5). It's Hard to Believe

63 23 46
                                    

Hardikan Jason membuat gue mawas diri. Benar juga. Saking syoknya mendengar fakta yang mengejutkan tadi, gue sampai lupa kalau kami masih berada di jalan tol.

Lantas tanpa menunggu lebih lama, gue kembali menyalakan mesin mobil diselingi argumen yang bikin gue paham. Rupanya ini menjadi jawaban atas apa yang membuat teman-teman pada heboh, juga tamparan yang dilakukan oleh Rowena di kelas.

Namun, gue masih menolak percaya. Gue yakin bahkan makhluk astral sekalipun setuju kalau gue nggak mungkin melakukan itu. Jangankan meluk orang, meluk guling aja ogah sebab gue selalu bergaya telentang kalau tidur. Gue juga nggak pernah tidur di area lain kalau bukan di atas kasur. Kedua faktor itulah yang menjadi sebab mengapa gue jadi rada syok saat terbangun di kelas. Masa iya, gue bisa kelepasan tidur? Mana pas pergantian jam pelajaran, lagi.

"Memangnya lo mimpi apa, sih, sampai meluk-meluk jodohnya orang kayak gitu?" Gue mendengar embusan panjang Jason dari samping kemudi. Gue lantas melirik sekilas hanya untuk mendapati dirinya yang menunjukkan tatapan yang menyorot frustasi, seolah-olah gue sedang melakukan kesalahan fatal. "Jangan bilang ini ada hubungannya sama kucing?"

Pertanyaan susulan Jason membuat gue menipiskan bibir. Salty lagi, salty lagi. Sesensitif itukah dia dengan kaum kucing sampai mengaitkan segala sesuatunya dengan sindiran?

"Udah gue bilangin, Bang! Jangan keseringan bergaul sama kucing! Ketimbang kucing, gue lebih super duper setuju kalau lo sahabatan sama anjing. Serius." Jason melanjutkan dengan penuh napsu, membuat vibes-nya jadi mirip dengan salah satu tim suksesnya partai politik; berambisi dan terlihat meyakinkan.

"Dan udah dibilangin juga, gue lebih suka kucing. Lagian kalau lebih sreg sama anjing, ngapain juga capek-capek piara kucing?" Gue merespons kesal. Kebetulan momennya bertepatan dengan aksi membanting setir sehingga pembawaan gue terlihat lebih berkarisma di mata orang-orang. Benar saja, salah seorang tetangga kompleks menatap gue dengan muka penginnya yang kentara.

"Itu karena lo udah berhasil ditipu mentah-mentah sama kucing. Gue punya firasat suatu saat jiwa lo bakal dikuasai oleh kucing. Lihat saja nanti."

"Jason, jangan kebanyakan nonton anime, deh." Gue mengingatkan dengan kalem, bertepatan dengan badan mobil yang berhasil masuk ke halaman rumah melewati pagar sebelum mesinnya padam sebagai pertanda bahwa kami telah sampai di rumah dengan selamat.

"Nyindir gue, kan, lo?" Jason membalas dengan nada tersinggung. "Tapi terserah, deh, lo mau mikir gue terlalu bawel atau apa. Yang jelas, gue bakal terus ingetin lo untuk berhati-hati. Plislah, kucing itu nggak seimut, selucu, atau se-se-apalah sampai bikin lo bucin gitu! Ada banyak mitos soal kucing sampai misteri lainnya yang membawa kesialan. Belum lagi teori kucing yang punya sembilan nyawa--"

"Udah, ya? Lo udah cukup sering ceritain itu semua sampai gue gumoh." Gue menyela pembicaraannya dengan nada lugas sebelum turun dari mobil. Berhubung gue sedang pening maksimal gara-gara insiden hari ini ditambah peringatan Jason yang sama sekali tidak membantu, gue lebih memilih untuk mengalah.

Lagi pula, mau secerewet apa pun Jason, gue tahu itu adalah bentuk kepeduliannya ke gue.

*****

Aroma menusuk segera menyambut indra penciuman gue seiring dengan kelopak mata yang perlahan membuka. Ini adalah aroma kesukaan gue karena menenangkan dan ada unsur aromaterapinya, tetapi herannya, gue nggak bisa berlama-lama menghirupnya karena begitu menyengat dan bikin hidung gue gatal. Sensasi ini otomatis membuat gue teringat dengan ibu-ibu yang kepekaan penciumannya menjadi dua kali lebih peka saat hamil. So, gue jadi bertanya-tanya mengapa situasinya bisa sama, padahal gue nggak pernah ilfil dengan aroma yang dingin nan menenangkan begini.

Hatsyi! Gue menggunakan sebelah tangan untuk meredam ledakan bersin, tetapi gerakan tersebut belum lagi terselesaikan saat melihat penampakan yang super duper menyeramkan.

Tangan gue... ada apa dengan tangan gue?

Tanpa sadar mulut gue menganga seraya menyaksikan apa yang terpampang jelas di hadapan gue. Tanpa perlu mencari cermin, gue sudah bisa menebak seperti apa rupa gue sekarang; berbulu sehalus bulu boneka yang dilengkapi cakar pada masing-masing ujung kaki, juga ekor panjang yang mengayun lincah setiap mendeteksi adanya pergerakan.

Yakin seribu yakin, gue telah bertransformasi menjadi seekor kucing! Alih-alih tangan manusia yang seharusnya, gue sekarang mempunyai lengan berbulu dengan cakar sebagai pengganti tangan.

Gue menampar diri sendiri, lalu mengerang saat merasakan sakit di bagian kepala dengan suara yang mengeong sebagai gantinya. Mengeong? Gue mengeong? Dahlah.

Tapi tunggu dulu. Sepertinya gue mengenali hewan ini. Jika ditilik dari lubang samar yang terletak pada pada bagian cakarnya, gue mulai merasa familier. Gue lantas menjadi semakin yakin ketika mengecek di mana posisi bekas lukanya.

Ya, tidak salah lagi. Itu adalah luka akibat tertusuk paku, yang menjadi bukti bahwa kucing tersebut adalah kucing yang gue selamatkan di area SMA Bernard, tepat di hari gue menemani Jason mendaftarkan diri sebagai siswa baru.

Lantas jika kucing berbulu oranye ini memiliki tuannya, maka apakah ada kemungkinan pemiliknya adalah salah satu siswa SMA Bernard?

Bersambung

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang