Mak, cuma kecapaian aja. Lasak kali Alika di luar." Jelas bang Andre. Untung aja bang Andre membawa berita baik, kalau gak bisa mampus aku dibuat enak.

***

20 Juli 2017, malam ini bang Andre akan berangkat menuju kota kembang. Kota yang menjadi salah satu tujuan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Setengah dari tabungan ibu diberikan pada bang Andre, ongkos, uang saku, dan pegangan ia beberapa hari di Bandung. Tinggallah emak, kak Alika, kak Kia, dan aku. Selama kelas 12 ini, kak Alika makin menjadi-jadi. Bukan seperti kak Andira, dia lebih kepada kenakalan remaja anak sekarang. Merokok, cabut sekolah, tauran, bahkan ia pernah di tahan oleh polisi satu Minggu karena tauran dengan sekolah lain. Beban ibu terus mengalir, aku anak kecil yang tak bisa berbuat apa-apa selain menatap ibu.

Pukul 19.30 jadwal keberangkatan pesawat dari Kuala Namu internasional Airport menuju Bandar Udara
Internasional Husein Sastranegara. Besok adalah perjuangan emak, kak Alika, kak Kia, dan aku. Hidup akan terus berjalan, sukses adalah pilihan hidup. Bang Andre secara bertahap menuju kesuksesannya. 4 tahun lagi ia kembali

"Bang, sebelum Abang pergi aku boleh minta sesuatu gak" pinta Kinara. "Mau minta apa dek ku?" Jawab bang Andre. Aku minta Abang pulang sebelum aku pergi nanti, bisa bang?" Jelas Kinara. "Emang mau ke mana dek?" Jawab bang Andre. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan bang Andre.

17.30 WIB, perlahan bayangan bang Andre meninggalkan rumah menuju bandara. Aku ingin bermimpi besar sebesar pohon Cemara di seberang sungai Deli. Aku ingin bermimpi setinggi-tingginya tanpa harus takut jatuh. Tapi, aku harus bangun untuk wujudkan semua mimpi. Esok adalah pertempuran hidup kami. Malam ini, sungai Deli terlihat naik, hujan tak kunjung reda. Rembulan tak berani menghampiri ku. Bang Andre, jangan pergi terlalu lama!

Mimpi-Mimpi Cemara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang