11). Jason's Way

4 1 0
                                    

Rowena masih berusaha menahan tawanya seolah-olah gue melakukan pertunjukan stand-up comedy. Plislah, plis. Gue pengin banget ngasih tahu supaya nggak menganggap enteng masalah yang gue hadapi sekarang.

Mungkin dia mengira kalau gue menanggapi semua ini terlalu berlebihan, padahal gue yakin pendapatnya nggak akan sama jika berada di posisi gue. Maksud gue, memangnya bisa, ya, menganggap enteng sesuatu yang di luar nalar kayak begini? Andaikata mau melapor polisi pun, mereka pasti nggak bakal percaya!

Ya, kali!

“Gue bakal bantuin lo.” Rowena berkata tiba-tiba, membuat gue merasa seperti sedang dialiri air dingin. Gue spontan terhenyak, bersamaan dengan kedua mata yang membeliak secara estetik.

“Kenapa memangnya?” tanya Rowena, terlihat bingung karena gue bereaksi seperti itu. Iya, sih, kayaknya tanggapan gue rada berlebihan, tapi dia seharusnya bisa mengerti mengapa gue kayak gitu.

Yaaa ... soalnya nggak nyangka saja dia bisa menawarkan bantuan di balik karakternya yang sedingin es, yang mana berpotensi bikin orang-orang langsung menyimpulkan dia sebagai insan yang hampir tidak pernah bersosialisasi. Meski tidak menjamin penampilan luar bisa mewakili isinya, tetap saja sepengamatan gue, Rowena bukan tipikal yang mau repot-repot ‘mengurus’ orang lain.

Gue rasa andaikan gue sama Rowena terjebak di sebuah pulau tak berpenghuni dan hanya ada satu perahu yang tersisa untuk menyelamatkan diri, gue rasa dia nggak akan mengalah atau minimal, dia nggak mungkin memilih untuk senasib sepenanggungan menunggu tim penyelamat datang.

Oke, lagi-lagi gue mikirnya kejauhan. “Cuman nggak nyangka aja, lo bisa menawarkan bantuan kayak gini.”

“Kayaknya lo salah paham.” Rowena menatap gue dengan sebelah alis terangkat.

“Salah paham gimana, ya?”

I just copied what people do. Seperti lo yang dengan gampangnya meminta maaf sama semua orang, bukankah pengertiannya juga sama dengan menawarkan bantuan? Sesederhana menarik simpatik orang, ternyata cukup dengan berbasa-basi.”

“Hah?!” Kenapa, sih, gue nggak bisa berakting jaim atau kelihatan pintar di depan dia? Selalu saja gue sukses dibikin cengo untuk yang entah keberapa kalinya hari ini.

“Lagian apa yang bisa diharapkan dari gue, coba? Jule mungkin adalah kucing gue, tapi gue nggak bisa mengendalikan atau bahkan ngomong sama dia supaya nggak pindah ke tubuh lo lagi. Kalau memang dia berusaha mengambil alih tubuh lo, menurut gue nggak bakalan bisa bertahan lama. Gue bisa menjamin itu. Karena apa? Karena penyesuaian dari kucing ke manusia jauh lebih sulit ketimbang sebaliknya. Dia nggak cuman harus beradaptasi dengan tubuh lo, tapi juga harus menghadapi lingkungan setelah menjadi manusia. Dan lo kira itu gampang? Manusia menjadi ‘manusia’ saja susah. So?”

Iya juga, ya. Teorinya cukup masuk akal. Nggak heran, sih, prestasinya gemilang bersinar gemintang layaknya bintang yang melintang.

“Kalau gue ketiduran lagi di sebelah lo, bangunin gue aja, ya.” Setelah jeda yang lumayan lama, akhirnya gue memilih untuk tidak merespons teorinya barusan. Lebih baik langsung ngomong kayak gitu, deh, soalnya semakin lama berada di sebelah dia—–gue baru sadar, yang ada malah bikin gue semakin insecure.

Rowena mengangguk, lalu kembali menekuri buku ensiklopedia yang sedari tadi terbuka lebar. Namun sayangnya, bel masuk sudah keburu berdering. Gadis itu lantas mendengkus, terlihat kesal karena aktivitasnya harus terhalang.

“Let’s take this for our assignment.” Rowena memilih buku ensiklopedia yang dimaksud dengan kerlingan. Gaya angkuhnya jadi terlihat keren, membuat gue otomatis membayangkan bagaimana ekspresi Jason jika berada di posisi gue. Sebab, jika ditilik dari pengakuan dia tentang kesukaannya pada gadis angkuh-angkuh rasa tsundere, Rowena jelas menang banyak.

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang