Jika harus mengutarakan apa yang paling kubenci dari daftar kebencian yang akan selalu bertambah setiap harinya, aku nggak akan segan-segan mengungkapkan bahwa hal yang paling bikin ilfil adalah sifat manja.
Siapa pun itu. Mau usianya lebih tua, kek. Mau dia lebih tajir, kek. Bahkan mau statusnya adalah keluarga sekalipun, aku tetap nggak akan sungkan menunjukkan ketidaksukaan.
Mau tahu alasannya? Manja adalah sifat yang paling tidak bisa kutoleransi. Kayak parasit, mereka memanfaatkan seseorang--bahkan lebih--hanya untuk memuaskan apa yang mereka inginkan. Apa pun itu. Menurutku, harga diri mereka bahkan lebih rendah daripada tukang palak yang biasa nongkrong di gang sempit karena setidaknya mereka masih mempunyai sedikit effort buat memeras orang.
Sedikit, loh, jadi nggak usah protes. Intinya, aku cuman mau ngasih pandangan aja kalau orang manja itu benar-benar berada di level terbawah.
Mungkin ini juga yang menjadi sebab mengapa kucing terkena imbasnya. Ketimbang hewan yang dikenal manja itu, aku jauh lebih respek sama anjing. Kucing itu pemalas, udah gitu suka manja dan minta perhatian. Trus, kamu tahu nggak apa yang paling menyebalkan? Setelah kebutuhannya terpenuhi, kamu bakal diabaikan. Pernah dengar, kan, kalau kucing itu secara naluriah nggak peduli dengan manusia? Aku super setuju dengan pernyataan tersebut.
"Nggak apa-apa, atuh, Non. Bibi teh ikhlas seikhlas-ikhlasnya kalaupun kucingnya mau Non jual." Suara Bi Yanti sukses memecah lamunanku. Ditilik dari sorot tatapannya yang penuh simpati, bisa kutebak kalau Bi Yanti mengira aku nggak tega melepas kucing pemberiannya kepada pemilik yang baru, padahal aku sama sekali nggak merasa sayang.
Cuman... ya udahlah, ya. Aku lagi nggak dalam suasana hati yang terlalu baik, jadi mendingan aku segera cabut ke sekolah.
Ya, kucing itu akhirnya bakal aku serahin ke kakak kelas. Aku cukup beruntung karena tidak perlu mendapat semacam pendramaan lebay sebab berguru dari pengalaman yang sudah-sudah, biasanya memindahtangankan sesuatu yang pernah dimiliki sebelumnya bukanlah perkara yang mudah.
"Iya, Bi. Aku bawa ke sekolah, ya, berhubung Kak Cecil masih ekskul."
"Hati-hati, ya, Non. Padahal kamu baru balik, kenapa nggak besok aja?" Bi Yanti bertanya dengan nada cemas. Tidak heran jika beliau lebih sering menunjukkan kepedulian yang--mirisnya--tidak sepadan dengan keluargaku sendiri. Aku malah lebih dekat dengan Bi Yanti.
"Nggak apa-apa daripada Kak Cecil berubah pikiran."
"Hati-hati, Non. Nanti langsung pulang, ya."
*****
Ck. Jangankan langsung pulang, nyatanya yang terjadi barusan benar-benar tak terduga.
Entah kesurupan atau sensi mendadak, yang jelas, kucing berbulu oranye itu mendadak berontak dan melarikan diri, padahal dia selalu anteng setiap kugendong.
Apa karena untuk pertama kalinya dia se-excited itu gara-gara menghirup udara terbuka? Bisa jadi, sih. Aku tidak pernah membiarkannya keluar dari kandang dua tingkat yang kudesain khusus, juga memandikannya secara rutin biarpun erangannya terdengar sampai ujung gang. Intinya, aku nggak pernah membiarkannya bereksplorasi di ruangan terbuka.
Mendadak aku menyesal dan merutuk diri sendiri. Ya, kuakui aku teledor sekaligus bodoh karena tidak membawa kandangnya sekalian. Lantas, apa yang harus kulakukan sekarang? Memangnya ada, ya, kemungkinan kucing itu bakal ditemukan di sekolah sebesar ini?
Sepertinya kemungkinan itu di bawah nol karena aku bisa melihat banyak wajah-wajah baru di sini. Sekarang sudah masa penerimaan siswa-siswi tahun ajaran baru, jadi tidak heran jika area SMA Bernard menjadi dua kali lebih ramai. Namanya juga sekolah famous, kan. Bertaraf internasional pula.
Aku mulai berpikir untuk pulang dan membayangkan ekspresi Bi Yanti setelah tahu apa yang terjadi dengan kucingnya yang berharga ketika indra pendengaranku menangkap suara meong yang khas. Kedengarannya seperti rintihan yang tak ada bedanya seperti suara tikus yang kesakitan karena kejepit alat perangkap, membuatku mencelus.
Ya, ampun. Apakah terjadi sesuatu pada kucing itu?
Aku segera berlari menuju sumber suara, lalu tenggorokanku serasa tercekat begitu sampai di TKP. Pasalnya, aku tidak menemukannya sendirian karena ada seseorang di sebelahnya, menggendongnya. Lalu tanpa sungkan, dia menunduk hanya untuk mengecek luka di salah satu kaki, tepatnya di bagian cakar.
Gendernya laki-laki. Lelaki. Cowok. Pemuda. Bujang. Lanang. Pria. Oke, saking kagetnya aku disuguhkan pandangan kayak gini, aku sampai refleks menyebut semua sinonim dari laki-laki. Lantas, pertanyaan yang langsung muncul sedetik kemudian adalah bagaimana bisa dia begitu telaten merawat luka hewan yang bahkan akan membuat siapa saja segan karena takut bakal kenapa-kenapa jika menyentuh darahnya?
"You're safe now, Sweety. Nanti Abang bawa kamu berobat." Suara tenornya sukses membuatku merinding.
Gila aja caranya ngomong gitu. Tanpa aba-aba, aku spontan berhalusinasi gimana rasanya menjadi si oranye trus denger dia ngomong kayak gitu. Sebuah keputusan yang bodoh karena bulu kudukku meremang seketika.
Tapi gitu-gitu... terlepas dari aksinya yang sempat bikin ilfil, harus kuakui dia berjasa. Setidaknya kucing Bi Yanti tidak sampai kenapa-kenapa dan aku nggak dihantui perasaan bersalah.
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/289435211-288-k273125.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmeowgration [END] | PERNAH DITERBITKAN
Fantasia[Berhasil mendapat juara kedua event menulis dari Penerbit AlR] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Fantasy, Romance Naskah full revisi ✅ Blurb: Siapa sangka seekor kucing sanggup menghubungkan dua remaja, terlebih dengan cara ya...