14). Rowena's Residence

3 1 0
                                    

Mau tahu, nggak, bagaimana reaksi Jason saat menyiduk gue sedang dalam perjalanan menuju rumah Rowena?

Iya, gue tahu Jason orangnya heboh dan dia pasti bakal menodong gue dengan banyak pertanyaan, tapi gue nggak menyangka sama sekali kalau dia bisa kepikiran mau ikut ke rumah Rowena.

Gue nggak habis pikir; kok bisa-bisanya gitu, loh? Sumpah demi crop top punya Winnie the Pooh, gue ke rumah Rowena bukan untuk apelin dia. Ya, kali. Andaikan gue suka sama Rowena pun, nggak mungkin secepat itu juga progress-nya.

Tuh, kan. Mulai ngawur gue. Gara-gara Jason, sih! Tahu gini seharusnya bohong aja sama dia, tapi sayang, gue nggak bisa lakuin itu. Jadilah gue yang bersuka rela masuk jurang.

Hmm, memang nasib jadi orang baik nan pelik.

"BANG, PLIS! PENGEN IKUTAN, ELAH!" Jason lagi-lagi heboh. Kalau bukan telinga gue yang rusak, fix, nggak lama lagi dia bisa mengundang warga satu kompleks gara-gara suaranya.

"Hitung-hitung nambah pahala di akhirat kalau berhasil jodohin gue sama Rona, loh!" lanjut Jason di saat gue berupaya untuk mengabaikan dia.

Gimana, ya. Bukannya tega, tapi rada aneh nggak, sih, kalau dia beneran ikutan? Mesti jelasin apa, dong, ke Rowena? Apa nanti malah dikira nggak macho gara-gara nggak berani ke rumah cewek sendirian?

Gue langsung overthinking. Ah, tapi ... nggak apa-apa, deh. Akan lebih baik jika dia salah paham dengan menduga bahwa gue mau modusin Rowena ketimbang tahu apa yang sebenarnya menjadi tujuan gue sebab gue yakin, Jason nggak mungkin percaya perihal transmigrasi itu.

"Pokoknya ada keperluan yang harus dibahas sama Rowena, jadi gue ke rumahnya bukan untuk bersenang-senang."

"Tuh, kaaan. Lo nyuri start, 'kan?" tuduh Jason dengan ekspresi yang—–yaaa ... lo tahulah sejulid apa dia kalau situasinya udah kayak gini.

"Iyain aja. Dah, ya. Gue cabut." Gue menutup pintu mobil setelah duduk di hadapan setir. Namun, Jason adalah Jason yang tingkah ketengilannya nggak kira-kira sebab ketika gue lengah, dia mengambil kesempatan dengan cara membuka pintu mobil pada sisi yang lain dan menempati jok di sebelah gue diiringi cengiran lebar.

Oke, seharusnya gue langsung kunci pintunya waktu masuk. Gue kalah cepat ternyata.

"Yok, kita berangkat!"

"Turun, Jason. Gue serius nggak bisa biarkan lo nebeng ke rumah Rowena. Gue janji lain kali bakal ajak lo ke sana, tapi bukan hari ini. Plis."

"Nggak, ah. Sama aja." Udah gue tebak, sih, Jason nggak mungkin manut. Itulah sebabnya, gue nggak punya pilihan selain menyalakan mesin mobil dan bertolak menuju rumah Rowena. Lokasinya nggak jauh, yang ternyata baru gue tahu letaknya tidak jauh dari SMA Bernard.

"Wuih, anak sultan rupanya." Jason menyeletuk lebay. Mengapa gue bisa bilang dia begitu, soalnya dia memuji rumah Rowena sambil menurunkan kaca jendela dan mengeluarkan kepalanya untuk memperhatikan rumah istana itu dengan lebih saksama.

Gue juga mengakui kemewahan tersebut meski nggak seheboh Jason. Bila dibandingkan, rumah keluarga Mahendra nggak kalah-kalah amat, sih. Kamar gue bahkan bisa dialihfungsikan menjadi panti kucing seperti kata Jason, hanya saja, rumah Rowena menang dari segi luasnya halaman. Gue sampai membutuhkan waktu kisaran lima menit kecepatan sedang untuk sampai ke kediamannya setelah sebelumnya menyusuri jalan yang lapang dari gerbang berukuran gigantis. Vibes-nya juga berasa seperti sedang memasuki area klasik sebab desain rumahnya mengingatkan gue akan kastil-kastil di dunia fantasi meski gaya rumah Rowena sudah layak dikategorikan ke modern.

"Fix, Rona bakal jadi calon istri gue." Jason lagi-lagi berkomentar, bikin gue menoleh sekilas hanya untuk menghadiahkannya tatapan datar.
Soalnya belum juga akil baliq, tapi udah percaya diri aja mengklaim Rowena sebagai calon istrinya.

Kami akhirnya turun setelah mobil selesai gue parkir di area halaman dekat gazebo. Gue menduga tempat duduk asri itu difungsikan buat para tamu supaya tidak kepanasan saat menunggu.

"Mari saya antar, Tuan. Nona Rowena sudah menunggu di kamarnya." Gue tersentak waktu disapa salah satu asisten rumah tangganya, padahal gue udah menduga bakal disuruh menunggu di gazebo alih-alih disuruh masuk. Permintaan ini jelas membuat gue kelabakan, bahkan Jason juga sempat melongo sejenak. Rupanya dia salah fokus dengan kata 'kamar'.

"Sampai disuruh langsung masuk kamar, Bang. Gila, jampi-jampi apa lo sampai si Rona izinin lo masuk ke kamarnya?"

"Apaan, sih? Udah gue bilang kalau gue ke sini bukan main-main, loh! Jangan asal narik kesimpulan, Jason." Gue membantah sambil lalu, menyusul langkah asisten tadi. Jason mengekor, diiringi rasa penasaran yang kelewat tinggi sehingga terus memborbardir gue dengan pertanyaan yang bikin pusing.

"Gimana caranya, sih, lo bisa deket sama Rowena? Apa gara-gara lo pake cara pedekate sama kucingnya?"

"Ya, nggaklah! Yang ada malah kucingnya yang pedekate duluan sama gue." Gue menjawab sekenanya sambil memperhatikan isi rumah Rowena. Ruangannya begitu luas, tetapi auranya serasa mencekam. Gue bisa memahami itu dari sedikitnya jumlah anggota keluarga yang lewat.

Mayoritas yang berlalu-lalang adalah para asisten rumah tangga yang mengenakan seragam yang sama. Gue langsung menduga kalau Rowena bakal kesepian di rumah sebesar ini yang mau nggak mau bikin gue merasakan luapan penuh syukur karena gue nggak sempat merasakan hal yang sama.

Kecintaan gue pada kucing serta mempunyai adik bawel membuat gue jauh dari kemungkinan merasakan derita karena kesepian.

"Hah?! Kucingnya pedekate sama lo? Mau bohong, kok, payah alibinya!"

"Ck. Gue serius, Jason. Cuman ... gue yakin lo nggak bakal percaya."

"Oke, coba cerita. Gue jadi kepo." Jason malah menantang, bertepatan dengan berhentinya langkah asisten tadi di depan sebuah pintu. Sepertinya itu adalah akses menuju kamar Rowena.

"Sudah sampai, Tuan. Silakan masuk."

Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang