"Oke, kami bakal masuk setelah ngomong sebentar." Jason yang mengambil alih untuk merespons sang asisten, sebelum dibalas dengan anggukan sopan. Lantas setelah pelayan itu pergi, barulah dia mengalihkan atensinya ke gue. "Nah, jadi, gimana pedekatenya?"
"Lo bukan mau ngeledek gue, kan, Jason?" Gue bertanya skeptis. Kan, nggak lucu kalau dia serius ngeledek gue di rumah Rowena.
Gitu-gitu, tingkat overthinking gue sebelas dua belas sama ke-jaim-an, sih.
"Tenang aja. Gue bakal mulai ngetawain selama lima hari lima malam kalau apa yang lo ceritakan nanti nggak masuk akal—–eh, nggak, deng. Sekalian selama seminggu aja biar ada weekend-nya."
"Nggak lucu, Jason." Gue langsung mendengkus keras. Lagi-lagi eksistensi Jason sangat tidak membantu, bikin gue merasakan sebongkah rasa penyesalan karena memperbolehkan dia untuk ikut ke rumah Rowena.
"Yowes. Buruan cerita! Gue kepo, nih!"
"Jadi gini, gue—–" Memang dasar nggak ada akhlak, ya, dia, sebab gue baru sadar kalau rasa penasarannya tadi hanyalah akal-akalan biar dia bisa masuk ke kamar Rowena duluan. Dengan kesopanan yang kurang dari nol, Jason membuka pintu sebelum masuk ke dalam dengan tatapan isengnya yang kentara. Dia bahkan meledek gue dengan menjulurkan lidahnya selebar mungkin.
Ya, ampun. Kayaknya gue harus berdoa sama Tuhan agar jangan sampai suka sama Rowena sebab bahaya banget nggak, sih, jika gue harus berhadapan dengan Jason nantinya?
Dipikir-pikir nggak cuman bahaya, sih, tapi juga lelah hayati, Guys.
Gue menyusul jejak Jason sebelum menutup pintu di belakang. Gue belum sempat berhadapan dengan sang pemilik kamar sebab telanjur menelusuri isi ruangan dengan teliti. Satu kalimat yang gue serukan dalam hati tatkala menyebarkan pandangan ke sekeliling ruangan adalah; transmigrasi yang gue alami selama tiga hari ini benar-benar nyata! Gue bisa membuktikannya dari penataan barang-barang serta desain yang mana benar-benar serupa dengan apa yang gue lihat ketika menjadi Jule si kucing. Serius, ini nyata! Trus jaket gue ... benar! Letaknya masih sama seperti terakhir kali yang mana terlipat dengan rapi di atas meja.
Gue menunggu sampai mata gue puas mengeksplorasi ruangan sebelum mencari Rowena. Ternyata dia sedang berhadapan dengan Jason di ujung ruangan. Gue nggak tahu mereka membahas apa—–berhubung kamar Rowena cukup luas sehingga memuat banyak perabotan, termasuk satu set sofa dan piano, tetapi fokus gue langsung teralihkan begitu melihat Jule di dalam kandang. Ia tampak begitu lucu dengan pupil lebarnya, yang segera gue pahami disebabkan oleh cahaya yang minim di dalam kamar.
Gue nggak tahu apakah gue gila gara-gara disugestikan oleh perpindahan jiwa atau efek magis yang harus gue terima sebagai konsekuensi atas transmigrasi, yang jelas, gue mendengar sebuah suara di dalam kepala gue pada saat ini.
"Tuan Julius."
Suara itu begitu jelas, seolah-olah ada yang menyuarakan itu di belakang kepala gue. Namun, meski suaranya terdengar santai dan tidak ada horornya sama sekali, mengapa gue bisa merinding begini?
Bulu kuduk gue meremang, gue jadi takut. Serius, apalagi saat mata gue bersinggungan sama Jule si kucing. Dia menatap gue begitu intens seolah-olah sedang dalam proses mengintai mangsa.
Tidak, plis. Jika itu memang Jule, apa yang hendak dia lakuin? Apa rencananya?
"Tuan Julius, tenanglah." Suara dengan intonasi yang sama lagi-lagi terdengar. Kini gue yakin kalau suara ini nggak bisa diabaikan selayaknya angin lewat karena jika memang Jule bisa bertelepati sama gue, bukankah dia bisa mendengar suara hati gue?
Mampus—–eh, sori. Plis, Jule. Kata-kata ini bukan ditujukan buat lo! Mak-maksud gue—–
Ya, Tuhan! Gue harus ngomong apa sekarang?
"Tuan Julius. Santai saja bicaranya. Atau apakah perlu pakai bahasa gaul manusia? Saya bisa walau belum sehebat manusia pada umumnya. Jujur, saya lebih fasih berbicara bahasa baku sebab kemampuan berinteraksi langsung hanya sebatas bahasa formal saja."
Oh, my. Dengerin lo bisa ngomong Bahasa Indonesia saja sudah berhasil bikin gue tremor, loh, wahai Jule yang—–
Gue segera memukul kepala sebagai usaha biar nggak kelepasan. Sadar, woi, sadar! Jule, teh, bisa denger apa yang lo pikirkan sekarang, Julius Mahendra!
Sebaiknya gue harus hati-hati. Kebiasaan, nih, kalau ngomong sama diri sendiri itu lancar jaya kayak air mengalir. Lah, begitu ngomong sama orang lain udah kayak sistem pencernaan yang terhambat saja!
Gue berdeham, lalu berusaha berkomunikasi di dalam hati dengan suara batin yang kelewat lembut. Hmm, hai, Jule. Beneran l-kamu yang lagi ngomong sama g-aku, 'kan?
Waduh, kebiasaan ngomong pake format lo-gue. Sori, ya, Jule!
"Tidak masalah, Tuan Julius. Benar, saya adalah Jule, kucing peliharaan Nona Rowena. Maaf jika selama beberapa hari ini saya sudah mengganggu aktivitas belajar Tuan Julius. Seperti dugaan Tuan Julius dua hari yang lalu, saya memang mempunyai tujuan tertentu."
Oh, begitu—–
"Serius amat, lo. Kayak mau pup aja." Suara Jason memutus suara batin gue begitu saja, membuat gue sontak menatapnya dengan tatapan gereget. Gimana, nggak? Gue lagi menunggu momen ini buat mengetahui alasan apa yang bikin gue bisa berpindah gini dan si Jason udah gangguin aja.
Pengin misuh-misuh, tapi nggak jadi waktu merasakan kehadiran Rowena yang mendekat. Iya, ya. Gue harus menjaga kesopanan ketika berada di rumah orang lain, terlebih di kamar yang bukan kamar gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKAN
Fantasía[Berhasil mendapat juara kedua event menulis dari Penerbit AlR] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Fantasy, Romance Naskah full revisi ✅ Blurb: Siapa sangka seekor kucing sanggup menghubungkan dua remaja, terlebih dengan cara ya...