Divorce

9.8K 608 24
                                    

Sakura-sensei
.
Chapter 9
.
Warning!
GaJe, Typo
.
Rated M (NC)
.
© Masashi Kishimoto
.

.

.

Hari ini tiba. Hari yang Sakura tunggu-tunggu namun bukan dalam artian baik. Hari dimana dia akan menyandang status barunya. Merelakan rumah tangga yang sudah dibangun selama tiga tahun bersama pria itu. Sakura memilih meninggalkan rumah tangganya yang ia kira berlandaskan cinta itu. Omong kosong.

Perpisahan adalah hal buruk yang paling Sakura benci. Rasa sedih dan trauma bukanlah keinginan Sakura. Terlebih, bukan sebentar waktu yang ia habiskan bersama lelaki itu. Masa-masa berpacaran dan pernikahannya, perjuangan dan kesabarannya terasa sia-sia. Laki-laki itu memilih cara yang salah untuk berpisah. Memilih membubuhkan kisah tragis di hidup Sakura.

Kecewa bukan main. Sedih luar biasa. Tapi kehidupan memaksanya untuk terus kuat. Jantungnya masih berdetak, hatinya masih berfungsi. Dan cara yang benar untuk tetap bersyukur kepada Pencipta-nya adalah dengan melanjutkan hidupnya sendiri. Tak peduli jika takdir buruk atau baik menantinya di depan sana.

Sakura masih mematung di depan cermin. Menampilkan dirinya yang luar biasa. Dress floral bergradasi kuning melekat di tubuhnya, memperlihatkan lekukan pinggangnya yang indah. Lengan atasnya terekspos dan dua tulang selangka itu dengan berani menampakkan diri. Sebongkah liontin berbentuk angsa bergantung bersama kalung itu menambah kesan indah dirinya.

Sakura masih memperhatikan wajahnya. Dilihatnya lekat-lekat barangkali masih ada yang belum pas di wajahnya yang jelita. Padahal, dia sudah indah. Sasuke setuju akan hal itu. Tapi sekarang sudah pukul delapan dan ia berharap Sakura berhenti menatap dirinya sendiri di depan cermin sebelum mereka terlambat.

"Sudah cantik."

Sakura terperanjat. Tak menyadari kalau Sasuke menyusup ke dalam kamarnya dan memperhatikan dirinya lama. Lamunan akan perceraian mengambil alih fokus seluruh indra-nya, mungkin.

"Aku tau. Ayo berangkat."

Sasuke mendengus.

.

Orangtuanya hadir, mereka bahkan lebih dulu sampai ke pengadilan, tak repot-repot bertegur sapa di apartemennya.
Sasuke pun masih setia membuntutinya. Entahlah, ia memaksa ikut sampai-sampai harus ijin dari sekolahnya.

"Sakura, kau sudah datang." Ucap ibunya kala Sakura baru saja menghampirinya, duduk bersama ayahnya di kursi tunggu. Ruang pengadilan tepat di sebelah kursi-kursi itu.

"Iya bu, yah. Kalian sudah sarapan?"

"Sudah. Sekarang bagaimana?" Kali ini ayahnya yang menjawab sekalian bertanya mengenai kelangsungan sidang perceraian putrinya.

"Kita tunggu staff mereka memanggil kita, mengantri. Dan pria itu belum datang."

"Baiklah... Em, Sasuke?"

Merasa dipanggil, Sasuke mengalihkan pandangannya. Sedetik kemudian ia membungkukkan badannya hormat.

"Ya, bi."

"Kau tampan sekali. Mirip Mikoto." Puji Mebuki, senyumnya semakin merekah, menimbulkan kerutan tanda penuaan semakin terlihat.

"Terima kasih, bi."

Belum sempat Mebuki berkata-kata lagi, suara derap langkah kaki disertai suara lelaki mengalihkan perhatiannya.

"Selamat pagi bu, yah."

Sakura lantas menoleh, dilihatnya Kiba baru saja menegakkan badannya lalu menoleh juga ke arah Sakura.

Mereka menciptakan atmosfer yang aneh, sebab kini mereka berpandangan. Saling tenggelam pada netra di hadapan mereka. Menyiratkan berbagai arti yang hanya merekalah yang tau. Keduanya sama-sama sadar akan arti dari tatapan keduanya. Sakura sarat akan benci dan kecewa sedangkan Kiba dengan pandangan sesalnya. Ya, hanya lelaki bodoh yang melepaskan Sakura.

SAKURA-SENSEITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang