1). Prelude: Julius Mahendra

209 41 73
                                    

"Bang, pinjem mobil lo--elah, kucing lagi... kucing lagi. Itu kucing dari mana, coba? Rumah kita bukan panti, 'kan?"

Penuturan sekaligus omelan terdengar dari belakang. Walau nggak noleh, gue bisa langsung tahu siapa dia. Dia adik satu-satunya, Jason Mahendra.

Usia yang terpaut setahun membuat kami seolah-olah terlahir kembar. Tidak heran juga, sih, karena paras kami memang mirip. Selain itu, tinggi badan kami sepantaran bahkan jika diperhatikan lebih jelas, Jason lebih tinggi dua sentimeter dari gue.

Tatapan Jason lebih tajam dan runcing, yang memberi kesan mirip dengan kucing kalau lagi sensi. Mata gue juga demikian, tapi berhubung gue lebih seringnya menatap syahdu terutama kalau lagi berhadapan dengan kucing betulan, sorot mata gue terkesan lebih lembut. Karakter gue juga lebih kalem ketimbang Jason. Nggak percaya? Lihat saja caranya menyeletuk tadi. Trus yang paling parah, kalau dia lagi mode julid, dia bisa mengalahkan emak-emak kompleks kalau lagi pengin gibah.

Oke, oke. Gue tahu gue juga nggak sesempurna itu. Gue punya celah. Kesukaan gue yang berlebihan terhadap kucing bisa dibilang agak berbeda dari kebiasaan cowok pada umumnya, yang kalau bukan main game, pastilah hang out sama temen-temen alias nggak betah di rumah.

Gue nggak kayak gitu. Gue lebih suka menghabiskan waktu di rumah yang saking kalemnya, gue dianggap nggak laki. Sering juga dijuluki sebagai anak mama atau apalah istilahnya yang manja dan nggak bisa diandalkan. Anggapan mereka yang normal malah tipikal kayak Jason, yang kalau main di warnet suka lupa kalau dia punya rumah.

"Jelas bukan panti. Mana ada panti kucing." Gue menjawab sekenanya karena tahu ke mana arah bicaranya. Dia pasti mau meledek karena gaya gue persis ibu-ibu yang menghabiskan seperempat abad untuk merawat orang di panti.

Ah, tapi masa bodoh. Daripada keluyuran nggak jelas, gitu-gitu gue idaman di mata-mata yang--yah... lo pahamlah maksud gue. Daripada kumpul-kumpul sama temen atau belanja ini-itu sampai menguras kantong, gue lebih suka menjadi penyayang kucing.

"Ada. Lo pencetusnya suatu saat. Kucing liar bukannya diusir malah diterima. Dikira nggak pake biaya, apa? Mau gue hitung berapa yang lo habiskan untuk makanan kucing, heh? Mana kasih yang bermerek lagi. Tinggal keluarin nama lo dari KK trus buat sendiri sekalian list nama-nama kucing yang lo piara, fix, lo sukses bangun keluarga baru."

Eh, iya juga. Duit gue sering habis untuk kasih makan kucing. Ah, tapi selama Mama nggak protes, yowes aman sentosa, toh?

"Iyain aja, deh. Betewe, kayaknya lo mau pinjem mobil, ya?"

"Oh, iya. Hampir lupa gara-gara kucing, padahal lagi genting. Gue mau urus pendaftaran. Pinjem, ya? Mobil gue masuk bengkel."

"Tunggu. Lo jadi masuk SMA Bernard, 'kan?"

"Nggaklah. Gue mau SMA Berdikari. Lebih banyak temen gue yang daftar di sana."

"Bernard lebih deket, loh."

"Ada bis kok bawa ribet."

"Ada yang antar-jemput kok bawa ribet." Gue ikut-ikutan untuk membalas penolakannya alias mendebat.

"Ish. Kagak mau."

"Coba, deh, lihat-lihat dulu sekolahnya. Gue temenin, deh. Lo tinggal duduk manis di sebelah pengemudi. Oke?"

"Kenapa, sih, maksa gue masuk di sekolah yang sama dengan lo? Gue bisa hemat banyak kalo masuk SMA Berdikari--walau bukan pake duit gue, sih."

"Ya, justru itu. Seharusnya lo seneng karena Papa-Mama ngedukung kita masuk di sekolah yang sudah pasti bikin siapa saja iri."

"Berdikari juga famous, Bang. Lo nggak tahu aja update-an terakhir sekolah populer se-Jakarta, SMA Berdikari masuk urutan nomor satu--di atas Bernard, loh."

Gue akhirnya diam. Bukannya karena nggak bisa jawab, melainkan karena perhatian gue tersita oleh aksi kehati-hatian agar kucing yang gue nina-bobo-kan di pangkuan tidak terbangun. Gue bisa merasakan bagaimana kepala Jason tersentak ke samping sedemikian rupa dan segera tahu kalau dia lagi mendengkus atau apalah istilahnya sebagai luapan kekesalan sebab telah mengabaikannya mentah-mentah hanya demi seekor kucing yang tak ada arti baginya itu.

Ya sudahlah, ya. Jason juga biasanya mengabaikan gue mentah-mentah hanya demi game yang sama sekali tak ada artinya bagi gue. Sama aja, 'kan?

*****

"Eh, eh. Cakep juga, ya, tuh cewek."

"Mana?" Gue bertanya, tapi tidak sinkron dengan pertanyaan gue karena sedang fokus memosisikan mobil di area parkiran.

Mau nggak mau, gue suka heran sama Jason. Padahal matanya lebih sipit dari gue dan dia juga sering mengeluh kalau matanya susah ngelihat tulisan di papan tulis kalau duduk belakang, tapi kenapa matanya auto ngejreng kalau mandang cewek bening?

"Itu...."Jason melepas sabuk pengamannya asal sebelum menuding ke luar, tepatnya di area lapangan. Gue sebut asal karena tatapannya masih terarah pada gadis yang dia maksud.

Gue nggak begitu memperhatikan karena terdistraksi oleh hal lain yang lebih penting. Lebih tepatnya, gue rasa ini bisa jadi kesempatan untuk meyakinkan Jason bersekolah di SMA Bernard.

Bersambung

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang