Alika, maafkan emak

1 1 0
                                    

Sudah sebulan lebih kak Alika meninggalkan emak, kak Kia, dan aku. Memang, sehari-hari emak seperti tak pernah kehilangan anaknya. Semalam sore, emak terlihat menung di depan pintu. Entah karena kehilangan koh Aci sang majikan atau entah karena kak Alika yang tak kunjung pulang. Terkadang aku sedih melihat emak, ia menjadi ibu sekaligus menjadi ayah di dalam keluarga. Aku dan kak Kia tak bisa berbuat apa-apa. Dulu, aku sempat menjajakan koran di lampu-lampu mereka. Sempat juga mendapat belas kasihan dari koh Aci.

Emak bukan lagi banting tulang tapi seluruh tubuhnya sudah ia hempaskan ke tanah. Ia sudah tergilas pada kehidupan. Emak sepertinya berharap kak Alika kembali. Tapi, kak Alika adalah orang yang berpegang pada pendirian, tidak suka ditentang apalagi terkait soal mimpinya. Dia ingin menjadi atlet taekwondo tapi emak menentangnya. Emang bilang, jangan pernah bermimpi jadi atlet di negara ini. Gak akan bisa buat kau kaya. Tapi kak Alika tetap pada pendiriannya makanya sudah satu bulan lebih ia pergi. Entah ke mana.

Pagi ini, emak pergi mencari secerca kehidupan dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan agar kak Kia dan aku tak seperti ketiga anaknya. Emak ingin kak Kia mengikuti jejak bang Andre kuliah ke luar kota dan aku menjadi dokter. Tapi mimpi emak untuk aku terlalu tinggi. Dokter? Pasti terbesit dana yang sangat besar untuk itu. Aku mau menghanyutkan mimpi emak di aliran sungai Deli.

Hujan yang menyelimuti perjuangan emak tak akan melunturkan ego emak pada anak-anaknya. Kalau dia ingin maka harus jadi. Begitulah yang dirasakan kak Andira, bang Dana, dan kak Alika. Mereka adalah korban keegoan emak. Selanjutnya siapa lagi? Apakah aku atau kak Kia? Entahlah, aku masuk TK aja belum.

Selama kepergian koh Aci, aku tak pernah lagi main-main ke rukonya. Seminggu setelah kejadian, keluarganya memutuskan untuk pindah. Kabarnya menetap di Siantar. Tak ada lagi si blacky yang selalu dimiripkan dengan aku. Si penjaga rumah yang baik.

Hujan semakin deras, tak ada tanda-tanda kepulangan kak Kia atau pun emak. Air sungai Deli perlahan naik. Pohon Cemara seberang sungai masih kokoh berdiri seolah-olah mengajak aku untuk meneduhkan hati di sana.

"Assalamualaikum" ucap emak yang memecahkan lamunan ku.

Tanpa basa-basi emak langsung ke kamar dan tak keluar-keluar. Seketika aku mendengar seperti Isak tangis.

"Alika, pulanglah nak. Emak rindu. Maafkan emak Alika. Maafkan emak yang terlalu egois, yang tak memerdulikan mimpi mu Alika."

Mendengar tangisan emang yang sayup-sayup, aku berniat untuk mencari kak Alika dan membawanya pulang tapi tunggu kak Kia pulang dan si hujan tak pagi menderas.

***

"Mak, udah jam 17.00, kak Kia kok belum pulang?" Tanya ku pada emak.

"Eh, betul kau. Kok tumben Kia belum pulang jam segini. Kalau dibilang main-main tak adanya ku tengok kawannya. Coba kau tengok-tengok keluar Kinara." Seru emak

"Ah, macem betol aja emak. Hujan-hujan emak suruh aku keluar. Mana deras lagi." Jawab Kinara menggerutu.

"Gak usah kau ngomel-ngomel di belakang emak. Sama cari Kia ke depan sekalian mandi hujan kau dulu biar gak apa kali otak kau itu." Balas emak tak mau kalah pada anaknya

"Iya iya, apa yang gak buat emak" aku menggoda emak sambil mengejek.

Kinara pergi mencari Kia. Kakak yang pendiam dan selalu patuh pada emak. Segala perbuatan kak Kia dinilai baik oleh emak. Sepertinya kak Kia penerus bang Andre.

Adzan magrib berkumandang, Kinara pulang membawa kabar hampa pada emak. Kak Kia gak ditemukan. Hujan semakin deras, air sungai Deli perlahan meninggi. Pentungan mulai berbunyi menandakan kewaspadaan terhadap banjir.

"Heeyy, naik. Jangan lagi mandi hujan klen di situ." Teriak warga membangunkan kekhawatiran emak

Emak langsung berlari ke belakang rumah dan melihat Kia dan beberapa anak-anak mandi di tepian sungai Deli. Emak langsung bergegas ke luar rumah dan ingin menyusul Kia. Tapi, langkah emak dihentikan oleh warga.

"Ibu di sini aja, tunggu warga. Biar mereka yang ke bawah" ujar pak Anggiat

"Gak bisa tulang, aku harus turun. Anak ku di bawah situ. Air sungai sudah naik. Hanyut anak ku nanti tulang. Hanyut!" Jawab emak memelas.

"Tolong ... Tolong ... Ada anak-anak di bawah. Air sungai sudah naik." Teriak pak anggiat.

Pak Kepling datang menghampiri emak dan pak Anggiat berniat turun langsung menjemput kita dan teman-temannya. Aku dan beberapa warga menunggu pak Kepling untuk menjemput kak Kia dan kawan-kawannya.

"Kak Kia, naik lah. Kakak gak pernah berbuat tingkah seperti ini. Jangan lah menambah susah emak. Cukup kak Andira, bang Dana, dan kak Alika. Naiklah kak." Gumam ku dalam hati.

Pak kepling segera menjemput kak Kia tapi hantaman air sungai Deli membuat kak Kia dan tiga temannya terbawa arus sungai. Pak Kepling berlari dan mendapatkan tangan kak Kia. Ketiga temannya tak mampu terselamatkan dan terbawa arus sungai.

"Tolong pak Kepling, tolong." Teriak emak pada warga. Warga gak ada yang berani membantu pak Kepling mengingat arus sungai Deli sangat deras. Di bawah pohon Cemara, kemarin kau sampaikan kalau kau gak bisa Nemani mewujudkan mimpi-mimpi ku. Jangan sampai ini pertanda perkataan mu kak. Aku takut kak, berjuanglah kak. Ikut aku sama emak kembali ke rumah.

"Alika, maafkan emak. Ini mungkin imbas dari cara emak mendidik kalian. Cara emak yang mengekang ego dan harus menuruti kemauan emak. Kembali lah nak ke rumah. Tolong lah Kia. Emak gak mau kehilangan anak-anak emak lagi." Isak tangis emak pecah melihat penyelamatan pak Kepling terhadap Kia. Tiga temannya hanyut terbawa arus sungai Deli.

Tak sekuat karang d lautan, tangan pak Kepling terlepas dari genggaman kia. Isak tangis semakin pecah melihat kia hanyut terbawa arus. Enak yang sedari tadi menunggu penyelematan Kia, akhirnya terkulai lemas dan segera dibawa ke puskesmas terdekat.

***

Seminggu berlalu, kia dan tiga temannya belum ditemukan. Sudah beberapa hari emak tak selera makan. Badan terkulai lemas, kurus dan terlihat menua. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Masak sekadarnya untuk mencukupi gizi.

"Mak ... Mak ... Mak ..." Teriak salah satu warga. Aku tersentak dari tempat duduk. Mak langsung keluar menghampiri suara yang akan membawanya pada titik terang.

"Ada apa Atik? Suara lesuh terdengar sayup.

"Kia dan tiga temannya ditemukan" ucap Mak Atik.

Tanpa aba-aba, Mak langsung keluar rumah menarik tangan Mak Atik menuju puskesmas yang tak jauh dari rumah. Hari ini, langit terasa menghitam seakan-akan badai akan runtuh. Ayah, kak kia, kalian sudah bertemu. Tak lagi mengeras dalam ujian hidup.

Jenazah kak Kia dan temannya langsung diautopsi dan dikuburkan tanpa disemayamkan di rumah. Mak, aku akan menjaga dan membahagiakan mu walaupun tubuh kecil ini belum sanggup mewujudkannya.

Mimpi-Mimpi Cemara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang