Rowena lagi-lagi bereaksi seperti saat Jason mengajaknya kenalan barusan; diam, seolah-olah lawan bicaranya adalah bagian dari benda m*ti. Meskipun demikian, gue memilih menunggunya merespons sebelum menjelaskan lebih lanjut mengapa gue minta maaf.
Entah sedang gugup atau sibuk menyusun kata-kata, yang jelas, gue masih setia menanti Rowena bersuara padahal waktu telah terbuang percuma selama lima menit. Kalau begitu, kesabaran gue patut diacungkan jempol sebab belum pernah ada yang memberi jeda sedemikian lamanya. Jason saja nggak sabaran orangnya, yang ada, malah gue yang bikin orang menunggu.
Ternyata Tuhan memang seadil itu. Gue akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya menunggu respons orang lain. Rasanya nggak enak, sih, apalagi gue punya karakter introver yang lebih seringnya overthinking. Bukan durasi yang menjadi masalahnya sekarang, melainkan lebih ke rasa penasaran yang tinggi.
Entah apa yang sebenarnya dia pikirkan meski gue tahu—–apa pun itu—–kesan gue lebih buruk dari yang terburuk. Gimana nggak, gue udah pasti disangka gila. Kalau nggak gila, ya, nggak waras. Apa lagi, ya? Pokoknya di luar nalar dan logika, deh. Seharusnya gue—–
"Lanjutkan saja."
"Hah?!" Serius nanya, Rowena sebenarnya bisa dengar suara hati gue nggak, sih?
"Lanjutkan apa yang seharusnya lo jelasin. Nanti gantian."
"Hng...."
"Daripada keburu bel, gue sambil cari referensi." Rowena bilang begitu sebelum bangkit dan keluar dari area bangku solo. Lah? Katanya disuruh lanjutkan, trus kenapa malah keluar?
Nggak paham lagi, deh, gue.
Rowena balik nggak lama kemudian dengan setumpuk buku setebal kamus. Gue sudah menduga ketebalan referensi kami, tetapi bukan berarti di sampai nekat bawa buku sebanyak itu. Tumpukannya begitu tinggi hingga kepalanya nggak kelihatan di balik buku yang dia bawa. Refleks, gue berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu, tetapi sayangnya, gerakan gue terlalu buru-buru hingga menyebabkan kecelakaan yang bikin segalanya bertambah rumit.
Fix, gue jadi ngerasa sejak diberi 'anugerah' berpindah jiwa, gue jadi kayak ceroboh banget gitu. Bukannya membantu, gue malah nggak sengaja senggol buku-bukunya sampai jatuh berantakan. Alhasil, suara keras yang dihasilkan oleh cumbuan massal buku ensiklopedia ke lantai pun tak terelakkan.
Dalam sekejap, gue dan Rowena jadi pusat perhatian. Gue lantas meringis, merasa payah meski untungnya sempat merasa bersyukur karena Rowena nggak kenapa-kenapa.
"Maaf, ya." Gue berucap sambil berusaha menumpukkan kembali buku-buku dengan berjongkok, disusul Rowena sejurus kemudian.
"Kayaknya lo udah terbiasa minta maaf, ya. Apakah memang seenteng itu ngucapinnya?" tanya Rowena. Meski tatapannya nggak tertuju ke gue karena sibuk mengumpulkan buku ensiklopedia, nadanya terdengar kepo.
"Bukankah memang gampang diucapkan? Termasuk basic manner, 'kan?"
"Not like that. I mean 'guilt' and 'guilty'. They're basically same, but actually have different meaning."
Gue hanya bisa melongo, mendadak nggak tahu harus bereaksi apa. Apakah otak gue terlalu dangkal buat menangkap pernyataan dia?
Oke, otak gue mendadak buntu. Lagi-lagi gue jadi kepikiran; apakah efek bertukar jiwa bikin otak gue susah menangkap informasi?
"Maksudnya, kesalahan hanya dipandang sebagai kesalahan sebab nggak semua orang bisa menerima kesalahan itu sebagai evaluasi untuk introspeksi diri. Itulah sebabnya, minta maaf benar-benar segampang itu—–oh, Forget it. Just consider it as a brainstorming."
Rowena sempat menunjukkan ekspresi kaget, mungkin nggak menyangka bisa keceplosan menjelaskan apa yang tercetus dalam pikirannya. Entah mengapa, gue merasa seperti ada yang berdenyut sedikit di dalam rongga dada. Gue tahu kenapa. Biasanya ini terjadi ketika sedang merasa excited.
Yaaa... mungkin gue merasa agak berbangga karena bisa membuat Rowena—–si cewek kulkas—–bisa berbicara banyak dalam sekali waktu.
Gue berencana melanjutkan penjelasan yang belum sempat terlontarkan, sehingga hal yang gue lakukan sesaat setelah kembali ke area belajar adalah duduk dengan menghadap ke dia, memutar badan ke samping.
Rowena masih tetap bertahan di posisi normalnya duduk menghadap meja, tetapi gue tahu kalau dia bersiap mendengarkan apa yang mau gue sampaikan.
"Gue minta maaf karena sudah lancang selama dua hari ini. Mungkin kesannya nggak ngotak buat dicerna, tapi gue mau bilang kalau sikap gue yang aneh bin gila ini adalah karena bertukar jiwa sama kucing—–lo pernah baca novel atau cerita tentang transmigrasi, nggak? Rada fantasi, memang, gue juga nggak nyangka bisa mengalami kejadian kayak gini, tapi gue bisa jelaskan teori mengapa gue bisa menyimpulkan bahwa gue sedang melakukan transmigrasi."
Saking gugupnya, gue ngomong dalam satu tarikan napas. Rasanya kayak penyanyi yang sedang nge-rap, tapi baru kali ini gue nggak menikmati momennya. Jangankan bayangin berada di posisinya, gue aja merasa gumoh saking ngerinya dengan apa yang gue hadapi sekarang ini.
Pengin bilang nyesal, tetapi gue nggak rela jika harus menyalahkan kucing. Kesukaan gue masih sebesar itu sama kucing meski gue sejujurnya agak menyayangkan atas takdir yang harus gue hadapi. Apakah ini adalah sebentuk karma karena terlalu mendewakan kucing?
Gue jadi teringat kata-kata Jason yang mengatakan kalau kucing itu berbahaya dan penuh akan misteri. Gue jadi bertanya-tanya apakah gue melakukan sebuah kesalahan pada kucing oranye itu.
Apakah yang gue alami ini adalah bentuk hukuman?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKAN
Fantasia[Berhasil mendapat juara kedua event menulis dari Penerbit AlR] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Fantasy, Romance Naskah full revisi ✅ Blurb: Siapa sangka seekor kucing sanggup menghubungkan dua remaja, terlebih dengan cara ya...