Jujur saja respons Rowena bikin clueless, padahal gue sempat menduga kalau penjelasan gue bakal susah dicerna karena nggak ngotak. Normalnya, orang-orang pasti menyangka gue sudah gila atau minimal sedang meracau karena habis bangun tidur, tetapi dia malah bersikap seolah-olah gue perlu didengarkan.
Gue mau bertanya lebih lanjut, tetapi sayangnya, guru sesi pelajaran berikutnya sudah masuk ke dalam kelas. Sama seperti insiden kemarin, lagi-lagi gue ketiduran saat pergantian jam pelajaran. Gue jadi penasaran apa alasan sebenar-benarnya gue harus bertukar posisi dengan kucingnya Rowena pada durasi yang singkat begini. Mana nggak ada aba-aba, lagi. Begitu bangun, eh... tahu-tahunya gue sudah berpindah di suatu tempat yang asing.
"Jangan lupa, jam istirahat kedua." Terdengar suara Rowena seiring dengan kepala gue yang memutar. Saking cepatnya menoleh ke arah dia, saraf di leher gue otomatis ketarik, tetapi reaksi itu nggak ngefek buat dia. Tanpa berniat membalas tatapan gue, atensinya tetap diarahkan ke depan seolah-olah titahnya yang tadi tidak pernah eksis.
Gue jadi penasaran dia mau ngomong apa. Kira-kira dia bakal percaya sama gue nggak, sih?
"Okay, I'll give you all a task so you guys can accomplish your grade." Suara bariton Pak Hans selaku Wali Kelas terdengar menggema. Satu hal menguntungkan yang patut gue syukuri adalah gue bisa berbahasa Inggris dengan lancar sehingga bersekolah di SMA Bernard yang tuntutannya tinggi nggak membuat gue terlalu stres.
Gue hanya perlu meningkatkan nilai dengan belajar lebih rajin, tetapi mengapa gue harus mengalami pendramaan bertransformasi?
Sungguh mimpi buruk sebenarnya, tapi mungkin masih termaafkan karena gue pecinta kucing. Bayangin aja kalau gue harus bertukar jiwa dengan laba-laba. Nggak lucu, kan, gue harus jadi spiderman? Eh, tapi... apa bakal lebih keren dari Peter Parker, ya? Hmm....
"Get your partner, discuss, and find the topic from any references in the library."
Gue punya firasat si Rowena ini keturunan cenayang. Bisa pas banget, ya, disuruh nyari referensi di perpus ketika gue disuruh nungguin dia di sana?
*****
"Jason, tumben lo di sini?" Gue bertanya sesampainya di salah satu section di mana buku ensiklopedia berada. Di sini adalah lokasi yang paling strategis karena berhadapan langsung dengan pintu utama perpustakaan.
Gue bukannya mengejek adik gue, hanya saja, dia hampir tidak pernah ke perpustakaan kecuali dipaksa. Lagi pula, Jason sendirian di sini, jadi gue menduga bahwa kedatangannya adalah kesenangan hati dia, bukannya tuntutan tugas kelompok seperti gue.
"Memangnya nggak boleh, ya, gue di sini?" Jason membalas dengan suara rendah sebab tidak ingin menghadap risiko diusir oleh pustakawan. "Orang-orang pinter, kan, nongkrongnya di sini."
"Tapi lo nggak pinter."
"Sama aja, lo juga nggak pinter. Kalo rajin baru iya."
Gue menipiskan bibir, menatapnya dengan netra yang disipitkan. "Tapi mendingan gue daripada lo yang nggak ada salah satunya alias nggak dua-duanya."
"Makanya, gue ke sini karena ada tujuan. Memangnya kunjungin perpus harus dengan alibi belajar, ya?" tanya Jason seiring dengan tatapannya yang sesekali diarahkan ke depan. Bahasa tubuhnya jelas, dia sedang mengamati satu demi satu orang yang masuk ke dalam perpustakaan.
Gue mengikuti pandangannya, lalu mendengkus saat menyadari siapa yang dia tunggu. Apa kali ini targetnya adalah cewek alim? "Kecengan baru, nih? Kali ini siapa? Nggak mungkin Rowena, 'kan?"
Niat gue hanya bercanda karena baru kemarin Jason mengungkit namanya, tetapi siapa sangka, tebakan gue benar.
Jason tersenyum lebar hingga kedua matanya melengkung sempurna. Gue jadi merasa sedang bercermin, tetapi kali ini gue nggak menikmati keindahan ciptaan Tuhan gara-gara reaksinya.
Di antara sekian cewek, mengapa harus Rowena Hanasta, sih? Bukannya gimana, gue cuman merasa kayak... nggak nyangka aja, gitu. Usia Rowena setahun di atasnya, trus dari segi karakter juga terlalu jauh gap-nya.
"Serius, nih? Memangnya apa yang bikin lo demen sama dia?" Gue bertanya kepo.
"Banyak, tapi yang bikin gue taksir itu muka singkong, eh, songongnya."
Tuh. Dari segi menyusun kata-kata aja sudah berasa bedanya. Sekali lagi, gue bukannya mau ngeledek. Kalau mau dikonversikan, Rowena itu kayak murid tersohor karena kepintaran yang mana terwakili dari kepribadian Ravenclaw versi dunia Harry Potter. Nah, gue sama Jason lebih cocok masuk kategori Hufflepuff. Paham, kan, sampai di sini?
Jika gue nggak layak disandingkan sama Rowena, apalagi Jason. Gue aja masih lebih rajin daripada dia.
"Jason, listen. You'll get hurt if your target is that Rowena. Trust me."
"Rowena is mine, Brother." Jason malah bermain-main. Matanya berbinar jenaka diselingi seringai. Visualnya menjadi optimal dan gue yakin pesonanya bisa menarik perhatian cewek-cewek. Benar saja, beberapa yang lewat tidak henti-hentinya melempar tatapan penuh minat meski gue bersumpah, gue juga tidak luput dari perhatian.
Lantas bertepatan pada saat itu, seolah masuk adegan FTV, Rowena masuk ke dalam perpustakaan. Entah karena posisi matahari yang bisa pas banget berada di belakang kepalanya atau gue-nya yang terlalu mendramatisir, yang jelas, cara Rowena masuk bikin semua orang memperhatikan dia. Dimulai dari caranya berjalan yang elegan, bak diatur dalam mode slow motion, tatapannya ditujukan ke gue dan Jason meski gue bersumpah, gue juga tidak luput dari perhatian.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKAN
Fantasy[Berhasil mendapat juara kedua event menulis dari Penerbit AlR] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Fantasy, Romance Naskah full revisi ✅ Blurb: Siapa sangka seekor kucing sanggup menghubungkan dua remaja, terlebih dengan cara ya...